Friendship and Love

Aldy Purwanto
Chapter #27

27. Malam Tahun Baru

Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2016, hanya tinggal menunggu hitungan jam untuk menyambut kedatangan tahun baru 2017. Suasana pesta untuk malam pergantian tahun semakin jelas terasa. Di setiap jengkal kota, berderet tukang dagang yang menjajakan terompet sebagai salah satu benda wajib untuk memeriahkan acara.

Sore ini Jakarta sedang macet luat biasa. Pasalnya, acara tahun baru memang seperti mudik lebaran. Banyak perantau di Jakarta yang sengaja pulang kampung hanya untuk sekadar kumpul bersama keluarga. Pun sebaliknya, tidak sedikit wisatawan lokal dari daerah luar yang datang ke Jakarta guna menikmati pesta tahun baru di ibu kota.

Dengan situasi kondisi semacam itu, membuat Vanny malas keluar rumah. Sejak pagi, dia hanya diam di kamar menonton televisi, mendengarkan musik, atau main internet di laptop.

Tadi Vanny sempat menelepon Abel dan mendengar jawaban yang membuatnya semakin bete tambah iri.

“Di sini kita lagi siap-siap buat bakar ikan, Van.”

Andai Vanny bisa ikut, pasti senang banget. Bukan perkara bakar ikannya, tapi bisa bersama Abel dan Edo yang benar-benar Vanny mau. Malah dia sempat nekat mau ke Bandung, tapi ragu-ragu. Soalnya jalanan pasti macet banget.

Vanny kemudian bangkit, membuka jendela kamar, menerawang jauh ke depan.

“Abel. Edo. Gue pengen ketemu.”

Waktu terus berjalan, jalanan sudah kelihatan penuh sesak dengan lalu lalang kendaraan yang didominasi pasangan kawula muda. Di kamar kost, Abel sedang asyik dandan sedang Edo masih olahraga ringan di teras kamar. Push up, shit up, mukulin tembok.

“Do, jalan-jalan yuk, gak usah ikut bakar ikan di sini.”

Edo menoleh. “Emang mau ke mana?”

“Ya ke mana ajalah. Ngapain tahun baruan cuman bakar-bakar doang, sumpek banget.”

Edo tidak segera menjawab, sibuk menuntaskan hitungan shit up-nya.

“Sembilan puluh delapan. Sembilan puluh sembilan. Se-ratus.” Edo tampak kelelahan, napasnya memburu tak karuan. Setelah beberapa saat, baru dia menjawab ajakan Abel. “Oke, gue mandi dulu.”

Abel tersenyum, lalu kembali asyik merapikan rambut.

Selepas Maghrib, dua sahabat itu sudah siap-siap mau pergi. Keduanya memakai levis robek, kaus hitam dan jaket berwarna sama. Ditambah postur tubuh mereka yang hampir mirip, menjadikannya seperti anak kembar.

Edo keluar kamar, buru-buru mengunci pintu, lalu melesat keluar. Mereka pergi secara sembunyi-sembunyi mumpung yang lain pada keluar. Jadi cepat-cepat kabur.

Edo naik ke boncengan motor yang sudah dinaiki Abel.

“Ayo berangkat!”

Abel segera melajukan motor. Dari arah berlawanan, Wawan cs baru pulang belanja, karena keasyikan ngobrol, mereka sampai gak sadar Abel dan Edo sudah tidak ada di kamarnya.

Sementara itu, di apartemen di daerah Dago, Jasmine terlihat kesal bukan main. Sudah beberapa kali nelepon Edo, tapi tidak diangkat. Dia terus meracau sambil sesekali mengacak-acak rambut ikalnya yang kepirang-pirangan.

Jasmine mengambil bungkus rokok, menatapnya ragu. Detik selanjutnya dia menyulut sebatang rokok, sekadar menenangkan pikiran, lalu menyingkap tirai gorden jendela apartemennya. Terlihat jelas suasana jalanan yang macet total, kendaraan yang menyemut luar biasa.

Jasmine menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. Dia bingung mesti melakukan apa. Mau keluar rasanya malas melihat jalanan yang sudah sesak begitu. Diam di apartemen rasanya pengap. Jasmine jadi uring-uringan sendiri, pikirannya jadi melayang-layang membayangkan Edo ada di sampingnya.

“Apa yang kurang dari gue sih? Sampe lo ragu nerima cinta gue, Do?” Jasmine berujar pelan sembari menelungkupkan kepala di antara kedua kakinya.

Di sisi jalan, Abel dan Edo memandang kendaraan yang begitu membludak. Tidak ada satu senti pun yang tersisa sekadar untuk bisa menyeberang.

“Kita mau ke mana nih, Do?”

Abel kelihatan bingung melihat jalanan yang dibanjiri oleh lautan manusia. Tempat-tempat nongkrong pun sudah penuh sesak semua. Ujung-ujungnya Abel menepikan motornya di pinggir jalan.

Edo turun sembari ngedumel. “Elo sih pake ngajak keluar segala, kalo diem di kost-an pastu lagi enak-enaknya ngembat ikan bakar.”

“Alah, jam segini ikannya juga belum diapa-apain!”

Edo celingukan mengamati situasi jalanan, hampir tidak ada tempat satu meter pun untuk sekadar nongkrong.

“Jalan lagi aja deh, lurus terus,” titah Edo akhirnya.

“Bego lo. Lurus mau ke mana? Itu mau masuk jalan ke Cimahi. Terus ke Padalarang, Cikalong tembus Purwakarta, Cikampek, finish di Jakarta,” cerocos Abel lancar banget.

“Ya udah tanggung, ke Jakarta aja,” tanggap Edo cuek.

Abel spontan menggeleng, gak setuju banget kalau sampai bela-belain tahun baruan di Jakarta. Memangnya di Bandung kurang rame? Namun, sejurus kemudian Abel seperti teringat sesuatu. Edo pun sama. Setiap nama Jakarta disebut-sebut, mereka kayak menemukan satu hal menarik.

Akhirnya mereka berkata bersamaan, “Vanny!”

Mereka ketawa sambil ber-toast ria.

“Kita ke Vanny aja, yuk? Kangen gue,” ajak Edo akhirnya.

Abel mengangguk cepat, buru-buru menghidupkan motor.

“Tapi bentar, Bel. Gue gak pake helm.”

“Nanti di deket lampu merah ada yang jual helm murah tenang aja.”

“Berapa duit kira-kira?”

“Paling mahal juga tiga puluh ribu.”

“Kok murah bener?” Edo mengernyit.

Lihat selengkapnya