Fright and Fear

Roy Rolland
Chapter #9

9. South Korea: The Cursed

Choon Ji-chon mengerutkan keningnya saat melihat ada seorang pria berjalan memasuki bar-nya pada saat malam berbadai seperti ini. Ia baru saja berniat untuk tutup lebih awal, karena toh ia berpikir tidak akan ada yang datang pada malam ini. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dinihari dan angin badai yang datang dari Jepang ke daratan Korea sepertinya semakin menggila.

Dari berita, ia bisa tahu, bahwa di pelabuhan beberapa kapal pesiar terbawa angin hingga ke atap gedung. Dari berita pula ia tahu, bahwa pada beberapa kawasan, sambungan listrik dan telepon terputus. Sungguh malam yang mengerikan.

Ji-chon pun tidak mengerti, apa yang tengah dilakukan pria yang duduk di sudut bar itu di luar sana. Tubuh dan pakaiannya terlihat basah kuyup. Sedangkan pada wajahnya yang tampan, terlihat kelelahan yang luar biasa. Sepertinya sudah beberapa hari ini, pria tersebut tidak tidur.

Ji-chon pun berjalan menuju pintu dan kemudian menutup bar-nya, sebelum ia mendekati lelaki itu dan menegurnya dengan ramah.

“Kau terlihat kedinginan.” Ji-chon memberi pria itu handuk dan keranjang. “Bagaimana kalau kau membuka pakaianmu itu sebelum kau jatuh sakit.”

“Terima kasih.” Ujar sang pria tampan dengan suara gemetar.

“Aku rasa bir tidak cocok untuk malam hari ini.” Ji-chon kembali berkata. “Apa kau mau secangkir teh atau kopi?”

“Aku ingin black coffe.” Pria itu berjkata sambil membuka pakaiannya.

“Jadi kira-kira, apa yang dilakukan pria kaya sepertimu di tengah malam berbadai ini?” Ujar Ji-chon sambil memanaskan air dengan ceret listrik.

“Darimana kau tahu, kalau aku orang kaya?”

“Setelanmu itu, setidaknya seharga lima belas juta won, iyakan?” Ji-chon melemparkan sebuah selimut tebal pada si pria.

Pria itu menggangguk.

“Kau benar. Aku bekerja sebagai konsultan keuangan di Seoul?” Si pria itu berkata sambil membungkus tubuhnya dengan selimut.

“Jadi, apa kau bisa menceritakan apa yang tengah dilakukan seorang konsultan keuangan yang sukses seperti dirimu di kota pelabuhan miskin seperti Samyuk ini?” Tanya Ji-chon sambil menuangkan air panas ke dalam dua buah mug berukuran besar. “Aku ragu di kota ini ada yang mampu untuk membayar jasamu.”

“Kau benar. Sesungguhnya, kedatanganku ke kota ini adalah, karena aku sedang dalam pelarian.”

“Pelarian?” Ji-chon berjalan mendekat dan kemudian meletakkan dua mug kopi yang dibawanya untuk dirinya sendiri dan si pria tampan itu. “Aku tidak mengerti? Apakah kau menghilangkan uang mafia atau semacamnya?”

Mendengar itu sang pria tertawa. Tawanya itu terdengar sangat keras dan panjang sehingga terkesan tidak wajar.

“Itu adalah persoalan yang sangat sepele bagiku, teman.” Si pria itu berkata setelah puas tertawa. “Apakah kau mau mendengarkan ceritaku?”

“Sebelum itu, perkenalkan, namaku adalah Choon Ji-chon.” Ji-chon mengulurkan tangannya.

“Namaku Hyuk.”

“Nama lengkapmu?”

“Demi kebaikanmu sendiri, kumohon jangan tanyakan itu.”

“Sebenarnya, Hyuk juga bukan nama aslimu, iyakan?”

“Aku harap kau maklum.”

“Katakan Hyuk, apakah saat ini kau tengah lari dari polisi?”

“Persoalanku sama sekali tidak melibatkan hukum maupun polisi.” Tiba-tiba Hyuk terlihat tidak sabar. “Katakan, apakah kau ingin mendengar ceritaku?”

“Jujur saja, semakin aku berbicara denganmu semakin bingung pula aku dengan apa yang tengah kau hadapi” Ji-chon menghirup kopinya. “Apakah kau itu tengah dikejar hantu atau sebangsanya?”

“Bukan hantu maupun setan.” Bisik Hyuk sebelum ia melirik ke kiri dan ke kanan dengan wajah ketakutan. “Tetapi sesuatu yang jauh lebih mengerikan.”

“Kau bersungguh-sungguh?” Ji-chon menatap Hyuk tanpa berkedip. “Kau sama sekali tidak menggodaku, iyakan?”

“Aku sangat serius.” Hyuk menyeringai sebelum ekspresinya berubah menjadi galau. “Aku sungguh tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku sudah melakukan segala-galanya, tetapi, dia tetap kembali.”

“Bagaimana aku bisa membantumu kalau kau terus main teka-teki seperti ini.” Setelah mengatakan itu Ji-chon mendesah. “Kalau begitu cepat ceritakan padaku.”

“Itulah yang sejak tadi kutanyakan!” dengan penuh amarah Hyuk menggebrak meja. Sesaat kemudian ia baru sadar akan sikapnya yang kurang sopan. “M-maafkan aku. Aku sungguhg-sungguh tidak bermaksud.”

“Hei, aku adalah bartender.” Ji-chon berkata dengan santai. “Aku sudah terbiasa menghadapi orang yang jauh lebih menyebalkan darimu.”

Keduanya tertawa.

“Jadi, apa kau mau mendengar ceritaku?” Hyuk kembali bertanya. Namun kali ini nada suara terdengar sangat memaksa.

“Boleh juga.”

“Apa kau yakin?” Wajah Hyuk langsung serius. “Apa kau sungguh-sungguh ingin mendengar ceritaku?”

“Ya.”

“Kalau begitu katakan!”

“Katakan apa?”

Lihat selengkapnya