From Nerd To An Idol

Momento Mori
Chapter #2

Selamat Tinggal Pecundang

Sudah hampir seminggu aku dan Mircea hanya makan berdua. Ayah membawa ibu ke luar negeri untuk menemani perjalanan bisnisnya. Kali ini sepertinya mereka akan pergi cukup lama.

"Dua orang itu sepertinya dulu belum puas pacaran." kata Mircea sambil menyuap makanan ke mulutnya.

"Bukankah itu bagus? Mereka selalu saling mencintai."

"Yah... Yang penting mereka bahagia." ucap Mircea berlagak acuh.

Memang benar aku merasa kesepian setiap kali ayah dan ibu pergi ke luar negeri untuk waktu yang lama. Tapi, aku bahagia melihat hubungan mereka begitu mesra.

Sewaktu aku masih kecil dan Mircea masih bayi, ibu tidak bisa menemani perjalanan bisnis ayah ke luar negeri. Ayah yang tidak suka jauh dari ibuku sebisa mungkin menghindari perjalanan bisnis ke luar negeri, dia biasa menyuruh orang kepercayaannya atau jika harus pergi dia akan menyelesaikan urusannya secepat mungkin agar bisa segera pulang kerumah.

"Eir tadi malam aku lupa menanyakan ini, apa di sekolah ada yang membully mu? Misalnya orang yang diam-diam mendaftarkan mu audisi itu?" tanya Mircea melirikku di sela-sela kegiatan mengunyahnya.

Aku terdiam sesaat sebelum menjawab pertanyaan Mircea. Sepertinya aku tidak punya pilihan selain menjawab pertanyaannya, karena jika tidak dia akan terus mencecarku dengan pertanyaan yang sama sampai dia mendapat jawaban.

"...Em, ya. Tapi tidak seperti yang kau bayangkan. Dia memang bossy, tapi selain dari mengejek tampang dan penampilanku tidak pernah melakukan hal lain yang keterlaluan." kataku berusaha bersikap acuh.

"...Sejak kapan kau di bully?" tanya Mircea padaku sambil tetap fokus pada kegiatan makannya.

"..." Aku terdiam tidak bisa menjawabnya pertanyaan Mircea. Ingatan masa-masa aku SMP terlintas. Sewaktu SMP memang tidak ada yang menjadikanku pesuruh, tapi hampir setiap hari aku diejek teman-teman sekelas karena wajahku.

"Eir kau tidak menjawab pertanyaan ku." kata Mircea menatapku tajam.

"...Itu bukan masalah besar Cea. Aku baik-baik saja." kataku tersenyum.

"...Apa saja yang dia lakukan padamu?" tanya Mircea lagi.

"Emm... Mengantri di kantin untuk membelikan dia makanan dan minuman, menyalinkan pelajaran kalau dia sedang malas, menggantikan dia tugas piket. Aku rasa hanya itu saja." jawabku sambil berusaha mengingat.

"...Menurutmu itu tidak keterlaluan?" tanya Mircea yang sekarang sedang sibuk mengupas apel.

"...Yah jika di banding dengan pembullyan yang ku dengar di TV sih." kataku sekenanya, fokusku malah pada apel yang sedang Mircea kupas.

Mircea punya kebiasaan yang unik, jika makan apel dia harus mengupas apelnya sendiri dan harus memotongnya dengan bentuk yang lucu-lucu, kadang dia memotong apel menjadi bentuk kelinci, bunga atau bintang. Pagi ini dia memotongnya dengan bentuk kelinci. Saat masuk ke mulut bentuk yang lucu itu toh akan hancur juga, kenapa dia harus repot memotong dengan bentuk demikian? Aku tidak habis pikir.

"Eir, aku tau kau orang yang sabar dan baik hati. Tapi dengan membiarkan orang lain merendahkanmu dan bebas menyuruh mu sesuka mereka kau sedang berbuat jahat pada dirimu sendiri. Juga jika ibu tau, dia akan sangat sedih" kata Mircea tenang dan tegas.

"..."

Orang yang baik hati, huh? Sayang sekali aku bukan orang seperti itu adik. Kakakmu ini hanya seorang pecundang.

"...Eir kau tau kan manusia itu tidak pernah puas. Kau membiarkan dia duduk di pundakmu, besok atau lusa dia akan menginjak kepalamu. Kau mengerti maksudku kan?" ujar Mircea lagi kali ini dengan nada membujuk.

"...Maaf." kataku lirih

Maaf sudah menjadi kakak yang tidak berguna, maaf sudah membuatmu malu.

"Dari sekarang jangan biarkan dia mengejekmu atau menyuruhmu!" kata Mircea, wajahnya terlihat kesal.

"Aku...Akan berusaha."

"Baiklah kita bahas sepulang sekolah saja. Sudah waktunya berangkat. Ingat, hari ini jangan biarkan dia bersikap seenaknya padamu! Aku tidak akan memaafkanmu dan aku akan bilang pada ibu." Mircea memberiku ultimatum.

Lihat selengkapnya