Tolong aku!
Sebuah pesan yang ditinggalkan oleh Al untuk Bia yang sedang menyamar. Eza duduk di meja tadi setelah berbincang cukup lama dengan wanita paruh baya dan beberapa pelanggan serta pelayan di rumah makan itu. Ia menatap Bia yang sedang menunduk sambil berpikir keras.
"Hei? Sudah dapat gambarnya?" Eza menepuk bahu Bia. Bia sedikit terlonjak kaget. Ia segera menyembunyikan secarik kertas tadi di saku hoodie. "Eh ... ngagetin aja. Udah kok mau lihat?" Bia mencoba menetralkan degup jantungnya akibat kaget tadi. "Nggak perlu, gue percaya kalo hasilnya bagus. Ayo pulang! Bentar lagi malam. Ibumu pasti khawatir." Eza berdiri hendak pergi dari rumah makan ini. "Oke, lo pulangnya gimana?" Bia menyusul Eza.
"Gue dah pesen ojek online. Tinggal nunggu sebentar doang. Lo pulang duluan aja. Gak baik buat cewek pulang malem-malem. Sorry, gak bisa ngater dan makasih udah dateng jauh-jauh ke sini. Gue liatin lo aja dari sini." Mereka telah sampai di bawah pohon dekat rumah makan itu. "Oh ... Oke. Ntar malem gue kirim gambarnya. Gue pulang dulu. Bye." Bia segera mengenakan helm dan memutar motornya. Ia segera pergi dari tempat itu. Eza menatap motor Bia yang semakin lama menghilang dari pandangan matanya.
"Gadis yang unik, gue harap kita bisa jadi partner tetap. Semoga saja."
***
Di rumah sakit...
Pria perawat itu kembali menghampiri Radev. Radev cukup lega karena yang merawatnya adalah seorang pria, ia tak ingin dirawat oleh suster-suster ganjen. Ia punya beberapa pengalaman buruk dengan mereka. Radev tak ingin mengingatnya. Perawat itu memeriksa keadaannya sejenak.
"Kenapa selalu lo yang ngerawat gue?" Radev baru ingat kalo ia belum tahu nama perawat ini. Dan ia barus sadar kalo pria ini adalah perawat baru. Ia tak pernah melihatnya bekerja di sini sebelumnya. "Apa itu penting bagimu? Sebaiknya kau hubungi dulu keluargamu. Pakai ini." Perawat itu menyodorkan ponselnya. Radev hanya menatap ponsel itu. "Mengapa diam saja? Bukankah kau punya keluarga?" Perawat itu masih berusaha membujuk Radev. "Apa gunanya gue hubungi kalau mereka sudah nggak peduli?" Radev menatap langit-langit rumah sakit mencoba mengingat bagaimana kehidupannya. Tak ada yang spesial semenjak kepergian kakaknya.
"Apa kau tak ingin pulang?"
"Gue gak punya tempat buat pulang. Biarin aja gue di sini selamanya. Mereka juga udah gak peduli." Radev menatap lurus ke depan. Tatapan yang kosong.
"Kau tak ingin kembali bersekolah? Apa tak ada yang kau rindukan di sekolah?" Radev berpikir sejenak. Hal yang dirindukan di sekolah? Apakah memang ada?
'Bia, bagaimana keadaannya saat gue gak ada? Apa dia gak khawatir sama gue? Hah ... ngarang apa sih, Dev. Emang lo siapanya Bia?' pikir Radev sejenak.
"Entahlah, gue gak yakin tapi mungkin ada seseorang."
"Oh ... ya saat kau koma aku berjanji akan mempertemukanmu dengan seseorang. Aku menepatinya malam ini. Bersiaplah, kita akan menginap di rumahnya malam ini."
"Hah ... buat apa gue gak mau."