From script to screen

Aish
Chapter #6

Silencio

Rumah keluarga Sebastian berdiri megah di jantung Barcelona, memancarkan aura kekuasaan dan kesempurnaan. Di balik dinding tinggi dan gerbang besi yang kokoh, hidup Hugo kecil dalam dunia yang penuh aturan tanpa cela.

Sejak usia lima tahun, Hugo belajar bahwa hidupnya bukan miliknya. Nilai harus sempurna, meja makan harus rapi, dan penampilan harus selalu memukau. Bahkan senyum harus terlatih seperti pose dalam foto keluarga yang sering terpampang di majalah bisnis.

Suatu malam, saat makan malam keluarga formal, Hugo menjatuhkan sendoknya secara tidak sengaja. Suara logam yang jatuh membelah keheningan ruangan. Ayahnya meletakkan serbet dengan perlahan, lalu menatap Hugo dengan dingin.

“Kelalaian adalah tanda kelemahan.”

Malam itu, Hugo dihukum. Bukan dengan teriakan atau pukulan, tetapi dengan pengabaian total. Ia disuruh berdiri di ruang kerja ayahnya, dikelilingi tumpukan dokumen dan piala bisnis yang berkilauan, hingga malam larut. Kata-kata dingin ayahnya masih terngiang: “Orang lemah tidak layak mendapat perhatian.”

Hari-hari Hugo penuh dengan jadwal ketat. Bangun pukul enam pagi, latihan pidato, pelajaran privat, dan kelas seni yang dipilih ibunya bukan yang ia sukai, tetapi yang sesuai dengan citra keluarga.

Namun, ada satu hal yang membuatnya merasa bebas: sepak bola. Diam-diam, ia menyelinap keluar melalui pintu belakang dan bermain bola di taman tetangga. Itu adalah satu-satunya waktu ia bisa menjadi dirinya sendiri, berlari tanpa beban.

Namun, kebebasan itu tak berlangsung lama. Suatu sore, ibunya menemukannya bermain di taman dengan kaus kotor penuh lumpur. Saat pulang, Hugo dipaksa berdiri di lorong panjang rumah, mengenakan seragam formalnya yang disiapkan untuk pesta keluarga malam itu.

“Anak keluarga Sebastian tidak bermain seperti gelandangan,” ujar ibunya sambil menatap tajam. “Kamu akan berdiri di sini sampai belajar menjaga citra.”

Hugo berdiri selama berjam-jam hingga tubuhnya lelah, namun ia tahu bahwa melawan perintah berarti hukuman yang lebih berat pengabaian tanpa batas waktu.

Ketika Hugo memberanikan diri meminta izin mengikuti seleksi klub sepak bola lokal, ayahnya tertawa sinis. “Olahraga itu hiburan, bukan masa depan,” katanya dingin. “Kamu tidak dilahirkan untuk menjadi pemain bola.”

Hugo semakin muak dengan hidup yang dikendalikan oleh aturan keluarga. Setiap langkahnya diawasi, setiap pilihannya ditentukan. Kamera keamanan terpasang di setiap sudut rumah, bukan untuk melindungi, melainkan untuk memastikan ia selalu patuh.

Suatu malam, keinginan untuk melawan membara di dadanya. Hugo menyelinap keluar melalui jendela kamarnya yang menghadap taman belakang. Ia tahu bahwa sensor gerak di halaman akan memicu alarm, tetapi malam itu, ia tidak peduli.

Ia berlari menuju lapangan sepak bola di taman kota yang sering ia kunjungi saat kecil. Rumput basah menyentuh sepatunya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hidup. Hugo menendang bola dengan penuh emosi, membiarkan setiap rasa sakit dan kemarahan yang terpendam meledak dalam setiap tendangan.

Namun, kebebasan itu hanya bertahan sekejap. Saat ia duduk terengah-engah di pinggir lapangan, sebuah mobil hitam mewah berhenti di dekatnya. Seorang pria berpakaian formal keluar dengan ekspresi dingin yang sudah familiar. Itu adalah salah satu asisten pribadi ayahnya.

Tuan muda, Anda harus kembali ke rumah sekarang.”

“Aku bukan tahanan!” bentak Hugo, suaranya pecah oleh kemarahan.

“Peraturan adalah untuk melindungi Anda,” jawab pria itu dengan tenang, seperti membaca naskah yang telah dihafal. “Keluarga Anda tidak menerima pembangkangan.”

Melawan berarti memperburuk segalanya. Dengan berat hati, Hugo mengikuti pria itu kembali ke rumah, tetapi tekadnya untuk melawan semakin menguat.

Setelah kejadian itu, pengawasan terhadap Hugo semakin diperketat. Kamar tidurnya dipasang sistem keamanan tambahan. Setiap jadwal harian dikontrol lebih ketat, dan ia bahkan tak lagi diizinkan keluar tanpa pengawalan.

💕💕💕

Hari itu, suasana di rumah keluarga Sebastian terasa lebih sunyi dari biasanya. Para pelayan bergerak dalam keheningan, sementara wajah-wajah tegang terpancar di antara anggota keluarga. Kakek Hugo, Andreas Sebastian, sutradara legendaris yang pernah menginspirasi dunia dengan karya-karyanya, terbaring lemah di ranjang rumah sakit yang dipindahkan ke ruang tamu keluarga.

Lihat selengkapnya