From script to screen

Aish
Chapter #2

Barcelona, Here I Come!

Udara segar musim gugur menyapa Lava begitu ia melangkah keluar dari bandara El Prat, Barcelona. Matanya berbinar menatap gedung-gedung yang menjulang di kejauhan, memancarkan pesona klasik bercampur modern. Ini bukan lagi mimpi. Ia benar-benar berada di Barcelona, kota yang selama ini hanya bisa ia lihat dari layar komputer atau layar lebar bioskop.

Dengan koper di tangan, Lava berjalan menuju antrean taksi. Hatinya dipenuhi kegembiraan, namun juga dihantui sedikit ketidakpastian. “Apa aku benar-benar bisa bertahan di sini? Apa aku cukup pintar untuk sukses di universitas ini? Apa mimpi ini tidak terlalu tinggi?” Pikiran-pikiran itu berputar di kepalanya, tapi Lava menepisnya.

“Holaa, señorita!” sapa sopir taksi dengan senyum ramah.

“Hola,” jawab Lava sambil tersenyum canggung. Ia memaksakan percaya diri meskipun lidahnya masih kaku dengan bahasa Spanyol.

Perjalanan ke asrama menjadi momen penuh kekaguman. Lava menatap keluar jendela, menyaksikan gedung-gedung bersejarah, jalanan berbatu, dan orang-orang yang berjalan santai dengan secangkir kopi di tangan. Barcelona terlihat seperti lukisan hidup yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.

Namun, di balik kekagumannya, ada rasa asing yang perlahan menjalari dirinya. “Apakah aku benar-benar bisa menjadi bagian dari kota ini? Mampukah aku memahami budaya mereka? Bagaimana jika aku gagal?” pikir Lava sambil meremas erat tas kecil di pangkuannya.

Ketika taksi berhenti di depan asrama yang megah namun sederhana, Lava menarik napas dalam-dalam. “Ini baru permulaan,” gumamnya pada diri sendiri. Ia berjanji untuk tidak membiarkan rasa takut menghentikannya. Kota ini, dengan segala pesonanya, adalah tempat di mana ia akan membuktikan dirinya.

Lava melangkah memasuki asrama dengan hati-hati. Lorong panjang dipenuhi pintu-pintu kamar, dan suara langkah kaki mahasiswa yang sibuk membuat suasana terasa ramai. Namun, Lava merasa gugup.

"Di mana kamar aku ya?" gumamnya sambil melihat kertas bertuliskan nomor kamar 207. Ia mencoba mencari arah, tetapi gedung ini terasa seperti labirin.

Saat kebingungan, seseorang menepuk bahunya dengan lembut. Seorang gadis berambut pirang panjang dengan aksen Inggris yang kental bertanya, "Are you lost? You seem confused."

Lava menoleh, sedikit terkejut. "Ah, iya. Aku baru sampai. Lagi cari kamar nomor 207."

"207?" Gadis itu tersenyum lebar. "What a coincidence! That’s my room too. Let me show you."

Lava mengikuti gadis itu yang melangkah santai namun penuh percaya diri. “By the way, I’m Sofia, from London,” katanya sambil menoleh ke Lava. “And you?”

"Aku Lava, dari Indonesia," jawab Lava dengan sedikit malu-malu.

Sofia tertawa kecil. "Oh, Indonesia! That’s far. I guess we’re both far from home, huh?"

Lava tersenyum. Ia merasa sedikit lega mendengar Sofia juga pendatang. Dalam beberapa menit, mereka tiba di depan pintu dengan angka 207 di atasnya.

"This is it," Sofia membuka pintu dan mempersilakan Lava masuk. Kamarnya sederhana, dengan dua tempat tidur yang sudah ditata rapi. Satu sisi terlihat sudah diisi oleh barang-barang Sofia.

"Take your pick," kata Sofia sambil menunjuk ke tempat tidur yang kosong. "I’ve already unpacked, but if you need help settling in, just ask."

"Terima kasih," Lava menjawab pelan, meski masih ragu apakah Sofia mengerti.

Olivia tertawa lagi. "Oh, don’t worry. You can just speak English with me. I don’t mind learning a word or two of your language, though."

Lava tersenyum lebih lebar kali ini. Dengan Sofia yang ramah dan ceria, ia merasa Barcelona, dengan segala tantangannya, mulai terasa lebih seperti rumah kedua.

Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Lava merebahkan diri di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar yang sederhana, mencoba menenangkan pikirannya yang dipenuhi berbagai rasa. Perjalanan panjang, kegugupan, dan perasaan asing semuanya bercampur menjadi satu. Tapi ada rasa lega yang mulai mengalir, terutama setelah bertemu Sofia, teman sekamarnya yang ramah.

Lihat selengkapnya