Sekolah.
SMK Bintang Laksana, sekolah swasta dengan segudang prestasi yang berkelana. Sekolah dengan sejuta cerita, suka maupun duka. Sekolah ini cukup favorit, apalagi dengan syarat ketat untuk menjadi seorang pelajar. Murid di sini adalah murid - murid yang terpilih. Sekolah tak peduli dengan sikap maupun latar belakang mereka. Selama mereka berbakat hal itu tak akan menjadi masalah. Bahkan jika kamu adalah salah satu siswa berprestasi, maka kamu bebas memilih jadwal masuk sekolah.
Setidaknya di sekolah ini Bia merasa sedikit berguna, meski dia tak memiliki teman seorang pun. Berisi murid-murid yang cerdas membuat mereka bersikap individualis tanpa komunitas. Sibuk dengan kehidupannya sendiri dan penderitaan yang dimiliki masing-masing.
Bia memilih jurusan multimedia, ia cukup pintar mengutak atik komputer dan perangkat lainnya. Bahkan sering kali dia mengutak-atik hpnya sendiri guna meningkatkan kemampuan. Dia bertahan di sekolah ini karena tuntutan guru pembimbingnya.
Bia termasuk siswi dengan prestasi tersembunyi. Ia sudah beberapa kali memenangkan lomba dibidang jurusannya. Tetapi, dia memilih untuk tak menunjukkan diri. Ia yakin walaupun ia berprestasi pasti ada saja orang yang membenci. Bia tak ingin menambah jumlah orang yang membencinya. Sudah cukup dengan satu orang yang ia ketahui sangat membencinya.
Bia hampir tak ada semangat belajar saat pergi ke sekolah. Dia ke sekolah hanya berniat untuk menjual kue dagangan mamanya. Berangkat pagi setiap hari dan menitipkan satu kotak kue ke kantin dan membawa satu kotak lagi untuk dijual ke pada guru dan siswa-siswi di kelasnya.
Bia berjalan menyusuri lorong kembali ke kelasnya. Dia baru saja mengantarkan pesanan gurunya di kantor. Dia berjalan dengan cemas.
"Semoga aku tak bertemu dengannya," ucapnya pelan.
Bia terus berjalan dan mulai mempercepat langkahnya saat mendengar suara langkah kaki yang sedang mengikutinya. Semakin cepat bia berjalan, langkah di belakangnya juga terdengar semakin cepat. Bia sudah mulai mengambil ancang-ancang untuk berlari. Tapi, sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya. Tangan itu sangat kuat.
Firasat Bia sudah tak enak, dia mengenal betul aroma ini.
"Eits, mau kemana kucing penakut?" ucap pemilik tangan itu.
Semua orang pasti berpikir kalau dia adalah seorang pria baik dengan wajah tampan bak malaikatnya. Tapi, bagi Bia, orang ini adalah malaikat maut. Selalu memberi ketakutan pada dirinya. Orang yang membuatnya lebih membenci kehidupannya. Setiap kata yang terucap dari bibir manis cowok ini bukanlah kata - kata manis yang membuat hati berdebar tapi kalimat penuh kebencian yang membuat merinding ketakutan. Jadi, tak heran kalau sekarang badan Bia sudah gemetaran. Dia merasakan sebuah sorot mata penuh penghinaan. Hanya merasa saja, aura cowok ini lebih buruk dari aura guru BK atau marahnya orang tua.
"Jawab dong. Tadi gue tanya lo bukan tanya tembok, Bimel!"
"Em...A-anu."
"Anu apa anu! Kalo ngomong sama orang tuh liat matanya," ucapnya sambil memegang dagu Bia, agar dia dapat melihat wajahnya.
Bia menatap mata itu dengan tatapan penuh ketakutan. Dia hanya bisa meneguk saliva. Cowok itu melihat sebuah memar biru samar yang ada di pipi Bia.
"Ini kenapa biru? Lo gak salah pake blush on kan?"
Bia merinding saat tangan dingin itu menyentuh pipinya. Percayalah kalimat tadi terdengar sangat menyeramkan bagi orang yang mendengarnya.
"Gak pa pa kok, bukan urusanmu juga," jawab Bia pelan.
"Bukan urusan gue? Siapa yang berani mainin boneka gue itu jadi urusan gue."
Menyedihkan. Sejak kapan Bia menjadi bonekanya? Memang keadaan menyedihkan Bia sekarang seperti boneka. Tetapi, bukankah boneka seharusnya dijaga dengan lembut?
"Radev, apa yang kamu lakukan?"
"Gak ngapa-ngapain kok, Bu. Ini saya baru bersihin bajunya. Bener kan, Bia?" ucap Radev sambil menatap Bia tajam.
"Eh...Iya, Bu."
Satu lagi pria pengecut, tak mau mengakui apa yang perbuatannya.
"Oh...Begitu. Sebentar lagi pelajaran mulai. Kalian harus kembali ke kelas."
"Siap, Bu," ucap Radev sok semangat.
'Dasar munafik,' batin Bia.