“Hei, Chia-hao, apa kau dengar ucapanku tadi?” Tanya Yu-hsuan pada sahabatnya itu.
“Apa?” Chia-hao mengangkat kepalanya. Jelas sekali kalau sejak tadi ia hanya melamun. “Maaf tolong diulangi.
Saat ini, Chia-hao dengan sahabatnya Yu-hsuan tengah duduk di kantin di sebuah sekolah menengah atas swasta terkenal di kota Taipei, Taiwan. Keduanya duduk di bangku kelas XI dan keduanya menjalani sekolah mereka dengan santai dengan alasan bahwa masa remaja tidak akan datang dua kali dan harus dinikmati dengan sebaik-baiknya.
“Aduh, kau ini.” Gerutu Yu-hsuan sambil menggaruk-garuk rambut cepaknya dengan sebal. “Tadi aku mengatakan, kalau hantu Ya-chi kembali mengganggu.”
“Siapa yang diganggunya?”
“Anak kelas satu.”
“Namanya?”
“Mana kutahu?”
“Dari siapa kau mendengarnya?”
“Beritanya sudah tersebar kemana-mana, bahkan hingga di internet.”
“Kalau kita saja yang satu sekolah tidak tahu menahu mengenai kejadian itu, bagaimana mungkin kau bisa yakin berita soal hantu Ya-chi itu benar.” Komentar Chia-hao sambil meminum sebuah minuman isotonic. “Lagipula sebenarnya aku tidak yakin kalau hantu Ya-chi itu benar-benar ada.”
“Dari mana kau tahu?” Yu Hsuan mengangkat sebelah alisnya. “Sok tahu kau.”
“Oke, sekarang coba kau jawab pertanyaanku.” Chia-hao memperbaiki posisi duduknya. “Selama kita bersekolah di sini, sudah berapa banyak berita yang kau dengar soal hantu Ya-chi?”
“Puluhan.” Jawab Yu-hsuan sambil menghitung dengan jarinya.
“Oke dan berapa orang yang benar-benar kau kenal terlibat di dalamnya?”
“Tidak ada.”
“Jelas, ‘kan.” Chia-hao menepuk meja dengan penuh kemenangan. “Itu dia buktinya. Sekolah ini kurang-lebih memiliki lima ratus siswa dan berita mengenai hantu Ya-chi ada puluhan setiap tahunnya. Aneh sekali, ‘kan kalau sampai tidak ada satu orang pun yang kita kenal mengalaminya.”
Saat mendengar itu Yu-hsuan hanya bisa diam.
“Kau menang.” Gerutu Yu-hsuan. “Tapi tetap saja aku memilih untuk mempercayainya.”
“Alasannya?”
“Karena sekolah terasa lebih menyenangkan kalau memiliki cerita hantu.”
“Itu sih sama saja kau menipu dirimu sendiri.” Chia-hao meneguk minumannya sampai habis dan kemudian melemparnya ke dalam tong sampah daur ulang. Remaja itu bangkit dengan perasaan jengkel saat melihat lemparannya itu gagal masuk kesasaran. “Daripada memikirkan soal hantu, lebih baik kita fokus dalam hal lain.”
“Misalnya?”
“Pacaran dan berkencan.”
“Pacaran itu hanya buang-buang waktu.” Yu-hsuan meremehkan.
“Alasannya?”
“Karena cepat atau lambat kau pasti akan disakiti.”
“Itu sama sekali tidak benar.”
“Sudah banyak korbannya di kelas kita.” Tukas Yu-hsuan. “Ini fakta dan kau pun tahu kalau ini benar.”
“Itu adalah resiko yang harus kita ambil.”
“Aku tidak mau disakiti.” Desah Yu-hsuan. “Kau ‘kan tahu kalau perasaanku ini rapuh.”
“Jadi kira-kira apa yang harus kulakukan agar kau mau mengikuti saranku dan menjadi cowok yang gaul?” Chia-hao berpikir sejenak. “Perlukah aku membuktikan sendiri kalau hantu Ya-chi itu hanya isapan jempol saja.”
“Hei, aku ini gaul, hanya saja hantu Ya-chi lebih menarik perhatianku daripada yang lainnya.”
“Oke, aku akan menyelidikinya dan nanti malam aku akan ke apartemenmu untuk membicarakannya. Setuju!”
“Tapi nanti malam aku tidur sendirian.”