From Nerd To An Idol

Momento Mori
Chapter #5

Saturday Night

Selama hampir dua minggu terakhir, aku rutin berlatih bersama Linnea. Setiap Kamis, Jumat, dan Sabtu sepulang sekolah, dia akan datang ke rumahku untuk latihan.

Aku membagikan padanya apa yang kupelajari dari guru vokalku, dan sebagai gantinya, dia mengajariku tentang aransemen lagu. Harus kuakui, Linnea benar-benar kreatif dalam menyusun aransemen.

Linnea sosok yang menyenangkan untuk ditemani. Dia pintar, cepat menangkap hal baru, dan mudah bergaul. Di luar sesi latihan, kami hampir setiap sore bertemu—entah untuk jogging di taman kota, atau berolahraga di salah satu pusat kebugaran. Kadang-kadang, kami juga ikut bermain basket bersama Mircea dan teman-temannya.

“Kak Eir, Sabtu besok aku nggak bisa latihan,” ucap Linnea sambil memetik gitarnya pelan.

“Hm, nggak masalah,” jawabku, melirik sekilas ke arahnya sebelum kembali menatap lembaran musik di depanku.

“Kak Eir?” panggil Linnea pelan.

“Hm?” sahutku tanpa menoleh.

"..."

Tapi Linnea tidak melanjutkan ucapannya. Sikapnya hari ini terasa berbeda dari biasanya.

“Ada yang bisa kubantu?” tanyaku, menoleh sambil menghentikan kegiatanku. Karena sejak tadi, aku merasa dia menatapku diam-diam.

“Itu... Kak Eir sibuk nggak besok malam?” tanyanya akhirnya, tapi dia tanpa menatapku langsung.

“Aku main musik di gereja besok malam,” jawabku.

Wajahnya tampak sedikit murung mendengar jawabanku, membuatku bertanya-tanya—kenapa reaksinya begitu?

“Dia di gereja cuma sampai jam tujuh malam,” celetuk Mircea dari belakangku, entah sejak kapan berdiri di sana.

“Sejak kapan kamu di situ?” tanyaku, sedikit terkejut.

“Sejak Linnea mulai nanya,” jawabnya ringan.

“Hm...”

“Gitarnya masih dipakai nggak?” tanya Mircea lagi.

“Udah nggak. Sebenarnya kami udah selesai latihan dari tadi. Maaf aku belum sempat balikin gitarmu,” jelas Linnea, lalu menyerahkan gitar akustiknya pada Mircea.

“Nggak masalah,” balas Mircea, menerima gitarnya dan langsung berbalik pergi. Tapi setelah beberapa langkah, dia tiba-tiba berhenti dan menoleh lagi.

“Linnea… semangat ya!” katanya sambil mengedipkan mata.

Linnea terlihat kaget, lalu wajahnya memerah.

“Thanks, Cea,” balasnya sambil tertawa kecil, pipinya bersemu.

Hm? Mircea nyemangatin Linnea? Tapi audisinya kan masih minggu depan?

“Kak Eir?” panggil Linnea lagi.

“Ya?” jawabku.

“Setelah dari gereja… Kakak ada acara?” tanyanya dengan nada serius.

“Tidak ada,” jawabku singkat.

“Ka-kalau begitu, sepulang dari gereja… bolehkah kita bertemu?” tanyanya lagi. Kali ini pun dia tak menatapku.

“Tentu boleh,” jawabku sambil mengamati raut wajahnya.

“Sungguh?!” ujarnya spontan mendongak menatapku dengan wajah yang tampak riang.

“Iya. Apa ini yang sejak tadi ingin kau sampaikan padaku?” Tanyaku memastikan.

Kalau hanya ini yang ingin dia tanyakan, kenapa seolah begitu sulit mengatakannya? Sepertinya... ada hal lain yang ingin dia tanyakan. Tentang Mircea, mungkin?

“Ah! Uh… be-begitulah… hehehe…” jawabnya sambil tertawa canggung dan memalingkan wajahnya ke arah lain.

Hmm? Apa aku salah bicara? Kenapa dia terlihat… tidak nyaman?

Aku memilih mengabaikan hal itu karena, tampaknya Linnea tidak ingin mengatakan lebih banyak.

“Biasanya sekitar jam tujuh tiga puluh aku sudah tiba di rumah.”

“Emm, itu… begini… aku ingin kita bertemu di luar. Ada satu kafe yang ingin kukunjungi. Boleh, ya?” ucap Linnea, matanya menatapku penuh harap.

“Tentu. Boleh saja,” jawabku mengiyakan permintaannya.

Mungkin dia memang canggung kalau harus membicarakan soal Mircea di sini. Apalagi, bocah itu bisa saja muncul lagi tiba-tiba… seperti barusan.

“Kak Eir!” panggil Linnea agak keras, tepat saat aku hendak keluar ruangan. Latihan kami sebenarnya sudah selesai sejak tadi.

“Ya?” sahutku tenang seperti biasa, meskipun aku sedikit terkejut karena dia memanggilku lebih nyaring dari biasanya.

“I-itu… apa aku boleh ikut kakak ke gereja?”

“Huh?”

Aku mencoba mencerna ulang kalimat Linnea. Tapi wajahku yang dingin mungkin membuat dia berpikir aku sedang marah—dia langsung tampak gugup.

“Ma-maksudku... em, begini... daripada kakak harus menungguku, bu-bukankah lebih baik kalau kita berangkat bersama?” katanya menjelaskan, dengan senyum yang tampak dipaksakan.

Aku tidak langsung menjawab. Masih mencoba memahami motif sebenarnya di balik permintaannya.

“I-itu juga kalau kakak tidak keberatan…” ucapnya lagi dengan suara pelan sambil menunduk. Bisa kulihat wajahnya terlihat sedih.

“Aku tidak keberatan,” sahutku datar.

Aku memilih setuju. Meski sebenarnya aku masih bingung—kenapa dia ingin ikut ke gereja? Dan kenapa… aku membiarkannya ikut?

“Terima kasih, Kak Eir! Kalau begitu, aku pulang dulu. Sampai jumpa besok sore, ya!” katanya dengan senyum lebar.

Wajahnya tampak sangat bahagia. Padahal beberapa detik lalu dia terlihat seperti hendak menangis, saat mengira aku akan menolak permintaannya.

Aku benar-benar tidak mengerti perempuan.


_______

Setelah mengantar Linnea hingga ke depan rumah, aku menuju dapur dan meminta Paman Bump untuk membuatkan teh lemon madu.

“Linnea sudah pulang?” tanya Mircea, yang duduk santai di meja makan.

Aku mengangguk sebagai jawaban, tanpa berkata apa-apa.

“Paman Bump, tolong buatkan aku teh lemon madu hangat,” pintaku saat beliau datang mengantarkan minuman untuk Mircea.

“Baik, Tuan Muda Eir,” jawab Paman Bump sambil sedikit menunduk.

Bump adalah seorang butler berusia sekitar empat puluhan. Dia telah bekerja untuk keluargaku bahkan sejak sebelum aku lahir.

“Besok sore, kau ke gereja tidak?” tanyaku pada Mircea yang masih sibuk dengan ponselnya.

“Aku absen. Temanku minta tolong bantuin tampil di acara live music. Gitarisnya tiba-tiba nggak bisa datang,” jelasnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

“Hmm, begitu. Live music di mana?”

“Di Arion Café.”

“Hoo... Café itu cukup terkenal,” gumamku, teringat obrolan teman-teman sekelas yang sering membahas tempat itu—tempat yang katanya cocok untuk ngajak gebetan.

“Suasananya juga romantis. Kenapa nggak sekalian ajak Linnea ke sana? Kalian kan udah janjian besok malam,” goda Mircea sambil tersenyum jahil dan akhirnya meletakkan ponselnya.

Aku tahu ke mana arah percakapan ini akan berujung, jadi aku memilih mengabaikan komentar isengnya.

“... Linnea bersikap agak aneh hari ini,” ucapku, akhirnya, setelah beberapa detik diam.

“Silakan, Tuan,” ucap Paman Bump sambil meletakkan sepiring spaghetti untuk Mircea dan secangkir teh lemon madu hangat lengkap dengan sepotong cake untukku.

“Terima kasih, Paman Bump,” ucap kami bersamaan.

Dia tersenyum dan mengangguk sopan, lalu meninggalkan kami berdua.

“Aneh bagaimana?” tanya Mircea, melanjutkan pembicaraan kami sebelumnya.

“Dia bersikap agak aneh hari ini. Butuh waktu lama baginya untuk bertanya apakah aku bisa menemaninya besok malam. Padahal ini bukan pertama kalinya dia yang lebih dulu mengajakku keluar berdua. Kenapa... harus sesulit itu untuk mengatakannya?”

“Hm, mungkin dia gugup. Karena kali ini dia mengajakmu keluar bukan untuk alasan latihan,” kata Mircea, lalu mulai menikmati spaghettinya.

Aku merenungkan ucapannya sejenak.

Memang benar. Selama ini setiap kali kami pergi—entah jogging di taman atau latihan di pusat kebugaran—Linnea yang selalu lebih dulu mengajak. Alasannya pun selalu sama: menjaga stamina menjelang audisi.

“Begitu, ya... Baiklah. Aku mengerti,” gumamku, lalu mulai menyendok camilanku.

“Aku nggak yakin kau benar-benar mengerti,” sahut Mircea datar, tapi lirih.

Dia menatapku dengan ekspresi pasrah, lalu menggeleng pelan.

Aku hanya diam. Karena aku tak mungkin berkata bahwa Linnea menyukainya.

Gadis itu ingin mengajakku keluar hanya untuk mencari tahu segalanya tentangmu, wahai adikku yang bodoh.


_______

Sabtu sore, sebelum berangkat ke gereja, Mircea memaksaku untuk menjemput Linnea di rumahnya. Katanya, itu hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang gentleman.

“Kak Eir... aku benar-benar terkejut waktu baca pesanmu. Aku nggak nyangka kakak sudah di depan rumah,” ucap Linnea sambil berlari kecil menemuiku di depan pagar. Wajahnya memang tampak terkejut—sesuai dengan yang dia katakan.

“Mircea memintaku menjemputmu,” kataku singkat.

Aku mengatakannya agar dia tahu bahwa orang yang ia sukai memperhatikannya.

“Oh... ternyata begitu.”

Ucapnya lirih. Entah kenapa, dia terlihat kecewa. Atau mungkin... aku salah lihat.

“Kau masih perlu waktu untuk bersiap?” tanyaku. “Silakan. Aku akan menunggu di mobil.”

“Aku tinggal ambil tasku. Tolong tunggu sebentar,” jawabnya cepat.

“Em,” sahutku singkat sambil mengangguk.

Dengan langkah cepat Linnea masuk ke rumah. Tak lama kemudian, dia keluar dengan tas selempang kecil berwarna cokelat tua, serasi dengan midi dress yang dia kenakan.

“Ayo,” ajaknya ketika sampai di sampingku.

Aku mengangguk, lalu membukakan pintu mobil untuknya.

Sejak mobil mulai melaju, kami hanya diam.

Biasanya, saat hanya berdua, Linnea akan mencari topik pembicaraan. Tapi, kali ini dia sangat pendiam dan tampak agak murung.

“... Memang benar, Mircea yang menyuruhku menjemputmu. Tapi aku nggak merasa terpaksa, kok,” jelasku, mencoba meluruskan.

Setelah kupikir ulang, sejak Linnea mendengar kalimat itu, ekspresinya jadi murung. Aku tidak mau dia salah paham dan mengira aku merasa terpaksa menjemputnya.

Lihat selengkapnya