Selepas Isya, anak-anak kost sedang ngobrol santai di bale-bale. Suara norak dari setiap anak begitu jelas menyeruak masuk ke kamar Abel dan Edo yang sedang tiduran. Apalagi ketawa Mila yang kayak kuntilanak menang lotre itu membuat Abel enggak tahan untuk tidak keluar.
Baru saja Abel mau meletakkan pantatnya di bale-bale, Dahlan langsun negur.
“Edo mana, Bel?” Abel menggerakkan dagunya ke arah kamar. “Gue mau nagih duit pulsa nih,” lanjut Dahlan.
“Ya lo ke kamarnya aja, ribet amat.”
Dahlan memang sudah lama jualan pulsa, dari anak-anak kost sampai sebagian di kampus menjadi langganannya. Khusus untuk anak-anak kost saja yang dibolehin ngutang, karena Dahlan sudah menganggap saudara sama penghuni kost yang lain.
Tak berapa lama Edo akhirnya muncul dan langsung ditagih Dahlan. Edo ngedumel sambil mengeluarkan dompet.
“Kalo udah lulus, lo ngelamar jadi debt collector bank dunia aja, pasti langsung keterima.” Edo menyerahkan satu lembar uang dua puluh ribu.
Dahlan menyambar cepat sambil cengengesan.
Edo lalu duduk di samping Abel, mulutnya kembali berbicara begitu melihat Wawan yang beranjak dan hendak pergi ke warung depan.
“Wan. Titip rokok sebungkus, ngutang dulu, bilangin nanti gue yang bayar.”
Wawan mengacungkan jempol. “Rebes, Kang Edo.”
Windy bangkit, pamit dulu mau ke kamar. Saat baru membuka pintu, tiba-tiba dia teringat sesuatu, lalu menoleh ke arah bale-bale dan manggil Edo.
“Do, nanti lusa jadi gak?”
Dengan cuek Edo mempraktekakan gaya kiss bye dari jauh sambil menyahut, “Ya pasti jadi dong.”
Windy hanya menggeleng pelan, lalu masuk ke kamar. Melihat hal itu, tanpa basa-basi Mila langsung mendamprat Edo.
“Mau ke mana kalian? Awas, peraturan di kost ini kan gak boleh pacaran sesama penghuni kost. Di-DO baru tahu rasa lo!”
Edo menoleh ke Mila. “Siapa yang pacaran sama Windy? Gue cuman minta anter doang.”
“Anter ke mana?”
“Nyari tempat yang cocok buat pre-wedd kita nanti, Mil,” sahut Edo cuek.
Mila melotot, lantas melayangkan tinju ke pipi Edo.
“Tahu tuh Windy yang tahu. Gue lagi nyari komik Hello Komang. Berhubung itu komik jadul, gue jadi susah nyari. Kebetulan tuh cewek tahu ada yang jual. Gitu dodol!”
Mila menganggut-anggut. “Kirain lo pacaran sama dia.”
“Ya enggaklah. Mending gue pacaran sama elo, Mil.”
“Ih najis! Mending gue jomblo sampe mampus!”
Edo ketawa.
Melihat suasana jadi semakin ramai karena kehadiran Abel dan Edo, anak-anak yang lain pun pada keluar kamar, ikutan nongkrong di bale-bale. Begitu semua makhluk kost sudah kumpul, Mila langsung mengusulkan acara.
“Mumpung pada kumpul nih, kita ngerujak yuk?”
Dahlan langsung protes, “Ngaco lo, Mil, malem-malem makan rujak. Yang ada nanti malah pada mules.”
Anak-anak yang lain pun pada enggak setuju, Mila langsung memasang wajah bete.
“Kita bakar ikan aja, kan kemarin pas tahun baru gue gak bisa ikutan,” saran Abdul sang ustaz.
Lagi-lagi semua enggak setuju.
Akhirnya setelah berunding sekian lama antar penghuni kost, mereka sepakat untuk tidak melakukan apa-apa. Hebohnya doang pada selangit. Mereka pun asyik ngobrol ngalor-ngidul lagi, curhat tentang kehidupannya.
Pertama, cerita Dahlan yang dulu pernah belajar ilmu kebal di Banten. Dia mengaku sudah tiga tahun berguru sama sesepuh perguruan di sana, sempat belajar ilmu kebal bacok segala. Dahlan lalu memamerkan luka di punggungnya. Katanya, itu bekas sabetan pedang waktu berantem sama perampok.
Abel sedikit mengulum senyum, soalnya dia pernah melihat Dahlan keserempet paku yang menancap nakal di dekat pintu kamar mandi, tepat di punggung juga. Paling juga karena itu. Mustahil luka sabetan pedang hanya seupil, tapi karena kasihan, Abel enggak cerita. Membiarkan Dahlan dengan dongeng ilmu silatnya.
Kemudian Mila mengambil alih cerita. Baru mulut cewek itu terbuka dan mengeluarkan ceriwisannya. Tiba-tiba gerbang kost terbuka, sekonyong-konyong muncul Wawan. Dia berdiri dengan wajah polosnya sambil cengengesan.
“Eh, barudak. Di warung depan ada perempuan cantik, euy.”
Tidak ada satu pun anak yang menanggapi. Wawan lantas beringsut menuju bale-bale, duduk di samping Dahlan.
“Mana rokok gue? Ke mana aja sih lo? Beli rokok sampe setaun.”
“Maaf, Kang Edo. Soalnya tadi ada bidadari cantik di warung, jadi Wawan nangkring dulu bentar.” Wawan menyerahkan rokok, lalu kembali ngomong. “Tapi ada yang aneh. Pas Wawan sebut nama Kang Edo, si cewek eta kayak rada curinghak.”
Edo mengerutkan kening. “Curinghak apaan?”
“Kaget, Kang Edo. Barangkali Kang Edo kenal?”
Edo mengedikkan bahu. Wawan kembali nyerocos sambil menggambarkan ciri-ciri cewek yang ditemuinya di warung depan.