From Nerd To An Idol

Momento Mori
Chapter #4

Seorang Teman Baru

"Cea, besok sepulang sekolah, bisakah kau menemaniku memilih baju untuk audisi? Kau tahu sendiri kan aku buta fashion." Pintaku pada Mircea, adikku, yang sedang asyik menonton anime kesukaannya.

"Bisa. Tapi besok aku ada latihan basket, jadi pulangnya bakal lebih sore dari biasanya," Kata Mircea, menyetujui permintaanku.

"Tidak masalah,"

"Kau sudah punya toko yang ingin kau tuju?" Tanya Mircea, matanya tak lepas dari layar TV.

"Belum. Aku nggak begitu paham soal fashion, jadi aku berencana ke mall saja—kan di sana banyak pilihan," Jelasku.

"Hm... bagaimana kalau kita ke Boutique Finnick? Aku biasa ke sana. Mereka jual banyak pilihan, tempatnya juga nyaman, dan pelayanannya bagus," Usul Mircea.

"Good idea." Aku langsung setuju.

"Sekarang masih jam tujuh. Tokonya buka sampai jam sebelas malam. Bagaimana kalau kita pergi malam ini saja?"

"Em, oke. Lebih cepat lebih baik."

"Kita pergi jam delapan, ya," kata Mircea sambil menunjuk ke arah TV. Aku mengerti—dia ingin menonton dulu.

"Ya. Panggil aku kalau kau sudah selesai," kataku lalu pergi ke kamar.

Aku memang tidak pernah mementingkan model pakaian. Lagipula, dulu aku sangat tidak percaya diri memakai pakaian yang keren.

Aku merasa pakaian keren hanya cocok untuk orang-orang berwajah tampan. Kalau aku—dulu—dengan wajah seperti monster jerawat mencoba memakainya, pasti orang-orang akan menertawakanku. Karena itu, aku bahkan tidak berani mencobanya.

Lemari pakaianku? Hanya berisi kaus polo dan seragam sekolah.

Tapi sekarang semuanya berbeda. Aku tak tahu kapan tepatnya perasaan itu berubah. Tapi sekarang, saat aku berdiri di depan lemari, rasanya... Aku mulai melihat diriku yang baru.

Aku bukan monster jerawat lagi.

Aku tak lagi membenci pantulan wajahku di cermin. Dulu, bayangan itu membuatku terpuruk. Tapi sekarang... Semua itu sudah berakhir.

"Eir, ayo kita pergi!" Seru Mircea dari depan kamar.

"Oke! Aku datang!" Sahutku sambil segera beranjak dari kasur.

Setelah menyetir kurang lebih tiga puluh menit, kami tiba di Boutique Finnick—cukup jauh dari rumah. Meski letaknya agak terpencil dan di luar pusat kota, butik ini justru cukup ramai.

Dari luar, bangunannya terlihat sederhana. Tapi begitu masuk, atmosfernya berubah total: interior mewah, pencahayaan hangat, desain unik. Mereka bahkan menyediakan sofa dari merek ternama untuk para pelanggan menunggu, lengkap dengan welcome drink dan snack. Sungguh tidak biasa untuk sebuah butik.

"Tunggu sebentar di sini," Kata Mircea sambil berjalan menuju meja customer service. Dia memperlihatkan sebuah kartu—sepertinya kartu member butik ini.

Aku duduk di sofa, menyesap welcome drink sambil memperhatikannya dari kejauhan.

"Baiklah, Tuan. Akan segera kami aturkan. Mohon ditunggu," Ucap staf wanita di meja depan sambil membungkuk sopan.

Tak lama, Mircea kembali dan duduk di sebelahku.

"Ada apa, Cea?" Tanyaku pelan.

"Aku ingin memakai layanan khusus yang mereka sediakan," Jawab Mircea tenang.

"Layanan khusus?" Tanyaku, sambil berpikir—kapan Mircea akan mulai membantuku memilih baju? Aku tidak mengerti fashion, dan boutique ini dipenuhi orang-orang keren dan stylish. Itu membuatku gugup... Aku bahkan tak berani bergerak.

"Di sini, kita bisa meminta desainer mereka membuatkan baju yang cocok dengan karakter kita. Tapi, harus bikin janji seminggu sebelumnya," Jelas Mircea.

"Juga, sebenarnya... Aku sudah membuat appointment untukmu sembilan hari yang lalu. Tapi aku lihat kau sangat sibuk," Tambahnya, agak canggung. Dia menggaruk kepala, lalu memalingkan wajah ke arah lain.

Tapi aku tahu, Mircea tidak memberitahuku bukan karena aku sibuk. Dia hanya malu mengatakannya. Jadi aku pura-pura tidak tahu.

"Bodoh..." Bisikku pelan sambil tersenyum.

"Tuan Mircea, silakan."

Seorang wanita cantik menghampiri kami, lalu memandu kami ke sebuah ruangan lain. Di sana, kami bertemu dengan seorang desainer pakaian bernama Olander—pria muda berambut kemerahan sebahu. Wajahnya tampak menyenangkan, mungkin karena ia hampir selalu tersenyum.

"Baiklah, aku sudah menemukan style pakaian dan aksesori yang cocok untuk karaktermu. Kau ingin berapa pasang baju?" Tanyanya padaku.

"A-aku rasa tiga pasang sudah cukup," Jawabku pelan, sambil mengira-ngira total harga baju itu dalam kepalaku.

"Berikan dia tujuh pasang pakaian," Sela Mircea tiba-tiba.

Aku terbelalak mendengar ucapannya.

"Pilihan yang bijak. Tujuh itu angka keberuntungan," Kata Olander sambil tersenyum.

"Tolong kirimkan ke alamat biasanya," Tambah Mircea.

"Baiklah, kalian akan menerimanya lusa sore. Jika ada yang kurang, jangan ragu untuk menghubungiku," Ujar Olander ramah sambil mengantar kami hingga ke pintu ruangannya.

"Terima kasih banyak atas bantuannya," Kataku.

"Tidak perlu sungkan. Sudah menjadi kewajibanku," Balas Olander hangat.

"Kalau begitu, kami permisi dulu," Ujar Mircea berpamitan.

Olander tersenyum, lalu kembali masuk ke ruangannya.

"Cea, tujuh pasang baju itu tidak terlalu banyak?" Tanyaku pelan, mengingat jumlah pakaian yang baru saja kupesan.

"Itu bahkan jauh dari cukup," Sahut Mircea tanpa ragu.

"Aku belum tentu lulus audisi... Tapi kita sudah menghabiskan banyak uang," gumamku.

Mendengar itu, Mircea berhenti melangkah dan menatapku lekat-lekat. "Kau pikir semua perubahan ini hanya untuk lulus audisi?"

"Kalau itu alasannya, aku tidak peduli. Kau ikut audisi atau tidak—aku tetap akan memaksamu berubah." Ucapnya dengan tegas.

Ia menarik napas, lalu melanjutkan dengan suara yang sengaja dibesarkan, seperti sedang marah. "Sudahlah! Berhenti membicarakan hal ini! Pokoknya—lulus atau tidak—kau tidak boleh memakai semua baju lamamu lagi!"

Tapi aku bisa melihat wajahnya yang memerah karena malu.

Benar-benar adikku yang bodoh.

Selama ini, aku pikir Mircea tidak peduli padaku... ternyata, dia hanya tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya.

Dan sekarang aku bahagia. Bahagia sampai rasanya ingin menangis.

"Baiklah... aku ikut apa katamu," Ucapku, lalu berjalan mendahuluinya.

"Memang sudah seharusnya begitu," Balas Mircea cepat, berusaha terdengar menang.

"Cea, aku ke toilet sebentar," Kataku sambil menunjuk papan petunjuk di seberang.

"Oh, oke. Aku tunggu di depan," Jawabnya singkat.

Sekembalinya dari toilet, aku melihat Mircea duduk di ruang tunggu tempat kami sebelumnya menanti customer service mengaturkan pertemuan. Tapi dia tidak sendirian.

Di sebelahnya duduk seorang gadis.

Mereka terlihat cukup akrab. Mungkin teman satu sekolah Mircea.

"Cea..." Sapaku ragu-ragu. Aku takut mengganggu percakapan mereka, yang tampaknya sedang seru.

"Eir! Kenalkan, ini Linnea, teman sekelasku. Linnea, ini kakakku yang tadi kuceritakan," Ujar Mircea cepat, memperkenalkan kami berdua.

"Eires Dwell," Ucapku sambil tersenyum, mengulurkan tangan pada gadis berambut cokelat yang duduk di samping adikku.

"Linnea Eyvind. Senang berkenalan denganmu, Kak Eires," Jawabnya ramah, senyumnya manis dan hangat.

"Aku dengar dari Mircea, Kak Eires ikut audisi Svea Entertainment. Aku juga. Jadwal audisi kita ternyata jatuh di hari yang sama," Tambah Linnea tanpa melepaskan jabat tangan kami.

Aku tidak menganggap itu hal besar. Aku malah lebih bingung bagaimana harus menanggapi ucapannya barusan.

Aku tidak pernah ngobrol dengan perempuan... jadi aku tidak mengerti.

"Begitu, ya..." jawabku singkat pada gadis itu.

Detik berikutnya, aku mengutuki diriku sendiri. Kenapa aku harus menjawab seperti orang angkuh? Kesan pertamaku pasti sungguh buruk di matanya.

Tapi Linnea hanya tersenyum. Wajahnya tetap ramah. Ia akhirnya melepaskan jabat tangan kami, dan aku merasa sedikit lebih rileks.

"Bagaimana dengan persiapanmu untuk audisi?" Tanya Mircea padanya.

"Tidak ada latihan khusus. Aku hanya menyanyi lagu-lagu yang kusukai setiap hari, dan menghindari makanan yang tidak baik untuk tenggorokanku," Ucap Linnea ringan.

"Kau tidak ikut kursus vokal? Kenapa?" Tanyaku spontan.

Aku tahu, audisi menyanyi bukan hal sepele. Juri bisa saja menyuruh peserta membawakan lagu dari genre yang tidak biasa. Dan teknik bernyanyi... itu bukan hal yang bisa dikuasai hanya dengan menyanyi random.

Bagaimana bisa dia berlatih hanya dengan lagu-lagu favoritnya?

"Kursus vokal terlalu mewah bagiku," Jawab Linnea, tenang. Tidak ada nada marah, tidak juga raut tersinggung di wajahnya.

Aku bodoh.

Dalam lima belas menit bercakap-cakap, aku sudah dua kali memberi kesan buruk.

Aku ingin minta maaf... tapi kurasa akan membuat suasana menjadi canggung.

"Bagaimana kalau kalian latihan bersama?" Usul Mircea sambil melirikku.

Lihat selengkapnya