Minggu pagi ini, dengan wajah sedikit mengantuk Edo berjalan keluar rumah, berdiri tegak di halaman. Sakit di pipi dan mulutnya masih terasa, meski tidak senyeri kemarin. Edo menghirup udara dalam-dalam, lalu diembuskannya secara perlahan.
Edo meregangkan tubuh, melemaskan persendiannya yang kaku. Beberapa saat kemudian, dia asyik melakukan gerakan-gerakan senam sambil sesekali bersenandung.
Badan Edo memang cukup ideal untuk seorang cowok. Dia selalu menyempatkan diri untuk berolahraga di akhir pekan. Mulai dari push-up, sit-up, sampai skipping meminjam tali karet milik adiknya.
Setelah dirasa cukup, Edo beristirahat sejenak, duduk di dekat pagar rumah. Dia mengelap keringat yang mengucur menggunakan bajunya sendiri, karena cukup malas untuk mengambil handuk di kamar. Joroknya Edo susah diilangin.
Saat itu, tiba-tiba Chika muncul dari dalam rumah dengan membawa segelas susu segar.
“Buat Kak Edo.” Chika menyodorkan gelas susu yang langsung disambar Edo.
“Adik Kak Edo baik banget, sih. Makasih, ya,” kata Edo sambil mengusap lembut kepala Chika.
Chika tersenyum, lalu duduk di samping Edo, asyik melihat kakaknya yang sedang minum susu. Pandangannya menatap Edo lekat seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu-ragu. Hanya bisa dilihat dari gerak-geriknya yang aneh.
Merasa ada yang aneh dari gelagat Chika, Edo akhirnya menegur. “Kamu kenapa?”
Chika cengar-cengir, memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi kecil-kecil.
“Chika mau ngomong apa? Gak usah malu.” Edo menatap adiknya lekat.
Chika akhirnya membuka mulut. “Nanti sore, Chika pengen ke taman.”
Kening Edo mengerut seketika. “Ke taman? Ngapain? Kenapa tiba-tiba pengen ke taman? Terus mau ke sana sama siapa?”
Tak segera menjawab, Chika menunduk sambil mengusap-usap baju Edo.
“Chika udah lama gak ke taman, Kak. Dulu kan sering sama Kak Adrian. Tapi sekarang Kak Adrian udah gak ada,” ujarnya dengan wajah kuyu.
Sontak Edo tertohok, sepercik luka seperti menggores hatinya begitu mendengar perkataan Chika. Selama ini, hanya Adrian yang senantiasa menemani Chika bermain. Sementara dia asyik dengan dunianya sendiri yang dipenuhi kenakalan.
Sejak kepergian Adrian, Chika hanya diam di rumah. Pulang sekolah langsung ke rumah. Padahal anak kecil seusianya pasti sedang senang-senangnya bermain. Edo terenyuh, selama ini dia benar-benar egois, selalu mementingkan kepuasan sendiri tanpa memedulikan adiknya.
Edo menoleh, meraih tangan mungil Chika.
“Ya udah, nanti sore kita main ke taman, ya. Kak Edo temenin.”
Mata Chika membulat sempurna, bibirnya terangkat, memancarkan senyum yang cukup meneduhkan Edo. “Beneran, Kak?”
Edo mengangguk, dengan penuh kasih sayang dia memeluk Chika.
“Makasih, ya, Kak.” Chika berusaha sekuat tenaga meloloskan diri dari pelukan kakaknya, lalu beranjak. “Ih, Kak Edo bau!” Chika langsung berlari ke dalam rumah.
Edo bangkit, melesat mengejar adik perempuannya.
“Anak bandel, awas kamu, ya ...”
***
Jam empat sore, Edo berada di taman kota bersama Chika. Dengan enerjik, anak itu berlari-lari menjelajahi taman, tertawa riang, melepas kebahagian. Edo terus mengawasi, perasaan lega menghiasi hatinya. Senang melihat Chika tersenyum cerah, seakan-akan haus akan dunia luar.
Beruntung sore ini taman kota tidak terlalu banyak pengunjung. Biasanya di akhir pekan selalu ramai, penuh sesak dengan orang-orang. Sekarang hanya ada beberapa orang yang asyik menghabiskan waktu di sana. Termasuk Edo yang hanya duduk di kursi dengan tatapannya awas kepada Chika.
Chika berlari menghampiri Edo, lalu menarik celana levisnya.
“Kak maen itu yuk.” Tangan kecil Chika menunjuk gesit ke arah ayunan di pojok taman.
Edo tersenyum, bangkit, menggandeng tangan Chika berjalan ke sana. “Ayo, nanti Kakak yang dorongin, ya.”
Senyum di wajah Chika semakin mekar. Setelah sampai, dia lantas duduk di kursi ayunan, tangannya memegang tali begitu erat. “Dorong yang kuat, ya, Kak.”
Edo memegang tali, bersiap-siap mengayun. “Satu. Dua. Ti-ga.”
Ayunan mulai bergerak. Chika menjerit, rambut panjangnya tergerai indah, rona wajahnya memancarkan kebahagiaan yang teramat sangat.
“Lagi dong, Kak!” teriak Chika.
Edo terus mengayun sambil melihat Chika yang tak henti-hentinya cekikikan di kursi ayunan.
Di tempat lain, Abel sedang jalan-jalan sama Vanny. Meski ujian nasional berlangsung besok, mereka malah asyik menelusuri jalanan kota. Sudah lebih dari setengah jam mereka berada di atas motor, tanpa tahu pasti dengan tujuannya akan ke mana.
“Bel makan dulu yuk,” ajak Vanny.
“Makan apa?”
“Gue pengen bakso.”
Abel mengangguk, lantas melajukan kendaraannya sedikit lebih pelan sembari celingukan, mencari tukang jualan bakso. Pandangan Abel berhenti di sebuah kedai bertuliskan ‘Bakso Urat Mang Bezo’ tak jauh di depannya, lantas dia mengerem motor begitu sampai di sana. Posisinya persis di depan pintu masuk taman kota.
Mereka pun masuk yang langsung disambut sang pemilik kedai.