From Nerd To An Idol

Momento Mori
Chapter #7

Audisi Yang Unik

Pukul 14.10, aku dan Mircea tiba di gedung Svea Entertainment. Di email tertulis bahwa audisi akan dimulai pukul 15.00, tapi kami sengaja datang lebih awal. Di hadapan kami berdiri sebuah gedung besar dengan dinding kaca yang menjulang.

“Kita sampai. Kau masuk duluan saja, aku akan cari tempat parkir,” kata Mircea sambil menghentikan mobil di depan pintu masuk.

“Emm…” jawabku pendek.

“Rileks,” ujarnya sambil menepuk pundakku dan tersenyum menenangkan.

Aku hanya mengangguk. Saat ini aku terlalu gugup bahkan untuk berpikir jernih.

Petugas keamanan di pintu masuk bertanya keperluanku. Aku menunjukkan email undangan audisi dari Svea Entertainment. Setelah memeriksanya sebentar, mereka mengizinkanku masuk.

Aku langsung menuju lift terdekat untuk naik ke lantai 15, tempat audisi berlangsung. Tapi tepat saat lift terbuka dan aku hendak melangkah masuk, seseorang menabrak bahuku dari belakang.

“Lamban seperti keledai!” seru seorang laki-laki dengan suara yang sangat kukenal.

“Meski penampilanmu berubah, kau tetap saja pecundang!” ejeknya sambil terkekeh.

Bayner Frej.

Aku lupa… dia juga ikut audisi ini.

"Minggir." Ujarku sambil mendekati Bayner Frej yang berdiri tepat di depan pintu lift.

"Bagaimana kalau kau memohon padaku sambil berlutut? Mungkin saja aku akan mempertimbangkan membiarkanmu ikut audisi," katanya dengan tangan menyilang di dada dan senyum menyebalkan.

Aku mendekat, lalu membisikkan sesuatu sambil menekan bahu kirinya, cukup kuat untuk membuatnya meringis.

"Dengar, aku masih bisa meladeni kekonyolanmu, tapi kalau kau ingin tetap ikut audisi hari ini... sebaiknya kau bersikap baik."

"Ugh! Kau... sialan!"

Dia mencoba memukulku, tapi aku sudah menjauh duluan. Karena aku mengetahui apa yang ingin dia lakukan—Dengan tempramen yang seperti itu siapapun tahu kau akan segera melayangkan tinju saat kau marah.

Bodoh sekali meributkan hal tidak penting. Ada beberapa lift lain yang bisa kugunakan kenapa harus meladeni orang seperti Bayner Frej.

"Lift itu untukmu. Mau kau bawa pulang atau kau makan, terserah." Ujarku sambil berbalik dan meninggalkannya.

Toh, masih ada banyak lift lain. Aku tak mau membuang waktu meladeni orang seperti Bayner Frej.

"Huh?!" Aku terkejut saat Bayner Frej tiba-tiba menarik bahuku dan merampas kacamataku.

Prakk!

Meskipun penglihatanku agak kabur tanpa kacamata, aku masih bisa melihat apa yang Bayner Frej lakukan. Dia menginjak kacamataku tanpa ampun—gagangnya patah dan lensanya pecah.

"Jangan terlalu sombong, Dwell! Di mataku, kau tetap hanya pesuruhku! Pecundang seumur hidup!" Bentaknya dengan penuh emosi, lalu meludah ke lantai di dekat kakiku.

"Kak Eires!" Seru suara seorang gadis yang akhir-akhir ini begitu familiar di telingaku.

Aku menoleh. Linnea datang ke arah kami, dengan langkah cepat dan wajah marah.

"Kau! Apa yang kau lakukan?!" Teriak Linnea pada Bayner Frej sambil seolah hendak menyerangnya.

"Biarkan dia." kataku sambil menarik tangan Linnea, menahan langkahnya dia yang hendak memarahi Bayner Frej. Aku tidak ingin masalah ini melebar.

Bayner tertawa pendek penuh ejekan. "Hmph! Dasar tak berguna. Bahkan harus dilindungi perempuan." ucapnya sambil menatapku dengan pandangan merendahkan.

"Aku sudah bilang, aku akan meladenimu setelah audisi. Apa menurutmu aku bercanda, Frej?" kataku menatapnya lurus, tanpa berkedip, dengan nada penuh tekanan.

Bayner Frej terdiam. Dia tidak membalas, tapi aku bisa melihat jelas keterkejutan di wajahnya.

"Huh! Sebelum membual, mari kita lihat seberapa hebat kau tanpa kacamata!" ucapnya sinis sebelum masuk ke dalam lift.

"...Maaf, aku telah membuatmu ikut terlibat." ucapku kepada Linnea dengan suara pelan, aku merasa bersalah padanya.

"Tidak apa-apa..." jawab gadis itu sambil menggeleng pelan.

Kemudian dia mengulurkan sesuatu di tangannya padaku—kacamataku yang sudah rusak.

"Gagangnya patah... lensanya juga pecah. Sepertinya sudah tidak bisa dipakai lagi," katanya lirih, ekspresinya tampak benar-benar khawatir, seolah itu adalah masalahnya.

"Sudah tidak sempat pulang untuk mengambil kacamata cadangan," ucapku sambil melirik jam tangan.

"Kalau begitu... bagaimana ini?" tanya Linnea, wajahnya tampak sangat khawatir, seolah itu adalah masalahnya sendiri.

Dasar aneh, pikirku.

Itu bukan urusannya, tapi dia malah terlihat lebih khawatir dariku.

Melihat wajah Linnea yang seperti itu, tanpa sadar aku tersenyum.

“Tidak apa-apa, tenang saja,” ucapku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan lembut.

“Ah!” Linnea tampak terkejut dengan sikapku.

“Ma-maaf, aku tidak bermaksud lancang. Tadi itu... spontan,” jelasku gugup.

Spontan? Kenapa aku harus mengatakan begitu? Sekarang dia mungkin mengira aku sering bertindak seenaknya pada perempuan lain.

“Tidak apa-apa, Kak, sungguh.”

Dia tersenyum. Pipi mungilnya tampak agak memerah.

Lihat selengkapnya