“Her, kita bentar lagi lulus, lo belum mau sikat Abel dan Edo?”
Malam hari di suatu rumah, Heri dan teman-temannya berkumpul. Kepulan asap rokok memenuhi ruangan itu, puluhan botol minuman keras tersimpan di atas meja dengan beberapa gelas yang sudah kosong.
Entah untuk yang keberapa kali, Tedi mengingatkan Heri agar segera mengambil tindakan pada Abel dan Edo. Setelah rencananya gagal berulang-ulang. Meski sudah membuat dua anak itu babak belur, tampaknya mereka belum puas jika belum bisa mengirimnya menjadi pasien di rumah sakit.
“Santai aja, gue udah nyiapin rencana buat ngabisin mereka,” sahut Heri santai.
Tedi menoleh, senyumnya mengembang dengan wajah setengah teler. “Bagus, gue gak sabar buat ngabisin Edo. Kalo Abel gue serahin sama lo.”
“Alah, selama ini kita udah nyoba lawan mereka, tapi gagal terus!” Hizbul menceletuk.
Seketika Heri melempar kulit kacang polong di genggamannya, sampai mengenai Hizbul. “Kalian aja yang gak becus! Karena itu, nanti gue bakal minta bantuan Bang Jamronk, Bang Gogom, sama Bang Isur.”
Mata Ipan membulat sempurna begitu mendengar nama-nama yang disebut Heri.
“Duh, Kak, ngapain minta bantuan mereka segala? Nanti Abel sama Edo mati gimana?” Ipan langsung protes.
Jamronk, Gogom, Isur, tiga preman yang sangat ditakuti seantero Kota Cirebon. Sudah tak terhitung lagi seberapa banyak warga yang resah karena kelakuan mereka. Meski sudah berumur jauh dari anak sekolah, tapi mereka masih sering ikut meramaikan tawuran dan cukup dekat dengan beberapa pentolan tiap sekolah, terutama Heri.
Mereka mengenal Heri dengan baik. Apalagi Heri yang selalu memberikannya uang, rokok, juga minuman-minuman keras yang mereka sukai. Semakin dekatlah hubungan mereka. Membuat Heri mudah meminta bantuan ketiga preman itu.
“Memang itu tujuan kita!” Kebencian yang mendalam kembali terpancar di mata Heri saat dia mengatakan itu.
Sementara itu, salah satu orang yang menjadi topik obrolan mereka sedang berjalan sendirian di pinggir jalan setelah turun dari angkot. Dia memakai jaket denim hitam dengan celana levis hitam pula. Dengan langkah cepat, dia berjalan menuju suatu rumah.
Ketika sampai, dia lantas mengetuk pintu rumah, menunggu sang pemilik membukanya. Tak berselang lama, terdengar langkah si pemilik rumah membuka pintu.
“Edo? Kok gak bilang mau ke sini?” Vanny kaget begitu mendapati Edo sudah berdiri mematung di depannya. Kepalanya lalu bergerak, mencari keberadaan Abel.
“Gue sendirian,” jelas Edo yang paham gerak-gerik Vanny.
Cowok itu berjalan ke kursi teras dan meletakkan pantatnya di sana. Beruntung saat itu orang tua Vanny sudah kembali ke Jakarta.
“Ada apa, Do? Tumben lo ke sini sendiri,” tanya Vanny yang duduk di samping Edo.
“Cuman pengen ngobrol serius aja.”
Vanny mengerutkan kening, mulutnya sedikit menganga. Ngobrol serius? Kenapa Edo tiba-tiba? Enggak biasanya dia seperti ini. Sekarang pun wajah Edo terlihat serius, tak ada sedikit pun celah untuk bisa diajak bercanda. Membuat Vanny sedikit kikuk melihat Edo bersikap seperti ini.
“Lo bisa cerita gak ke gue? Belakangan ini gue perhatiin, sikap lo beda banget.”
“Beda? Beda gimana? Ah biasa aja.”
“Lo gak bisa boong sama gue, Van. Abel udah cerita ke gue, tentang kedatangan orang tua lo. Cuman, gue pengen denger lebih jelas dari lo. Anggap aja gue wakilin Abel, sebenernya gue udah suruh dia ke sini. Tapi lo tahu sendiri, dia orangnya kayak gimana.”
Vanny tertunduk, tak berani menatap Edo.
Edo membaca ekspresi wajah Vanny yang semakin salah tingkah. “Lo nganggep gue sahabat kan?” Vanny mengangguk. “Lo mau cerita ke gue?”
Perlahan, Vanny mengangkat kepala, melihat Edo yang tetap menampilkan ekspresi serius. Mungkin, dia memang harus bercerita untuk sekadar bertukar pikiran, agar bisa menghilangkan sedikit beban psikisnya. Lebih baik lagi kalau ada solusi.
Vanny akhirnya membuka mulut, mulai bercerita tentang semuanya. Tentang dirinya yang mesti balik lagi ke Jakarta. Tentang dirinya yang tidak ingin kehilangan Abel dan Edo. Juga khawatir hubungan cintanya bersama Abel kandas.
Edo mendengarkan dengan saksama, berusaha mencerna setiap perkataan Vanny.