Matahari siang ini bersinar cukup terang. Mila keluar dari kamar dan duduk di bale-bale bareng Windy. Rencananya mereka sekarang akan berangkat ke Sumedang menunggu Vanny datang menjemputnya.
“Kok gue keinget Abel terus, ya.”
Windy mengembungkan pipi. “Ya sama, Mil, gue juga.” Dia melempar pandangan ke angkasa. “Tadi gue telepon Dahlan. Bener feeling lo, Abel sampe sekarang belum siuman. Kata Dahlan, tulang rusuk sama kakinya patah, malah ada gumpalan darah beku juga di kepalanya.”
“Ya Allah.” Mila mendesis ngilu.
Keduanya lalu terdiam.
“Apa Abel bisa selamat, ya?” Windy berujar pelan.
“Hus! Lo jangan ngomong gitu dong!” Mila langsung menggubris.
Windy terdiam, teringat omongan Dahlan tadi di telepon bahwa risiko kematian memang bisa saja terjadi menimpa Abel. Namun, Windy tidak menceritakan itu ke Mila, takut pikiran pesimisnya menyebar, apalagi sampai Vanny tahu yang ujung-ujungnya berpengaruh terhadap dorongan spiritual mereka.
Beda dengan siang yang begitu menyengat. Kota Sumedang sore ini diguyur hujan cukup lebat. Edo, Wawan, dan Dahlan berada di kantin rumah sakit. Wawan memesan tiga gelas cokelat panas dan tiga porsi nasi soto setelah perut ketiganya belum terisi sejak pagi.
“Kita harus yakin, Do. Abel pasti sembuh. Abel pasti bisa melawan semua rasa sakitnya. Lo tahu Abel kan?” Dahlan coba menguatkan Edo yang sedari pagi tidak bergairah.
“Bener Kang Edo. Wawan yakin Kang Abel pasti kuat.” Wawan menambahkan.
Edo hanya bisa membuang napas, menatap Wawan dan Dahlan dengan senyum yang dipaksakan.
Tiba-tiba ponsel Edo berdering, terpampang nama Bu Risa di layar. Secepat kilat Edo mengangkat telepon.
“Iya, Bu. Ada apa?”
Tak ada jawaban langsung, hanya terdengar suara isak tangis Bu Risa. Edo panik seketika.
“Kenapa, Bu? Ada apa sama Abel?”
“A-bel dibawa ke ruang operasi, Do.”
Tubuh Edo mendadak bergetar hebat, bulu kuduknya tiba-tiba merinding. “Edo ke sana sekarang, Bu.”
Edo memasukkan ponsel, sekuat tenaga dia berdiri. Wawan dan Dahlan ikutan bangkit. Cokelat panas dan nasi sotonya belum tersentuh sama sekali. Mereka bertiga berlari ke ruangan Abel dengan tergesa-gesa.
“Apa? Abel mau ruang operasi?!” Mila seolah-olah tidak percaya mendengar telepon dari Dahan.
Saat ini mereka sedang dalam perjalanan bersama Vanny. Masih berada di perbatasan Bandung-Sumedang. Mendengar perkataan Mila, Vanny yang tengah menyetir mendadak panik bukan main.
Di telepon, Dahlan menjelaskan duduk perkara Abel bisa sampai ke meja operasi.
Kinerja jantungnya tidak bekerja secara optimal, karena ada penyumbatan di pembuluh darah. Detak jantungnya kadang berdetak, kadang berhenti. Pertolongan pertama sebenarnya sudah dilakukan, tim dokter cepat menempelkan alat pacu jantung dan mulai memompa jantung selama beberapa saat. Namun, nihi, terpaksa tim dokter langsung membawa Abel ke meja operasi.