From Nerd To An Idol

Momento Mori
Chapter #6

Menuju Tempat Pertempuran

Akhirnya, hari paling mendebarkan itu tiba—hari audisi.

Aku sengaja tidak masuk sekolah hari ini agar bisa lebih fokus mempersiapkan diri untuk sore nanti. Memikirkannya saja sudah cukup membuat perutku terasa dikocok.

Tok! Tok! Tok!

“Kamu sudah bangun?” suara Mircea terdengar dari balik pintu.

“Sudah, masuk aja!” seruku dari balik selimut.

Mircea membuka pintu kamar hanya sedikit, cukup untuk badannya melintas. Dia tidak masuk, hanya berdiri di ambang pintu sambil memegang gagangnya.

“Kamu izin sekolah hari ini?” tanyanya.

Mircea sudah berpakaian rapi, dia terlihat semakin tampan dengan seragam sekolahnya.

“Em, iya, aku izin,” jawabku sambil bangkit dan duduk bersandar pada headboard tempat tidur.

Pandangan mataku tertuju pada seragam Mircea. Seragam SMA Victoire memang terlihat keren. Aku jadi penasaran seperti apa model seragam untuk siswi perempuannya.

Tanpa sengaja, wajah Linnea melintas di pikiranku. Aku spontan menggelengkan kepala.

Apa sih yang kupikirkan?! Masa iya aku sampai membayangkan dia pakai seragam?

“...Kau kenapa?” tanya Mircea, masih berdiri di tempat yang sama.

“Ha? Tidak. Tidak apa-apa,” jawabku cepat-cepat.

“Kau mendengarkan aku tidak?” tanyanya sambil memicingkan mata curiga.

“Emm... ya, tentu saja.”

Apa tadi Mircea mengatakan sesuatu selain soal aku izin sekolah? Sepertinya cuma itu deh. Mungkin. Maaf ya, Cea... barusan aku nggak benar-benar fokus.

“Intinya jangan ngapa-ngapain dulu. Istirahat aja, rileks. Nggak usah latihan vokal atau piano. Kasih jeda buat tubuh dan tenggorokanmu sebelum audisi sore nanti,” katanya panjang lebar, nadanya seperti ibu-ibu lagi ngomel.

“Iya, iya. Aku ngerti kok,” jawabku sambil tertawa kecil.

“Kenapa kamu ketawa? Kalau aku nggak mengingatkanmu panjang lebar, kamu pasti tetap maksa latihan,” gerutu Mircea. Wajahnya kesal karena aku menertawakannya.

“Maaf,” ucapku sambil menahan tawa yang masih tersisa.

Satu-satunya sisi Mircea yang sangat bertolak belakang dengan citra cool-nya… ya ini—cerewet kayak ibu-ibu. Kadang juga suka ngambek.

“Aku yang nganter kamu ke audisi nanti,” ujarnya, kembali dengan nada tenangnya yang khas.

“Bukannya sore ini kamu ada jadwal kursus matematika?”

“Kursus bisa minggu depan. Nggak masalah.”

“Karena kamu udah bilang gitu… ya udah, aku terima.”

“Lagian, ayah dan ibu juga minta aku videoin kamu waktu audisi. Mereka mau lihat hasilnya.”

“Oh? Serius mereka bilang begitu?” tanyaku agak kaget.

“Iya. Mereka nelpon aku jam lima pagi—pas aku lagi enak-enaknya tidur—cuma buat bilang itu,” keluh Mircea dengan wajah pasrah.

“Tidurlah lebih awal malam ini,” saranku pada Mircea.

“Emm,” dia mengangguk pelan.

“Kalau begitu, aku berangkat sekolah dulu,” lanjutnya.

“Naik mobil atau motor?” tanyaku tepat saat dia hendak menutup pintu kamar.

“Enggak dua-duanya. Hari ini aku naik bus aja, masih agak ngantuk,” jawabnya sambil melirik jam tangan.

“Hm, baiklah.”

“Aku pergi dulu,” ucapnya berpamitan, lalu menutup pintu.

“Hati-hati, Cea!” seruku dari dalam kamar.

“Ya!” sahutnya dari kejauhan, samar-samar terdengar.

Lihat selengkapnya