Suara alarm yang menggelegar membangunkan Sarah dari tidurnya yang sangat nyenyak, matahari masuk dari celah gorden, dengan tangannya ia menggosok-gosokkan matanya, agar ia bisa bangun, ritualnya setiap pagi adalah untuk melihat kerecehan di Instagram setiap pagi selama yang menurutnya adalah 5 menit, tapi kenyataanya adalah 30 menit, ‘teknik pengumpulan nyawa’ katanya.
Ia beranjak dari kasur ketika nyawanya sudah terkumpul, dia berjalan ke lemari pakaiannya, memilih celana hitam, dalaman dress hitam selutut tanpa lengan dan diluarnya dia akan memakai crop-top berwarna oranye dengan lengan panjang, dan tidak lupa ia juga mengambil hijabnya yang berwarna putih, dan ia membasuh dirinya, memakai bajunya, dan memoles mukanya dengan ulasan tipis riasan muka.
Sepanjang ia melakukan itu semua, hpnya tidak ada hentinya berdenting dari suara notifikasi pesan yang masuk, ia tidak menggubrisnya karena perempuan itu sedang fokus menggunakan maskara yang ia sangat cintai, salah satu barang yang, tanpanya, ia tidak bisa hidup.
Ia duduk di ranjangnya dan membuka hpnya dia melihat ada banyak notifikasi pesan yang masuk dari seseorang yang namanya, kalau di sebut, hanya membuahkan sakit hati yang mendalam bagi si penerima pesan, dan ia menyeringitkan dahinya ketika ia juga melihat pesan dari Li.
Pesan yang masih dalam batas wajar seorang teman, pertanyaan mengenai kabar, mengenai kelas, dan itu tidak terlalu mengganggu Sarah, karena ia pun ingin memperluas pertemanannya, dan menurutnya berkuliah di negara ini kesempatan yang baik. Jadi, ia menjawab semua pesan Li seperti biasa, layaknya teman yang baru berkenalan.
Tidak sampai satu detik, laki-laki itu membalas pesan Sarah, selayaknya wanita, Sarah menunggu beberapa menit untuk menjawab pesan Li, tapi ketika tidak di balas dalam satu detik, Li mengirim pesan lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi.
Balas pesanku
Balas pesanku
Balas pesanku
Sarah kesal, lalu ia mematikan suara hpnya dan melihat aplikasi yang lain, tapi ia memikirkan bahwa dari semenjak ia bertemu dengan Li di dalam kelas, sepertinya ia terus berpapasan dengan laki-laki itu.
Setiap Sarah memiliki kelas yang tidak bersama dengan Li, ia pasti selalu menemukannya di Lawson, sedang duduk di luar, tidak memainkan hpnya, hanya melihat sekitar, terlihat seperti menunggu seseorang, tentunya yang di tunggu bukan yang lain adalah Sarah, laki-laki itu menunggunya agar bisa menyapanya.
Dimanapun Sarah makan, ia pun akan menemukan Li makan di situ. Setiap akhir kelas Sarah pasti menemukan Li di gedung yang sama, berjalan dengan rute yang sama, dengan kecepatan yang sama, dan dengan ekspresi yang sama, seringaian yang bisa merobek mulutnya.
Ah jangan mikir terlalu banyak, pasti cuma kebetulan aja pikir Sarah, meskipun ia tidak ingin menspekulasi bahwa seseorang itu buruk, tidak bisa di pungkiri bahwa makin hari, Sarah makin merasa resah dan terganggu, tapi ia belum bercerita ke Cassandra, yang biasanya menjadi tempat bersandarnya.
Hari ini pun dia jalani dengan normal, layaknya tidak ada yang menjadi pikiran dan beban bagi Sarah, ia melihat jam di hpnya yang sudah menunjukkan pukul 09:30, dan seperti biasa, Cassandra dan Risa mengetok kamar Sarah.
“Sar,” Ketok risa “udah belom?”
“Udah!” ia langsung menghambur keluar dari Kasur dan mengambil tasnya dan menggunakan sepatunya “seberntar!” dan dia membuka pintunya “yuk” mereka berjalan ke kelas dengan rute yang seperti biasa ke gedung 8 yang agak lebih jauh, makanya mereka menggunakan sepeda, dan alasan yang lain adalah Cassandra masih menghindari Eduard.
Kelas orang Indonesia selalu bersamaan dengan kelas orang Rusia, maka, sebagaimanapun Cassandra ingin menghindar dari laki-laki itu, ia tidak bisa, karena ujung-ujungnya mereka akan bertemu di dalam kelas. Seperti sekarang ini, Cassandra berjalan di samping Sarah, ia meringkukkan badannya dan mencoba bersembunyi di balik badan kecil Sarah, yang tentunya tidak akan berguna, mengingat proporsi badan Cassandra dan Sarah agak berbeda. Sarah yang tinggi dan kurus, dan sarah yang Cassandra yang lebih berisi dan montok.
“Untung saja ia belum ada di kelas,” Cassandra menghela nafas dan meluruskan tubuhnya, berjalan layaknya orang normal ke tempat duduk yang biasa mereka duduki, yaitu agak di belakang. Sarah dan Cassandra langsung mengeluarkan laptop mereka, Sarah menonton video menari, dan Cassandra menonton film.
Entah mengapa hari ini Sarah merasa lebih resah, ia terus merasa ada yang memerhatikannya, maka Sarah selalu melihat ke arah luar jendela, tapi ia tidak menemukan apa-apa, perempuan itu mencoba kembali fokus pada videonya. Kedua orang itu tidak memerhatikan sekitar kelasnya, dan Cassandra sudah pasti tidak melihat Eduard yang sudah masuk kelas dengan celana adidas merahnya dengan kaos putih, dan tentunya, sepatu bututnya.
Cassandra pun bingung mengapa laki-laki itu selalu memakai sepatu putihnya yang sudah kusam, padahal dia memiliki motor dan juga mobil yang mewah di negeri orang pula, tapi bukan tempatnya Cassandra untuk mengomentari apa yang Eduard pakai, biarkan orang-orang memakai apa yang mereka inginkan, karena itu hak mereka.
Mata Eduard berbinar tapi tanpa menyunggingkan seulas senyum setelah ia melihat wanita yang telah menghindarinya belakangan ini dan tentunya, Eduard mengetahui alasan di belakang tindakan perempuan itu, membuatnya melonjak gembira, di dalam pikirannya, tentunya.
Risa yang melihat kedatangan Eduard, ingin memberi tahu Cassandra, tapi Eduard menaruh satu jari di depan mulutnya menandakan agar Risa tidak memberi tahu sahabatnya itu. Mereka bertiga jalan ke kursi di belakang Cassandra, dan perempuan itu terlalu fokus, ia tidak menyadari keberadaan Eduard yang sudah ada di belakangnya, Eduard melepas salah satu earphonenya.
“Sedang nonton apa, Cara sayang?” Eduard berbisik di telinga Cassandra, perempuan itu terkesiap dan sedikit menengok ke arah suara, dan tanpa di sengaja,
CUP!
Bibir Eduard mengecup pipi Cassandra, yang langsung di sambut dengan teriakan tertahan dari Cassandra dan perempuan itu menyerong ke arah yang berlawanan, dan menabrakkan tubuhnya ke tubuh Risa, Cassandra menggosok-gosokkan pipinya, mencoba menghilangkan rasa bekas kecupan Eduard di pipinya.