Hannah Murphy mendesah kesal saat smartphone-nya berdering hingga membangunkannya dari tidur.
“Halo, siapa ini.” Ujarnya ketus dengan mata masih terpejam.
“Hannah.” Suara Courtney Brewer terdengar. “Apa kau sudah membuka melihatnya?”
“Lihat apa?” Sambil mengucek mata, Hannah melihat ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua dinihari. “Sepenting apa sih hingga kau sampai membangunkanku malam-malam begini.”
“Ini sangat penting.” Ujar Courtney dengan nada serius. “Sarah baru saja menggorok lehernya sendiri.”
“Apa!?” Hannah langsung bangun dari tidurnya. “Apa maksudmu? Untuk apa dia melakukannya?”
“Lebih baik kau membuka akun media sosialnya. Dia baru saja mengirim live video yang mengerikan.”
“Apa maksudmu mengerikan. Aku…”
“Aku tidak bisa menjelaskannya dan lebih baik kau melihatnya sendiri, Hannah!” Tukas Courtney dengan kesal. “Hm, maafkan aku. Kejadian ini sangat mengejutkanku. Aku akan ke rumahmu sekarang. Di mana orang tuamu?”
“Mereka tengah ke luar kota dan baru pulang besok malam.”
“Baiklah, aku akan ke rumahmu sekarang. Selama itu tontonlah live video yang dikirim Sarah.”
Courtney Brewer langsung mematikan telepon.
“Video macam apa, sih.”
Hannah langsung memeriksa akun Sarah Foret dan memutar video terakhir yang dikirimnya. Durasi video itu hanya sebentar, hanya sepanjang 106 detik. Namun, wajah Hannah Murphy langsung pucat dan bahkan membuat gadis itu berlari ke toilet dan memuntahkan isi perutnya.
Saat Courtney datang dua puluh tiga menit kemudian. Hannah tengah duduk termanggu di dalam kamarnya yang terang benderang.
“Pasti kau telah melihatnya.” Ujar Courtney sambil menghembuskan napas panjang. “Bagaimana menurutmu?”
“Aku sejak tadi berpikir.” Hannah menunjukkan sebuah pisau dapur. “Pisau ini adalah pisau mahal yang sangat tajam. Aku yakin jauh lebih mahal dari pisau yang dipakai Sarah untuk memotong lehernya sendiri. Tetapi, setajam apa pun pisau ini, aku tidak yakin akan membuatku mampu memotong leherku sendiri sambil tersenyum seperti orang sinting.”
“Aku juga berpikir seperti itu.” Courtney membuka jaketnya dan kemudian duduk di atas tempat tidur. “Sekarang apa yang harus kita lakukan?”
“Lakukan apa?”
“Sebelum Sarah melakukan itu, ia menyebut nama kita berdua. Maksudku…” Courtney menelan liurnya. “Apakah menurutmu kita akan mendapatkan masalah?”
“Masalah apa?” Tanya Hannah. “Bukan salah kita, kalau pada kenyataannya Sarah Foret adalah perempuan murahan.”
“Itu memang benar, tapi…”
“Dengar, Sarah hanya mengalami stress karena satu sekolah tahu, bahwa ia tidur dengan pria-pria tua demi mendapatkan uang.”
“Iya, tapi…” Courtney melanjutkan ucapannnya dengan berbisik. “Kitalah yang telah menyebarkan foto-foto dan video itu dan…”
“Mereka tidak akan bisa membuktikan kalau kita yang telah menyebarkannya.”
“Darimana kau tahu?”
“Karena aku meminta tolong pada Clark si hacker itu untuk menyebarkannya lewat computer di lab sekolah. Ia bahkan menggunakan alamat ip palsu dan sebagainya sebelum menyebarkan video dan foto-foto itu.”
“Tapi bagaimana kalau polisi bisa melacaknya dan …”
“Mereka akan menangkap Clark.”
“Tapi bagaimana kalau Clark melaporkan kita?”
“Tetap saja kita tidak ditahan. Bukan salah kita Sarah sampai membunuh dirinya sendiri.”
“Tapi …”
“Courtney, dengar.” Hannah menghembuskan napas panjang sebelum meneruskan ucapannya. “Kita sama sekali tidak menyebarkan berita bohong atau menuliskan kata-kata hinaan dan sebagainya. Kita hanya menunjukkan bahwa Sarah Foret adalah pelacur remaja yang berkeliaran di lingkungan rawan di tengah malam. Tarifnya bahkan tidak mahal. Menurutku kita malah membantu masyarakat dengan memberitahu bahwa ada perempuan nakal yang bermain-main dengan banyak suami seseorang demi sejumlah uang.”
“Walau begitu, tetap saja …” Courtney diam sejenak. “Sebenarnya aku bingung darimana si keparat itu tahu bahwa kita yang menyebarkannya?”
“Dia tidak tahu. Sarah hanya menduganya. Percayalah, kita akan baik-baik saja.”
“Baiklah kalau menurutmu begitu.” Courtney mulai merasa sedikit lega. “Ngomong-ngomong, apa teman-teman yang lain sudah tahu?”
“Sepertinya belum.”