Eduard, dengan gesit, ia membalikkan badannya, menangkap Cassandra sebelum seluruh tubuhnya jatuh ke lantai yang kotor itu, Eduard membelalakan matanya, dan melihat turun ke perut Cassandra yang tertembak, dengan darah yang mengalir deras, darah yang menyatu dengan gaun marun perempuan itu.
Napas Cassandra tersendat – sendat, hati Eduard hancur, lalu ia mengingat ia belum menghabiskan orang yang melakukan ini kepada wanita yang ia cintai.
Li tertawa dengan kencang “setidaknya aku membunuh kekasihmu!” tawanya makin menjadi “kalau dia mati itu semua salah mu Radishhev! Kau datang terlambat dan sekarang dia akan mati!”
Murka, Eduard mengambil pistol yang ada di sarung pistolnya dan menembakkannya, berulang, berulang, dan berulang kali di sekujur tubuh Li yang terhempas mengikuti arah tembakan, dan dengan tembakan terakhirnya, ia mengarahkan pistol itu ke kepalanya, dan tembakan terakhir itu pun Eduard layangkan.
Badan itu sekarang benar – benar jatuh tidak bernyawa di lantai penuh kotoran tikus dan darah itu, dengan badannya yang masih sedikit kejang – kejang. Lalu hening, psikopat itu sudah pergi, dan Eduard berdoa bahwa si brengsek itu akan di bawa ke tempatnya yang seharusnya, neraka.
Eduard kembali melihat ke Cassandra setelah menyelesaikan urusannya dengan Li, ia mendekap Cassandra erat, ia menaruh tangannya di luka tembak perempuan itu, memberi tekanan agar darah itu berhenti mengalir, ia berjalan dengan cepat ke mobil yang sudah di siapkan oleh Alex, agar ia tidak menggoncang – goncangkan wanita itu lebih lanjut.
Ia terus menekan luka itu, dan Cassandra membuka matanya dan melihat ke Eduard dengan sendu, dengan nafas yang tersengal.
“Aku tahu kau akan datang,” Cassandra mengeluarkan suara sekenang yang ia bisa dengan luka itu “terima kasih” perempuan itu membuka dan menutup matanya, terlihat seperti sangat ngantuk.
“Aku mohon jangan tutup matamu!” pinta Eduard putus asa.
“Aku bahagia kau baik – baik saja,” Cassandra mengulurkan tangannya yang penuh dengan darah, ia mengangkup pipi Eduard dan karena saking tidak berdayanya Casssandra, elusan ibu jari Cassandra tidak bisa terasa oleh Eduard yang sudah mati rasa ketika melihat wanitanya seperti ini, perempuan itu merinding “Eduard, aku dingin” ia menutup matanya lalu membukanya lagi dengan pelan, semakin lama, semakin garis mata itu tidak terlihat saat terbuka.
“Jangan aku mohon, tahan sebentar lagi!” Eduard berkata dengan gugup, ia berteriak “Alex! Tancap gasnya! Lebih cepat!” Alex melaju lebih cepat, tidak memedulikan rambu lalu lintas yang ada, dan Eduard tidak peduli dengan berapa yang harus ia bayar karena telah melanggar.
Ia melihat Cassandra yang menoba mengambil napas dengan panik, bulir keringat dingin keluar dari dahinya, dan tangannya gemetar, ia mengambil jaketnya dan ia menaruhnya di badan perempuan yang sekarang terkujur lemah di pangkuannya.
“Maafkan aku,” Eduard berkata berulang – ulang kali, sambil mengelus pipi wanita itu, “maafkan aku”
“Eduard dengarkan aku,” suara Cassandra mulai menjadi bisikan, Cassandra mengisyaratkan agar laki – laki itu mendekat, karena mengeluarkan bisikanpun ia hampir tak bisa, tetapi ia mencoba untuk berbicara dengan jelas, “Aku,” Cassandra menarik napas pendek “men—”
“Aku mohon jangan katakan sekarang,” Eduard merasakan ada benda asing di pelupuk matanya, membuat pandangannya sedikit kabur “katakan saat kau sembuh nanti. Di pantai saat senja, seperti yang kau impikan, hm?” tawar Eduard, matanya semakin kabur.
Cassandra tertawa pelan, tawa yang sangat ia cintai, tawa yang ia ingin dengar setiap hari, perempuan itu menyeka benda yang jatuh dari mata Eduard, tanpa menyadarinya, Eduard menangis, untuk pertama kalinya di depan anak buahnya, dan ia tidak peduli.
Perempuan itu mencoba mengambil napas yang tersendat “terlalu terlambat nanti, kutu bodoh” katanya dengan jeda di setiap katanya untuk memasukan oksigen dalam tubuhnya.
Cassandra tersenyum tipis, ia berpikir tentang betapa ia ingin menyatakan perasaannya di situasi yang lebih baik, tadinya ia ingin menyatakan perasaannya di malam Eduard mengajaknya menghabiskan malam berdansa dengannya, di bawah cahaya bintang, di bawah lampu gemerlap.
Tapi ia tidak tahu apakah matahari akan terbit untuknya besok.
“Aku .. mencintaimu.. Eduard” ia berkata dengan pelan dengan jeda di setiap katanya, kata – katanya hanya merupakan bisikan, tapi itu berhasil membuat air terjun turun lebih deras dari pelupuk matanya.
Cassandra tertawa, dan menyeka air mata laki – laki itu, “jangan.. nangis.. nanti.. gantengnya.. hilang..”
Perempuan itu, dengan kekuatan terbatas yang ia punya, mencoba untuk mendekatkan bibirnya ke bibir laki – laki yang di cintainya itu, tapi ia terlalu lemah, ia memandang Eduard dengan pandangan memohon.
“Cium.. aku” pintanya
Eduard menggelengkan kepalanya, “aku mau ciuman pertama kita spesial,” ia mengelus rambut Cassandra “saat kau sembuh nanti, oke?” ternyata bukan hanya tangannya yang gemetar, melainkan suaranya pun mulai goyah.
Cassandra menarik dan membuang napas dengan lembut, matanya mulai berkedip lalu terpejam lagi, dan sudah sangat kabur, ia tidak tahu berapa lama lagi waktu yang ia punya, tapi berapapun itu ia yakin, waktunya tidak cukup untuk melakukan segala hal yang ia ingin lakukan bersama Eduard, maka, setidaknya ia ingin melakukan ini. Cassandra bergidik kedinginan.
“Cara, love,”Eduard sedikit memukul pipi Cassandra “jangan pejamkan matamu”
“Aku,” Cassandra membuka dan menutup matanya lagi dengan lelah “mohon” Eduard tidak bisa menolak permintaan wanita yang ia cintai itu.
Orang bilang, ciuman pertama adalah salah satu momen terbaik dalam hidup seseorang, dan rasanya mencium orang yang di cintai adalah perasaan yang dapat melambungkan hati kita jauh ke awan ke 9. Orang bilang, ciuman pertama harus dengan orang yang tepat, dalam momen yang tepat. Tapi, itu hanya impian belaka, terkadang, hidup tidak berjalan sesuai yang di inginkan.
Eduard dengan pasrah, membungkukkan badannya dengan perlahan, mendekatkan bibirnya dengan bibir penuh Cassandra, ia masih ragu, ia tidak ingin ciuman pertama mereka di malam yang penuh darah, tapi apakah ia akan melewatkan kesempatan ini?
Bagaimana kalau tidak ada kesempatan berikutnya? Eduard bergidik ngeri, dan ia mendekatkan bibir mereka lagi, hanya tinggal 1 centi. Cassandra memejamkan matanya, bagitupun dengan Eduard yang masih mengelus pipi wanita itu. Hanya 1 centi lagi.
Dan untuk pertama kalinya, bibir mereka tertautkan, ciuman yang lembut, penuh perasaan, penuh emosi, meluapkan seluruh perasaan cinta mereka dalam tautan bibir itu. Mereka berciuman seperti mereka tidak akan pernah mencium lagi di hari esok, karena mereka berdua tahu ada kemungkinan bahwa hari esok tak akan datang bagi gadis manisnya.
Orang berkata bahwa ciuman pertama akan terasa manis, semanis madu, tapi mengapa ciuman pertama Cassandra dan Eduard terasa pahit seperti obat? Mengapa ciuman pertama Cassandra dan Eduard adalah di dalam mobil dengan yang salah satunya di ambang pintu kematian? Mengapa ketika Cassandra menemukan cintanya, nyawanya harus di permainkan oleh dewa kematian? Cassandra merasa hidupnya tidak adil, tapi apakah hidup memang pernah adil?
Air mata Eduard yang jatuh ke pipi Cassandra, bertemu dengan air mata yang turun dari mata Cassandra, perempuan itu menaruh tangannya di kepala Eduard, dan Eduard menaruh tangannya di pipi Cassandra. Mereka bercumbu dengan penuh rasa cinta. Penuh dengan rasa putus asa.
Mereka melepaskan diri mereka saat membutuhkan udara untuk di hirup, Eduard melihat Cassandra dengan penuh cinta, dan Cassandra melihat Eduard dengan penuh kasih sayang, ia menatap lurus ke manik hijau yang membuatnya jatuh cinta, wanita itu mengulur tangannya dan mengelus pipi Eduard, dengan elusan seringan bulu.
Ia merasa sangat dingin. Ia merasa badannya berat dan sangat lelah, seperti ia membutuhkan tidur. Cassandra mulai memejamkan matanya, tapi ia mencoba untuk membukanya lagi. Eduard tahu wanita itu sudah mulai kehilangan kesadarannya. Ketika ia melihat matanya yang mulai terpejam, hatinya berdetak sangat cepat seperti hatinya akan keluar dari rongganya, dan ia menghela napas ketika wanita itu membukanya lagi.
Cassandra membuka matanya lagi, lalu meilhat lurus ke mata Eduard dan tersenyum, Eduard mulai panik, dan ia menggeleng. Tidak! Tidak! Tangan Cassandra yang mengelus pipi Eduard semakin lama semakin melemah, dan di detik yang sama wanita itu memejamkan matanya, tangan itu terjatuh lunglai di sisinya. Nafasnya berhenti.