From Nerd To An Idol

Momento Mori
Chapter #1

Panggilan Audisi

Namaku Eires Dwell, umurku 17 tahun kelas 2 SMA. Ibuku mantan model yang cukup terkenal, sedangkan ayahku seorang direktur perusahaan game yang cukup terkenal di negaraku bahkan di luar negeri.

Jika kamu berpikir karena aku anak dari seorang direktur perusahaan terkenal maka hidupku menyenangkan sama sekali tidak. Pekerjaan Ayah yang sangat sibuk membuat ayah jarang berada di rumah. Jika sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri maka ayah pasti akan membawa ibu. Kedua orang tuaku hampir tidak pernah hadir setiap kali diundang ke acara sekolah. Bahkan saat aku menjuarai lomba piano saat aku kelas 2 SMP mereka tidak datang.

Terlebih lagi orang tuaku sangat ketat dalam mendidik aku dan adikku. Entah itu dalam hal pendidikan, sampai ke financial, orang tuaku sangat keras. Bicara soal adik, aku juga tidak akrab dengan adikku. Kami sangat jarang berbicara satu sama lain.

Kehidupan sekolahku juga tidak begitu lancar, aku bukan anak yang populer. Penampilanku sangat biasa, wajahku bisa dikategorikan jelek. Selain pelajaran dan mengerti sedikit bermain piano klasik aku tidak punya kelebihan lainnya. Aku bahkan mendapat perundungan di sekolah sejak SMP, dan semakin parah saat aku SMA. Tapi karena mereka tidak melukaiku secara fisik jadi kubiarkan saja.

"Oi Dwell! Jangan membuat ekspresi yang menjijikkan begitu! Cepat pakai maskermu jangan sampai wajahmu yang jelek itu membuat nafsu makanku hilang!" bentak seorang teman sekelasku dengan ekspresi jijik lalu menendang kaki mejaku dengan keras, membuat meja dan makan siangku terjatuh ke lantai.

"Hei Dwell! Bagaimana kalau kau ganti nama depanmu? Nama 'Eires' itu hanya cocok untuk orang yang keren. Tidak cocok untuk manusia berwajah buruk rupa sepertimu." celetuk salah seorang dari mereka lalu diikuti gelak tawa teman-temannya yang lain.

Aku tak menggubrisnya, aku melanjutkan membereskan makan siangku yang terjatuh mengotori lantai. Teman-teman sekelasku yang lain ada yang ikut mengejek atau tertawa, ada juga yang melihatku dengan tatapan iba.

"Oi cepat pergi belikan kami makan siang di kantin! Listnya sudah kukirim ke WhatsApp mu! Ambil ini uangnya!" ujar teman sekelasku yang tadi menendang kaki mejaku hingga makan siangku tumpah sambil melemparkan uang seharga 50.000 yang dia gumpal ke arahku. Uang itu terjatuh tidak jauh dari kursiku, aku mengambilnya lalu melihat liat yang dia kirim ke WhatsApp ku. Seperti biasa, uang yang mereka beri tidak pernah cukup tapi aku memilih segera pergi meninggalkan mereka. Malas berlama-lama di dekat para orang idiot itu.

Mereka para pembully itu adalah teman sekelasku, genk mereka terkenal suka melakukan perundungan di sekolah kami. Tidak hanya aku yang mereka bully, kakak senior juga akan mereka bully jika mereka rasa tidak memenuhi standar.

Ini tidak seperti yang kau bayangkan, pembullyan di sekolah ini bukan karena strata sosial. SMA SIGRID adalah sekolah elit khusus pria, jika kau bukan anak dari keluarga yang kaya kau tidak akan bisa masuk sekolah ini meskipun kau sangat pintar. Di sekolah ini pembullyan terjadi biasa karena 'tampilan'. Jika kau jelek tidak perduli sekaya apapun keluargamu kau tidak akan di anggap di sekolah ini. Tidak akan ada yang perduli bagaimanapun kau dihina.

Dan aku, aku bully karena wajahku yang penuh dengan jerawat. Padahal ini sudah jauh berkurang dibanding saat aku SMP.

Mengadu kepada orang tua? Mereka hanya akan diam saja jika yang membully anak mereka memiliki kekuasaan atau kekayaan lebih besar dari mereka. Atau solusi terbaik adalah memindahkan anaknya ke sekolah lain, itu sangat sering terjadi.

"Ini makanan yang kau pesan." kataku dengan nada datar sambil melihat ke arah tanganku yang sedang meletakkan bungkusan berisi makanan di meja, aku sengaja tak pernah membuat kontak mata dengan mereka. Setelah menyerahkan pesanan mereka, aku segera kembali ke kursiku.

Aku tau mereka terkejut kenapa aku bisa begitu cepat membeli pesanan mereka. Mereka dari awal hanya ingin mengerjaiku agar aku mengantri lama di kantin yang selalu ramai.Tapi sayangnya hal itu tidak terjadi.

Semua itu karena peristiwa beberapa bulan lalu saat ibuku masuk rumah sakit karena kelelahan, aku bertemu ibu kantin sekolah kami, anaknya masuk rumah sakit dan uang dia kurang singkat cerita aku memberinya jatah uang jajan ku sebulan untuk membantu membayar biaya pengobatan anaknya. Setelah kejadian itu aku tidak pernah mengantri di kantin, bahkan dia sering memberiku makan siang cuma-cuma.

"Ternyata wajahmu yang mengerikan itu ada gunanya juga Dwell. Kau tak perlu mengantri, ibu kantin mendahulukan mu, takut kau membuat semua orang disana kehilangan selera makan karena wajahmu yang menjijikkan itu! Hahahaha..." ujar ketua genk mereka sembari menepuk pundakku dengan keras. Aku mengacuhkannya saja, dan mengeluarkan buku untuk mata pelajaran selanjutnya.

"Hei Dwell! Aku dengar ibumu mantan model dan sangat cantik, ayahmu juga salah satu pengusaha yang tampan. Tapi kenapa wajahmu buruk sekali??? Ahh... Kasihan sekali mereka... Orang tuamu pasti malu sekali punya anak sepertimu!" kata salah seorang dari genk itu diikuti gelak tawa teman-temannya yang lain. Mereka mencoba membuatku marah. Tapi aku tidak akan terpancing emosi karena hal itu hanya akan membuat mereka senang.

Sesampainya di rumah aku mandi untuk mengembalikan moodku. Sore hari setelah selesai mandi aku memutuskan untuk duduk di teras depan rumah.

Satu lagi hari yang melelahkan, pikir ku sembari menghela nafas panjang.

Kata-kata mereka kembali terngiang membuatku berpikir, apakah keluargaku merasa malu dan jijik kepadaku?

"Apa yang sedang kau pikiran? Wajahmu terlihat sangat bodoh..." ujar Mircea adikku yang baru pulang entah darimana.

Mircea adik laki-lakiku umurnya 16 tahun, kelas 1 SMA. sangat bertolak belakang denganku dia anak yang supel, wajahnya juga sangat tampan. Tidak hanya hebat dalam hal pelajaran, dia juga hebat dibidang olahraga dan musik.

Aku dan Mircea memilih sekolah yang berbeda. Mircea memilih masuk ke SMA Victoire, sekolah elit yang hanya bisa dimasuki oleh siswa-siswi genius.

"...Kamu darimana?" tanyaku menyelidik karena tidak biasanya dia pulang selarut ini.

"Hari ini jadwal latihan klub basket." jawab Mircea, wajahnya tampak lelah.

"Kamu ikut basket? Sejak kapan?" aku heran, sebelumnya dia tidak ikut kegiatan klub apapun karena jadwal les private kami sudah cukup padat.

"Begitulah... Aku berhenti les musik." ujar Mircea sambil membuka sepatunya.

"Ibu mengizinkannya?" tanyaku lagi.

"Yah dengan syarat aku bisa mempertahankan peringkatku di sekolah." ujar Mircea dengan nada santai seolah-olah mempertahankan peringkat seperti menghabiskan sepotong kue di piring.

Lihat selengkapnya