Bayu tidak jadi ke Warung Bu Eni. Sosok yang ia temui tadi mengajaknya ke kafe seberang SMA Pemuda. Bayu menurut saja.
Kini keduanya duduk saling berhadapan. Hanya keheningan yang ada sejak mereka berdua menginjakkan kaki di sini. Bayu mengembuskan napas kasar, sepertinya memang harus dirinya yang memulai untuk berbicara.
"Jadi ... ngapain lo nyamperin gue?" tanya Bayu to the point.
"Kamu masih tetep aja ya, enggak berubah. Masih tetep gak suka basa-basi."
Bayu kembali mengembuskan napasnya kasar. Jika saja ini terjadi saat keadaan belum berubah, Bayu akan menerima dengan baik. Sayangnya, semuanya sudah berubah sekarang. Sejak saat itu, bagi Bayu tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.
"Gue gak punya banyak waktu. Buruan," kata Bayu tidak sabar.
"Bay aku kangen."
Tangan Bayu mengepal di bawah meja. Emosinya naik seketika. Tanpa mengatakan apapun, Bayu bangkit berlalu meninggalkan kafe.
Baru dua langkah, Bayu terhenti. Tangannya dicekal. Usai mengembuskan napas untuk meredakan emosinya, Bayu berbalik. Menatap datar manusia di depannya.
"Cempaka."
Sial! Sekadar menyebutkan namanya saja membuat emosi Bayu kembali naik. Apalagi lama-lama berdekatan dengannya.
"Semuanya udah gak sama. Jangan anggap kalau semuanya masih kaya dulu," tukas Bayu datar. Tidak ingin berlama-lama dengan mantan pacarnya itu, Bayu segera melangkah keluar. Mengabaikan suara Cempaka yang menyerukan namanya.
Sebenarnya, yang Bayu butuhkan saat ini adalah Bella. Tempatnya berbagi cerita. Namun, mengingat hubungannya dengan Bella belum membaik, Bayu mengurungkan niatnya untuk mengunjungi rumah Bella.
Tujuan Bayu saat ini adalah Warung Bu Eni. Teman-temannya pasti masih berada di sana. Setidaknya, kalaupun tidak ada Bella, masih ada mereka sebagai tempat berbagi cerita.
Bayu memarkirkan motornya, lalu bergegas masuk ke Warung Bu Eni. Begitu menemukan teman-temannya, Bayu menghampiri mereka.
"Kok udah ke sini? Si Cempaka lo tinggal di mana?" tanya Lema yang paling awal menyadari kedatangan Bayu.
Bayu menaikkan bahunya acuh. Ia meraih segelas es teh di hadapannya yang tidak diketahui milik siapa, lalu meneguknya hingga tandas.
"Es teh gue, Bay!" seru Ghena tidak terima.
"Tinggal pesen lagi. Nanti gue bayarin."
"Oke."
Dengan senang hati Ghena menghampiri Bu Eni. Memesan segelas es teh dengan satu mangkok mi kuah. Tentu saja semuanya harus dibayar Bayu. Salah siapa menyuruhnya untuk memesan, ya sudah pasti si tukang makan itu tidak hanya pesan segelas es teh.
Sementara itu, Septa menatap prihatin Bayu. Selama ini Bayu jarang sekali menampakkan masalahnya. Tetapi kali ini, masalah untuk cowok itu datang bertubi-tubi. "Jadi kenapa dia nemuin lo? Pake nyamperin ke sekolah segala lagi," tanya Septa.
"Katanya sih, kangen. Katanya tapi." Bayu menjawabnya dengan malas.
Sejujurnya, Bayu sedikit merasa senang mendengar Cempaka mengatakan kangen. Kalau saja Bayu belum move on, bisa dipastikan ia akan mengajak Cempaka kembali berpacaran.
Sayangnya Bayu terlanjur mengubur dalam-dalam rasanya untuk Cempaka. Rasa cintanya sudah kalah oleh rasa kecewa. Yang Cempaka lakukan dulu, tidak semudah itu untuk dimaafkan oleh Bayu.
"Jujur aja lo pasti seneng kan, dia bilang kangen?" tuduh Aldian.
"Enggak lah. Gila aja!" kilah Bayu. Ia kembali meneguk setengah gelas es teh yang tersisa.
"Enggak salah kan, Bay? Lo itu gak pinter bohong, udah."
"Balikan aja udah, Bay," timpal Ghena.
"Sampai Upin Ipin rambutnya lebat juga gak mau gue!"