From script to screen

Aish
Chapter #5

En el límite de la Luz

Selama liburan semester, teman-teman Lava pulang ke negara masing-masing, meninggalkan Lava sendirian di Barcelona. Ia tahu tiket pulang terlalu mahal, meskipun rasa rindu akan masakan Indonesia, terutama nasi goreng hidangan terfavoritnya sepanjang masa terus menghantui pikirannya.

Untuk mengisi waktu dan menambah uang saku, Lava memutuskan mencari pekerjaan paruh waktu. Setelah beberapa hari berkeliling kota, ia diterima bekerja di sebuah toko roti kecil di sudut jalan bersejarah di dekat kampus. Toko roti itu bernama Pan y Vida, dikelola oleh pasangan tua yang ramah, Don Miguel dan Doña Clara.

Hari-hari Lava mulai diisi dengan aroma roti panggang, tumpukan croissant yang hangat, dan senyum pelanggan tetap yang datang setiap pagi. Meskipun tubuhnya lelah, ada rasa nyaman yang mulai tumbuh sebuah tempat yang terasa seperti rumah kedua di tengah kesendiriannya di negeri orang.

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, Lava terbangun oleh suara alarm di ponselnya. Dingin musim dingin Barcelona menusuk hingga ke tulang meskipun ia sudah mengenakan sweater tebal. Hari ini adalah awal minggu kerja di toko roti Pan y Vida, tempatnya bekerja paruh waktu selama liburan semester.

Setelah mengenakan jaket dan syal, ia berjalan cepat menyusuri jalan-jalan berbatu yang basah oleh embun pagi. Aroma kopi dan roti panggang dari toko-toko kecil di sepanjang jalan menjadi penghiburan kecil di tengah udara yang menggigil.

Begitu tiba di toko roti, Doña Clara sudah sibuk memanggang adonan, sementara Don Miguel menyiapkan bahan-bahan segar. Lava segera mengenakan celemek biru tua dengan bordir nama toko yang sedikit pudar.

“Buenos días, Lava,” sapa Doña Clara sambil tersenyum hangat.

“Buenos días, Doña Clara,” jawab Lava dengan senyum tulus, meskipun matanya masih sedikit mengantuk.

Pekerjaannya dimulai dengan menata rak-rak roti yang harum menggoda: Ensaimada yang lembut berlapis gula, Coca de Sant Joan dengan taburan buah kering warna-warni, dan Napolitanas de Chocolate, roti manis yang selalu habis duluan.

Pagi hari di toko selalu sibuk. Pelanggan tetap datang satu per satu: para pekerja kantoran yang terburu-buru, pasangan lansia yang gemar berbincang sambil menikmati kopi, dan anak-anak kecil yang menempelkan wajah di kaca etalase dengan mata berbinar.

Namun, tidak semua hari berjalan mulus. Ada pelanggan yang tidak sabaran atau pemesanan yang tertukar. Kadang, tangan Lava terluka saat mengangkat loyang panas atau teriris pisau saat memotong roti. Tapi yang paling sulit adalah rasa rindu yang kerap muncul tanpa diduga.

Setiap kali melihat keluarga yang makan bersama di meja dekat jendela, Lava tidak bisa menahan rasa sepi yang melanda. Ia paling merindukan nasi goreng buatan ibunya, hidangan sederhana yang tak tergantikan oleh roti apa pun di dunia ini.

Suatu sore, saat toko mulai sepi dan hujan deras mengguyur jalan-jalan Barcelona, Lava tengah membersihkan meja terakhir ketika bel pintu berdenting lembut.

Ia berbalik dan melihat seorang pria muda berdiri di ambang pintu, jaket kulit hitamnya basah kuyup, sementara syal abu-abunya menempel lekat di leher. Rambut cokelat gelapnya yang sedikit ikal tampak basah, meneteskan air hujan ke lantai.

“Buenas tardes,” sapanya rendah, nyaris tenggelam dalam suara hujan di luar.

Lava menelan ludah dan memaksakan senyum profesional. “¿Te puedo ayudar?”

Pria itu memandangnya dengan tatapan sulit diartikan sebelum menjawab, “¿Qué me recomiendas?”

“Ensaimada... es suave y dulce,” jawab Lava, mencoba tetap tenang meski matanya terus mencuri pandang ke arah pria itu.

Dia tersenyum tipis, sebuah senyum samar yang memikat namun terasa jauh. "Entonces, una ensaimada y un café, por favor." (Kalau begitu, satu ensaimada dan secangkir kopi, tolong.)

Ia duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap ke jalan. Matanya kadang melirik ke luar jendela, seolah mencari sesuatu yang tak kunjung datang.

Saat toko hampir tutup dan hujan masih mengguyur deras, pria itu kembali ke konter dengan langkah pelan. Sebelum Lava sempat berkata apa-apa, ia berbicara lebih lembut dari sebelumnya:

“Gracias… Me llamo Emiliano.”

Lava terdiam sejenak sebelum mengulurkan tangannya. “Lava.”

Tangan mereka bersentuhan singkat, hangat di tengah dinginnya musim dingin. Begitulah, sebuah kisah baru dimulai…

Setiap pagi, ia berjalan melintasi jalanan berbatu yang dingin, disambut aroma roti panggang dari toko-toko kecil yang mulai buka. Pekerjaannya meliputi menata rak berisi Ensaimada, Coca de Sant Joan, dan Napolitanas de Crema. Awalnya, semuanya terasa monoton sampai Emiliano muncul.

Emiliano adalah pelanggan tetap yang selalu memesan ensaimada hangat dan kopi hitam. Seiring waktu, ia menjadi teman terbaik Lava selama liburan semester. Obrolan ringan di sela-sela pekerjaan berkembang menjadi diskusi panjang tentang musik, film, dan kehidupan di Barcelona. Kehadiran Emiliano membuat rutinitas Lava tidak terasa sepi lagi.

Suatu malam, setelah toko tutup, Emiliano mengeluarkan dua tiket pertandingan sepak bola FC Barcelona dari jaketnya.

“Ini untukmu,” katanya sambil tersenyum.

Lava memandang tiket itu dengan bingung. “Sepak bola?”

Lihat selengkapnya