Apakah kau berani mengorbankan nyawamu demi cinta?
Apakah kau rela mati untuk bersama dalam keabadian dengan perempuan yang kau cintai?
Apakah pertanyaan ini wajar jika tercetus di dalam otak dan pikiranku?
Mungkin sebaiknya aku menceritakannya dari awal.
Namaku Marcel Hagi, seorang pria berusia tiga puluh lima tahun yang tinggal di Avrig, di propinsi Sibiu, Rumania. Tidak ada yang istimewa dari kotaku, maupun kehidupanku sebagai pegawai kantoran.
Setiap hari Senin hingga Jumat, aku selalu berangkat bekerja pukul tujuh pagi dan sampai di rumah pukul lima sore. Di akhir pekan, aku hanya bersantai di rumah atau sekedar berjalan-jalan di taman atau pusat perbelanjaan yang ada di sekitar gedung apartemen tempatku tinggal.
Seperti yang kau ketahui, aku merasa kehidupan yang kujalani ini sangat membosankan. Mungkin karena aku masih lajang. Dulu aku pernah memiliki kekasih, Claudia, tetapi dia meninggalkanku, setelah berselingkuh dengan pria lain yang menurutnya lebih mapan dan tampan.
Wanita sialan!
Itulah yang kupikirkan setiap kali ada yang menyebut namanya.
Kehidupan sosialku tidak jauh berbeda. Aku hanya sesekali mengobrol dengan Iosif, rekan sekantor yang rasanya terlalu berlebihan apabila disebut sebagai teman. Selain jam istirahat makan siang, kami nyaris tidak pernah bicara.
Entah sampai kapan aku terus begini. Menjalani sebuah kehidupan yang kering dan suram.
Perusahaan tempatku bekerja melayani kredit perumahan dan apartemen. Perusahaan itu adalah perusahaan kecil yang hanya mampu menggaji rendah para pegawainya yang jumlahnya tidak lebih dari delapan orang.
Selama beberapa kali dalam sebulan, secara bergantian kami mengambil lembur dan bekerja hingga pukul sembilan atau sepuluh malam.
Aku benci hidupku .…
Tetapi, semua itu berubah, ketika aku melihatnya di dalam bis dalam perjalanan pulang ke rumah setiap kali pulang lembur.
Dia adalah seorang gadis muda, yang masih bersekolah di tingkat menengah atas. Seragamnya menggunakan bahan kualitas terbaik. Terlihat jelas kalau gadis itu bersekolah di sekolah swasta yang mahal.
Entah apa yang ia lakukan, hingga ia pulang sekolah hingga selarut itu.
Wajahnya sangat manis, dengan kulit putih dan bibir berwarna merah alami yang mungil. Matanya yang sendu dan seakan melamun sangat menggemas bagi siapa pun yang melihatnya. Rambutnya yang lurus dan panjang dibiarkan tergerai. Setiap ia berjalan melewatiku ke arah bangku kesukaannya di belakang bis, aku bisa mencium aroma mawar dari shampoo yang dipakainya. Kakinya yang jenjang terlihat sangat serasi dengan rok mini berwarna hijau checkers yang dikenakannya.
Aku penasaran, apa gadis itu sengaja melipat roknya hingga jadi sependek itu.
Andaikata usiaku lima belas tahun lebih muda, sudah tentu aku akan menegur dan mengajaknya berkenalan. Tetapi keinginan itu selalu pupus, ketika aku melihat bayangaku sendiri di kaca bis. Aku terlihat begitu berumur dan suram. Sungguh tidak pantas, apabila bersanding dengan gadis sebelia itu.
Tidak apa-apa, itulah yang selalu aku gumamkan setiap kali. Aku sudah cukup bahagia menikmati kecantikannya dari kejauhan. Biarlah aku mengingat wajah dan sosoknya, sehingga hidupku yang membosankan ini menjadi lebih berwarna.
“Cepatlah tegur dia.” Nasehat Iosif saat aku menceritakan gadis itu saat jam istirahat makan siang. “Usiamu itu sudah kepala tiga. Mau sampai kapan lagi kau membujang?”
“Tapi dia masih anak sekolahan.” Sanggahku sambil meminum sedikit kopi hitamku yang pahit. “Bukankah mengajaknya berbicara adalah pelanggaran hukum?”
“Kalau kau memperkosanya, itu baru melanggar hukum.” Dengus pria berkacamata itu. “Sejujurnya, aku bahkan tidak yakin kalau dia adalah anak baik-baik. Maksudku, siswi sekolah mana yang masih berkeliaran di jalan saat larut malam?”
Mendengar itu, aku hanya bisa diam.
“Kapan kau lembur lagi.” Sambil mengunyah sandwich, Iosif bertanya.
“Nanti malam.” Jawabku pendek.
“Tegur dia.” Iosif tersenyum. “Kalau beruntung, mungkin kalian bisa main di hotel.”
“Kelewatan kau.” Aku tertawa. “Aku benar-benar menyukainya. Mana mungkin aku bersikap kurang ajar seperti itu.”