From script to screen

Aish
Chapter #3

Reels of a New Beginning

Gedung megah Fakultas Film berdiri kokoh di bawah matahari pagi Barcelona. Lava menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Hari ini adalah awal dari mimpinya, tetapi suasana kampus yang ramai dengan mahasiswa membawa peralatan film, poster-poster proyek kreatif di dinding, dan diskusi penuh semangat dalam bahasa Spanyol membuatnya merasa seperti orang asing.

Saat masuk ke ruang kelas, Lava mencari tempat di barisan belakang. Tapi sebelum dia sempat duduk, sebuah suara yang ceria menyapanya.

“Hei! Kamu mahasiswa baru?”

Lava menoleh dan melihat seorang cowok berambut keriting, dengan senyum lebar dan aksen campuran Italia-Spanyol.

“Aku Mateo,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Jurusan Film juga. Kamu Lava, kan? Aku dengar kamu dari Indonesia.”

Lava mengangguk, tersenyum kecil. “Iya, itu aku.”

Mateo menunjuk ke kursi kosong di depannya. “Ayo duduk di sini. Dosennya nggak suka kita duduk di belakang. Kalau mau aman, lebih baik dekatkan diri ke sumber masalah.”

Lava tertawa kecil. Walau baru bertemu, Mateo tampak hangat dan menyenangkan, cukup membantu mengurangi rasa gugupnya.

Lava memperhatikan seorang dosen laki-laki dengan rambut putih berdiri di depan kelas, mengenakan kemeja yang sedikit kusut dan syal merah menyala. Namanya Profesor Ruiz, seorang sutradara kawakan yang kini menjadi dosen tetap Fakultas Film.

“Selamat datang di dunia nyata perfilman,” katanya dengan suara lantang, membuyarkan percakapan di ruangan. “Di sini, mimpi kalian akan diuji, dihancurkan, dan jika kalian cukup beruntung dibentuk kembali menjadi sesuatu yang nyata.”

Lava menelan ludah. Sambutan yang cukup intimidatif untuk hari pertama.

Profesor Ruiz melanjutkan sambil berjalan di depan papan tulis, di mana sebuah kutipan besar tertulis dengan kapur putih:

"A good film is when the price of the dinner, the theatre admission, and the babysitter were worth it."

“Billy Wilder pernah berkata demikian,” ujar Profesor Ruiz. “Sekarang, coba pikirkan. Apa yang kalian anggap sebagai film yang benar-benar ‘berharga’? Apa yang membuatnya layak untuk ditonton?”

Ruangan hening. Lava menatap sekeliling, berharap ada orang lain yang angkat tangan lebih dulu.

Tiba-tiba, suara dari sisi ruangan memecah keheningan. “Film yang berharga adalah film yang membuat penontonnya merasa sesuatu. Entah itu bahagia, sedih, atau marah—yang penting adalah emosi.”

Semua kepala menoleh ke arah seorang cowok berambut cokelat yang duduk santai di barisan depan. Dia Hugo Sebastian. Lava langsung mengenali wajahnya dari poster-poster yang tersebar di kampus.

Profesor Ruiz tersenyum tipis. “Jawaban yang baik, Hugo. Tapi terlalu aman. Film bukan hanya soal emosi. Film adalah kehidupan, dan kehidupan itu kompleks. Bagaimana menurut yang lain?”

Mateo, yang duduk di sebelah Lava, meliriknya sambil menyenggol pelan. “Ayo, coba jawab. Kalau salah pun, paling cuma diketawain,” bisiknya sambil terkekeh kecil.

Lava menarik napas, lalu mengangkat tangan dengan ragu. “Menurut saya, film yang berharga adalah film yang membuat penontonnya berpikir. Film yang tetap tinggal di kepala mereka, bahkan setelah lampu bioskop menyala kembali.”

Profesor Ruiz menatap Lava dengan intens, lalu mengangguk. “Bagus. Itu adalah tujuan yang tinggi, tapi juga sulit. Banyak orang pergi ke bioskop untuk melupakan hidup mereka, bukan untuk memikirkan hidup. Tantangan kalian adalah menemukan keseimbangan itu.”

Setelah kelas berakhir, Lava masih terngiang-ngiang percakapan di kelas.

Mateo berjalan di sampingnya sambil tertawa kecil. “Kamu cukup berani untuk mahasiswa baru. Biasanya orang-orang butuh sebulan sebelum angkat tangan di kelas Ruiz.”

Lava menghela napas lega. “Aku hanya mencoba bertahan. Jujur, aku masih merasa asing di sini.”

Mateo menepuk bahunya. “Semua orang merasa seperti itu di awal. Tapi, percaya deh, di fakultas ini, cuma dua hal yang penting: keberanian dan kerja keras. Kalau kamu punya itu, kamu akan bertahan.”

Lava tersenyum kecil. Kata-kata Mateo memberinya sedikit semangat, tapi ia tahu bahwa perjuangan sebenarnya baru saja dimulai.

Siang pun berubah menjadi malam balkon kecil di lantai atas asrama menjadi tempat favorit Lava, Sofia, Jasmine, dan Jiyeon untuk mengerjakan tugas sambil menikmati angin malam Barcelona. Lampu-lampu kota bersinar di kejauhan, menciptakan suasana yang tenang namun hidup.

Sofia duduk bersandar di kursi rotan, menulis esai Sastra Spanyolnya. Jasmine sibuk menggambar konsep untuk proyek desain grafisnya, sementara Jiyeon mengetik cepat pada laptopnya, menyelesaikan proyek fotografi.

Lava duduk di lantai dengan laptop terbuka di depannya, tetapi layar kosong itu membuat pikirannya melayang. Ia belum menemukan ide untuk tugas film pendek tentang “dunia dalam konflik.”

“Hei,” ujar Lava tiba-tiba, memecah keheningan. “Aku masih nggak ngerti kenapa Hugo selalu jadi topik pembicaraan fakultas”

Lihat selengkapnya