Festival Film Mahasiswa FrameVerse: Create Your Legacy mencapai puncaknya malam itu. Layar besar di tengah panggung menampilkan karya film terbaik dari para mahasiswa jurusan Film dan Seni Visual. Cahaya lampu sorot menari-nari di antara kerumunan, sementara musik live yang dimainkan oleh mahasiswa jurusan Musik membuat suasana semakin hidup. Penampilan mereka memukau, dengan melodi yang memadukan semangat muda dan ambisi besar.
Lava berdiri di belakang panggung, memantau setiap detail seperti yang biasa ia lakukan. Meski lelah setelah berminggu-minggu bekerja keras, ada kepuasan tersendiri melihat hasil kerja timnya dihargai banyak orang. Jiyeon sibuk memotret setiap momen berharga, sementara Hugo entah di mana, seperti biasa menghilang dari pandangan.
Tiba-tiba, suara host festival memanggil perhatian penonton. “Dan sekarang, ada satu video spesial yang dipersembahkan oleh tim produksi kita. Selamat menikmati!”
Layar besar menyala, menampilkan kompilasi video dokumentasi yang direkam Jiyeon selama persiapan festival. Ada potongan gambar Lava dan Hugo yang bekerja sama, tertawa di balik layar, hingga momen-momen serius saat mereka mendiskusikan detail teknis. Semuanya terlihat begitu tulus dan nyata.
Namun, bagian terakhir video membuat semua orang terdiam. Cuplikan itu menampilkan Hugo sendirian di studio yang remang-remang, menatap langsung ke kamera.
“Banyak yang melihatku sebagai ‘Golden Boy,’ seseorang yang selalu mendapatkan apa yang diinginkan," suaranya terdengar dalam dan serius. "Tapi kenyataannya… ada satu hal yang aku kejar dan takut kehilangan... dan itu kamu, Lava.”
Suasana menjadi hening. Lava membeku di tempatnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Layar kembali hitam, meninggalkan ruangan dalam keheningan yang penuh kejutan. Penonton meledak dalam sorakan, tepuk tangan, dan juga bisikan yang tak kalah keras.
Namun, tidak semua orang terlihat senang. Beberapa fans dari sang Golden Boy menunjukkan wajah terkejut, bahkan ada yang kesal. Di tengah-tengah sorakan itu, Lava merasa dunia berputar terlalu cepat. Hugo tidak muncul setelah pengakuan itu, membuat semuanya terasa semakin membingungkan.
Hari berikutnya, kampus terasa lebih menyesakkan dari biasanya. Bisikan-bisikan penuh sindiran memenuhi udara sejak Lava melangkahkan kaki di lorong kampus.
“Serius? Lava sama Hugo?”
“Dia pasti cuma numpang popularitas.”
“Cantik aja nggak, kok bisa sih?”
Lava berpura-pura tidak mendengar, meski setiap kata menusuk dalam. Saat ia masuk kelas Bahasa Spanyol, situasi semakin buruk. Seorang teman sekelas dengan sengaja menjatuhkan buku di dekat mejanya.
“Ups, maaf, aku lupa kamu sibuk jadi bintang film sekarang,” sindirnya sambil memamerkan senyum palsu.
Lava menunduk, menahan diri agar tidak terpancing. Namun, mereka tidak berhenti.
“Kamu ngerti artinya ‘manipuladora’ kan, Lava?” tanya seseorang sambil pura-pura berpikir keras.
“Atau mungkin ‘oportunista’ lebih cocok,” tambah yang lain sambil tertawa.
Lava mengepalkan tangan di bawah meja. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menolak untuk terlihat lemah. Setelah kelas selesai, ia buru-buru pergi sebelum mereka melanjutkan ejekan.
Namun, situasi di kelas Film tidak lebih baik. Beberapa teman sekelas sengaja mengabaikannya atau melontarkan komentar menyakitkan.
“Kamu pasti bakal jadi pemeran utama di film berikutnya... film drama hidupmu,” sindir salah satu dari mereka dengan tawa licik.
Ketika Lava hendak meninggalkan studio, sekelompok teman sekelas mendekatinya.
“Bantuin kita beresin perlengkapan di dekat sungai, dong,” pinta salah satu dari mereka dengan nada ramah yang mencurigakan.
Meski merasa aneh, Lava setuju. Ia ingin membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar ‘orang yang dekat dengan Hugo.’ Ia mengikuti mereka menuju tepi sungai yang sepi, jauh dari keramaian kampus.
Namun, suasana segera berubah. Komentar sinis mereka makin menusuk.
“Lihat, sutradara kita datang. Siap-siap dapat peran baru!” teriak seseorang.