Friendship and Love

Aldy Purwanto
Chapter #34

34. Bintang di Surga

Gema kalimat-kalimat takbir berdengung. Mengiringi langkah kaki orang-orang yang mengantar jenazah Abel menutu tempat peristirahatan terakhir. Edo berjalan dengan tatapan kosong. Dia tidak harus bagaimana membangkitkan gairah hidup selepas kepergian Abel.

Bukan hanya sebatas sahabat dan keluarga. Abel adalah pemantik semangat dan penjaga bara api hidup Edo yang utama. Edo sadar, bahwa kematian adalah suatu hal yang pasti terjadi. Karena kita dihidupkan memang untuk dimatikan.

Namun, Edo merasa semuanya terlalu cepat. Tuhan terlalu pagi untuk memanggil Abel. Masih banyak mimpi dan cita-cita yang dia bangun bersama Abel untuk masa depan.

Iring-iringan pengantar jenazah sudah tiba di area pemakaman. Keranda diletakkan di samping kuburan yang sudah dipersiapkan. Edo, Vanny, dan anak-anak yang lain mengelilingi di barisan depan.

Edo menatap liang lahat dengan mata berkaca-kaca. Jenazah Abel perlahan diturunkan. Azan dan iqomat terlantun dari dalam liang lahat, sedikit demi sedikit jenazah Abel yang terbungkus kain kafan, menghilang tertimbun tumpukan tanah.

Edo mencoba ikhlas melepas Abel pergi selama-lamanya. Edo mengadahkan tangan, memanjatkan doa terbaik untuk sahabat terbaik.

Setelah acara pemakaman selesai. Edo memegang batu nisan dengan khidmat, kemudian mengecupnya dengan lembut. Tak ada yang disesali memang. Namun, rasa kehilangan begitu bergemuruh di dalam hati, menyeruak, dan meresap hebat ke dalam aliran darah.

Satu hal yang manusiawi jika kita ditinggal pergi untuk selamanya oleh orang yang kita cintai. Vanny memegang bahu Edo, kemudian perlahan bangkit, lalu berjalan gontai keluar area pemakaman.

Edo mengirup satu napas panjang dan diembuskan perlahan.

Hari-hari yang kan kujalani

Kini semua kan terasa sunyi

Walau hampa pasti kuhadapi

Kuucapkan ... selamat jalan ...

***

Malam hari hujan turun rintik-rintik. Mata Edo tampak cekung serta bulatan hitam di bawah kelopak matanya. Hampir tiga hari Edo tidak tidur sama sekali.

Edo menyingkap tirai jendela kamar, gerimis di luar kembali mengingatkan dirinya tentang Abel. Dia terisak tiba-tiba, dadanya langsung terasa sesak.

Abel sendirian kini di dalam liang lahat yang pengap dan gelap. Tidak ada teman, tidak ada selimut yang bisa menghangatkan tubuhnya. Hujan yang turun pasti mencengkeram dirinya yang tidak punya tempat untuk berlindung. Hanya sobekan kain kafan saja yang membungkus tubuh.

“Apa itu cukup ngelindungin elo, Bel?” Edo bergumam pelan.

Edo mengusap wajah, lalu menggeleng kuat-kuat. Itu hanya pertanyaan bodoh. Tuhan pasti memperlakukan Abel dengan baik, selama amal perbuatannya di dunia tentu akan menjadi persai di alam barzah sana.

Edo memandang jauh ke langit malam, tampak pekat karena hujan turun. Dari kejauhan, Edo melihat setitik cahaya terang. Sangat terang sekali. Bersinar sempurna bak bintang di surga walau diterjang tirai hujan yang semakin rapat.

Edo melihat cahaya itu tanpa berkedip, lalu tersenyum serta bergumam. “Apa itu elo, Bel?”

Tidak terasa, tujuh hari sudah berlalu sejak kematian Abel. Edo sudah mulai tegar, perlahan dia menemukan kembali gairah hidup.

Lihat selengkapnya