Saat istirahat, Vanny duduk di kursi koridor depan kelas, asyik menikmati cemilan sambil membaca novel. Sesekali dia melirik tajam pada beberapa cowok yang melewatinya. Pasalnya, mereka selalu menyebut namanya sambil lewat, dengan tatapan mata yang terus mengarah padanya.
Sebenarnya Vanny agak risi, tapi mau gimana lagi? Itu sudah kebiasaan para cowok yang sudah melekat. Dia juga lebih mentolerir orang-orang seperti itu, daripada anak-anak komplotannya Heri.
Saat itu, entah hari sial akan kembali menaunginya atau apa. Gerombolan Heri terlihat di ujung koridor dan berjalan mendekat.
Begitu beberapa meter mendekati tempat duduk Vanny, mereka menghentikan langkah, mencegat anak kelas satu yang lewat di hadapannya. Tedi maju merangkul siswa itu. Tak berselang lama, dia mengambil selembar uang dari siswa itu sambil tersenyum puas. Lalu mendorong murid tadi setelah maksudnya tercapai.
Tanpa diduga, Heri menangkap pandangan Vanny yang mengarah padanya. Dengan bahasa isyarat, dia mengajak teman-temannya untuk mendekati cewek itu.
“Lo liatin gue, ya? Kenapa? Naksir?” goda Heri begitu sampai di depan Vanny.
“Jangan ge-er lo. Tadi dia tuh merhatiin gue.” Tedi merengsek ke depan, dengan santai duduk di sebelah Vanny. “Bener kan, Yang? Kamu liatin aku?”
Wajah Vanny terlihat risi, berusaha mendorong badan Tedi agar menjauh. Dia menutup buku, bangkit, bersiap mau pergi. Namun, seketika Tedi memegang tangannya dan kembali mendudukannya.
“Kalo jadian sama Heri, terus Abel dan Edo mau dikemanain? Rakus amat jadi cewek.” Deden cengengesan.
Tedi menendang kaki Deden sambil mengacungkan tinju. “Udah gue bilang dia tuh milik gue! Awas lo!”
Deden melepas tawa. “Orang tadi gue liat dia merhatiin Heri.”
“Lagian dia mana mau sama cowok kepalanya botak kayak elo, Ted.” Hizbul menambahkan.
Tedi hendak melepas sepatu dan melemparnya sebelum dihentikan Heri.
“Siapa yang merhatiin kalian? Gue risi liat tingkah kalian. Kalian kira ini pasar? Pake malak orang segala!” ketus Vanny akhirnya.
Melihat Vanny ngomong, mereka semakin antusias untuk menggoda. Mencoba menjaili cewek pindahan itu.
“Bisa ngomong juga ternyata.” Heri tersenyum sinis.
“Ngapain sih pake malak segala? Mau kaya? Usaha makanya!”
“Kamu salah, Sayang.” Tedi berkata lembut. “Dia gak usah malak juga udah kaya. Bapaknya konglomerat.”
“Terus kenapa? Ngapain ngambil duit orang?” Alis Vanny menjulang tinggi, memandang Heri dengan tajam.
Seketika Heri tertawa terbahak, membuat Vanny semakin risi.
“Ted, dia enggak ngambek tuh lo panggil sayang. Udah mulai lunak kayaknya,” cerocos Hizbul.
“Gue bilang juga apa? Dia udah mulai tertarik sama gue.” Dengan santai, Tedi melingkarkan tangannya ke pinggang Vanny.
Sontak Vanny menepis tangan Tedi dan menatapnya berang.
Sementara itu, Heri memajukan langkah, memegang dagu Vanny, memijatnya, lalu diangkat sampai berdiri. Vanny hanya pasrah, membiarkan Heri meremas dagunya cukup keras.
“Kenapa emang kalo gue malak orang? Masalah buat lo? Gue suka liat ekspresi mereka yang ketakutan di depan gue.” Heri menggerak-gerakan dagu Vanny. “Persis kayak ekspresi lo sekarang. Itu jadi kesenangan tersendiri bagi gue.”
Beruntung, Abel dan Edo yang baru kembali dari kantin, menerobos kerumunan Heri. Melihat Heri yang sedang memainkan dagu Vanny, sontak membuat Abel emosi. Dia berjalan mendekat, menggeplak tangan Heri, lalu menarik Vanny ke sebelahnya.
Sedang Edo berada di belakang, melempar-lempar bola tenis dengan memasang wajah angkuh.
Abel yang masih bisa mengontrol emosi, lantas membawa Vanny ke kelas setelah sesaat sebelumnya mengacungkan jari tengah ke hadapan Heri. Gerombolan Heri hendak menyusul, tapi bel tanda masuk berbunyi nyaring, mengurungkan niat mereka.
Di kelas, Vanny duduk di kursi, Abel duduk di sebelahnya, sementara Edo di meja. Abel dan Edo berpandangan, melihat Vanny yang menunduk.
“Lo enggak apa-apa, Van?”
Vanny menggeleng berulang-ulang.
“Masih marah, ya, sama kita?” lanjut Abel lagi.
Tak ada jawaban, Vanny memilih diam.