Hari sudah menjelang sore, matahari perlahan turun ke peraduannya di ufuk barat. Dengan langkah gontai, Abel masuk ke rumah, baju seragamnya penuh dengan pilox warna-warni ditambah corat-coret tanda tangan.
Seharian tadi penuh dengan aktivitas merayakan kelulusan. Konvoi keliling kota sama anak-anak seangkatan, malah sampai gabung dengan sekolah lain. Meski melelahkan, hari ini adalah salah satu hari terbaik dalam hidup mereka.
“Kamu lulus, Bel?” sambut Bu Risa begitu melihat Abel masuk ke rumah.
Abel mengangguk lemah.
Bu Risa berjalan mendekat, meraih kepala Abel dan mencium kedua pipinya. Perhatiannya lalu tertuju pada seragam Abel yang sudah tidak kelihatan lagi warna putihnya.
“Zaman Ibu masih sekolah dulu, gak pernah sampe begini, Bel.”
“Aduh, Bu. Zaman kan udah berubah, ya, pasti beda dong,” jawab Abel sambil menyimpan tas di kursi tengah.
“Tapi mubazir kan? Coba kalo disumbangin pasti ada manfaatnya.”
“Ah, Ibu. Seragam Abel yang ini udah pada belel jahitannya, malu-maluin kalo disumbangin.”
Bu Risa mengacak-acak rambut Abel. “Bisanya ngeles aja kamu.” Abel ketawa. “Edo juga lulus?”
“Lulus, Bu.”
“Terus rencananya Edo mau nerusin kuliah enggak?”
“Katanya sih mau,” sahut Abel, lalu menatap ibunya lekat. Sedikit ragu, tapi akhirnya dia mengatakan apa yang dipikirkannya “Kalo misal, Abel pengen kuliah di Bandung gimana, Bu? Sama Edo kok.”
“Emang kenapa tiba-tiba pengen kuliah di Bandung?” selidik Bu Risa.
Abel diam sejenak, memikirkan kalimat yang tepat, lalu mulai bicara. “Enggak apa-apa, Bu. Abel pengen ke luar kota, pengen belajar mandiri. Abel juga mau sambil nyari kerja sambilan di sana.”
Senyum Bu Risa mengembang, secara lembut dia mengusap kepala anaknya, merapikan rambut yang acak-acakan.
“Boleh. Yang penting kamu kuliah yang bener. Gak perlu khawatir soal biaya. Tabungan Ibu cukup buat biayain kebutuhan kamu di Bandung.”
Mata Abel berkaca-kaca, dia memeluk ibunya erat. “Maafin Abel, ya, Bu. Abel ninggalin Ibu sendirian.”
“Enggak apa-apa. Kan di sini Ibu ditemenin Bi Omi sama Bi Imas.” Air mata Bu Risa sedikit menetes, lantas dia langsung mengusapnya. “Ibu bangga punya anak seperti kamu, Bel. Walau nakalnya kebangetan, tapi pinter dan nurut sama Ibu. Belajar yang bener, ya. Jangan sering berantem lagi. Kamu pengen jadi guru matematika, ‘kan?” lanjutnya lagi seraya mengusap punggung anaknya.
Abel melepas pelukan, matanya berkaca-kaca, melihat ibunya yang tersenyum cerah.
***
Suasana siang ini cukup ramai di ruang guru SMA Angkasa. Berhubung murid kelas tiga sudah lulus, semua staf terlihat sibuk mengurus ijazah siswa, melayani anak-anak yang bertanya tentang perguruan tinggi, menyediakan brosur universitas di Indonesia. Bahkan sampai rapat dadakan untuk acara perpisahan nanti.
Acara perpisahan sekolah tentu menjadi saat yang ditunggu setiap murid. Tidak hanya murid kelas tiga, kelas satu dan dua pun banyak yang antusias untuk menampilkan keahliannya di pertunjukkan nanti.
Apalagi anak kelas tiga, banyak yang ingin tampil di acara perpisahan. Berhubung mereka akan meninggalkan sekolah tercinta, tidak heran kalau mereka ingin menunjukkan aksinya sebagai kenang-kenangan terakhir.
Ada yang mau pidato, membaca puisi, menampilkan seni tari tradisional, sampai ke pertunjukan band. Edo tak ketinggalan, ingin ikut membawakan lagu, tapi sama siapa? Ngajak Abel sama saja bohong. Sobatnya itu enggak ada bakat di bidang musik. Suara fals, main gitar enggak bisa, mukul drum malah brutal.
Beda dengan Edo yang memiliki keahlian bermain gitar, dia cukup berbakat di bidang musik. Yang jadi masalah, dia enggak punya teman buat diajak tampil. Selera musik Edo yang beraliran Rock n Roll berbeda jauh dengan Abel atau Vanny yang doyan lagu melankolis cengeng.
Lagi pula, kayaknya kurang pas juga di acara perpisahan yang nuansanya sedih diisi dengan lengkingan gitar Edo yang metal. Terus apa dong? Masa enggak ikutan sama sekali? Padahal hari ini batas terakhir untuk pendaftaran.
Mau pidato? Edo enggak suka. Tari apalagi. Lebih-lebih baca puisi, Edo lebih memilih mencangkul di sawah seharian daripada melakukan itu. Sedang pusing begitu, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang.
“Lagi ngapain, Do?”
Edo menoleh, matanya menangkap sosok Ipang, temannya dari kelas sebelah.
“Gue pengen nge-band buat tampil di acara perpisahan. Cuman gak ada temen,” ujar Edo sambil memperlihatkan kertas pendaftaran.
“Sama kalo gitu, gue juga pengen.”
Seketika alis Edo terangkat, mengarah tajam ke Ipang. “Serius lo? Sealiran gak sama gue? Takutnya entar lo ngajakin gue bawain lagunya Afgan.”
Ipang ketawa lalu merogoh saku, mengambil ponsel, memperlihatkan wallpaper ponselnya pada Edo. Senyum Edo mengembang begitu melihat tulisan Superman is Dead terpampang di layar.
“Mantap! Cocok sama gue. Tapi ngomong-ngomong, kita harus nyari satu orang lagi buat vokalis. Setahu gue lo pegang drum kan, ya?”