Friendship and Love

Aldy Purwanto
Chapter #17

17. Dilema

Pagi hari di sekolah, Abel sudah sampai bareng Edo. Suasana begitu lengang, karena hanya murid kelas tiga yang hadir. Edo jalan duluan, meninggalkan Abel yang memarkir motor. Langkahnya tiba-tiba terhenti begitu melihat Vanny duduk di anak tangga. Wajah cewek itu terlihat kusut, sesekali tangannya mencabut rumput-rumput kecil yang tumbuh nakal di sela-sela tangga.

“Ngapain lo bengong aja?” tanya Abel begitu sampai di samping Edo.

“Cewek lo tuh sendirian. Ngapain coba duduk di sana?”

Abel mengikuti arah pandang Edo, menangkap sosok Vanny yang seperti sedang melamun. Dia sudah bisa sedikit menerka, pasti karena kedatangan orang tuanya kemarin.

“Samperin gih.”

Abel agak ragu, setelah melihat sikap orang tua Vanny. Dia jadi sedikit canggung berada di dekat pacarnya.

“Udah! Lo kayak lagi PDKT aja harus didorong-dorong.” Edo mendorong tubuh Abel sekuat tenaga.

Mau tak mau akhirnya Abel berjalan mendekati Vanny. Seperti tidak menyadari kehadiran Abel, Vanny terus memainkan rumput dengan tatapan kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

“Van,” sapa Abel dengan suara pelan.

Vanny terperanjat, dilihatnya Abel yang sudah berdiri di hadapannya. “Bel, kok lo tahu aja gue di sini.”

Mata Abel menyipit. “Kelas kita kan emang lewat sini. Ngapain lo duduk sendirian? Di tangga lagi.”

Vanny diam tak memberi jawaban, hanya menatap Abel sekilas, lalu memalingkan pandang ke arah lain. Jelas saja Abel heran, dia menangkap seperti ada suatu rahasia yang disembunyikan Vanny.

“Lo kenapa sih?”

Vannya hanya menggeleng pelan.

“Ada masalah sama orang tua lo?” Abel coba menyelidik.

Tiba-tiba Vanny berdiri, berjalan ke arah kiri, pergi meninggalkan Abel.

“Van lo mau ke mana?”

Vanny tak menghiraukan, terus berjalan menjauh. Baru Abel akan menyusul, tiba-tiba ada tangan yang menahan pundaknya. Abel menoleh, dilihatnya Edo berada di belakang.

“Do lo liat kan? Kenapa sih dia? Perasaan gue gak punya salah apa-apa.”

“Lo biarin aja dulu dia sendiri. Mungkin lagi ada masalah.” Edo menepuk pundak Abel. “Gue ngerasa dia lagi ada sesuatu yang gak bisa diomongin sama elo,” lanjutnya lagi begitu melihat wajah heran Abel.

“Udah, ngobrolnya nanti aja di kamar gue.” Edo merangkul Abel, mengajaknya menuju kelas.

Sementara dari arah berlawanan, Vanny mengintip dari balik tembok. Matanya sembab, mulutnya terisak. “Maafin gue, Bel.”

Jauh dari tempat mereka berada, dua orang yang menjadi penyebab kegelisahan Vanny sedang berbicara di sebuah rumah. Berdiskusi perihal kelanjutan anaknya yang harus kembali ke Jakarta.

“Pokoknya Vanny harus pulang ke Jakarta, Mih. Dia anak kita satu-satunya. Siapa lagi yang mau nerusin bisnis Papi kalo bukan Vanny?” Suara Pak Robby terdengar meninggi.

Bu Melisa mengangguk mengiyakan, ditatapnya seisi rumah tempat Vanny tinggal saat ini. “Iya dong, Pih. Kalo di sini terus gimana Vanny bisa maju? Papih liat sendiri, dia mau-maunya ngontrak rumah sempit kayak gini. Padahal kita nyuruh tinggal di apartemen.”

Pak Robby mengambil sebatang rokok, lalu menyulutnya guna menenangkan pikiran. Ponsel yang tersimpan di saku celana tiba-tiba berdering, segera dia mengangkatnya.

“Ya, gimana? Masalah proyek itu kamu urus saja kelanjutannya. Kalo ada masalah hubungi lagi saya. Iya ... iya ...” Pak Robby berjalan menjauh, tidak terdengar lagi perkataannya.

Bu Melisa bangkit, berkeliling sejenak, lalu berjalan masuk ke kamar Vanny, menerawang dengan pandangan jijik.

Lihat selengkapnya