From script to screen

Aish
Chapter #7

Layar usang

Langit Barcelona membentang cerahsaat Lava duduk di kamar asramanya, memandangi foto-foto liburan yang tersimpandi ponselnya. Liburan semester yang panjang dan sunyi akhirnya berakhir.

Suara pintu yang terbuka mengalihkanperhatiannya. Sofia, Jiyeon, dan Jasmine masuk dengan koper dan tas besar penuholeh-oleh.

"Lava!" seru Sofia sambilmemeluknya erat. Jiyeon dan Jasmine menyusul dengan senyum ceria.

"Kami kangen banget! Nggaknyangka kamu tetap di sini selama liburan," tambah Jasmine.

Lava tersenyum hangat."Tiketnya mahal. Aku kerja di toko roti dekat sini. Tapi kalian balikdengan koper penuh, kayaknya bawa sesuatu yang spesial?"

"Tentu saja!" Jiyeonmengeluarkan kotak kecil dari tasnya. "Ini teh khas Korea untukmu."

Jasmine menyerahkan bungkusan kainbermotif etnik. "Dari Maroko, syal sutra asli."

Sofia mengeluarkan kaus bertuliskan"London Vibes." "Biar kamu nggak lupa sama kami kalau kami lagijauh."

Lava tersenyum haru. "Kalianluar biasa! Terima kasih. Tapi aku juga punya sesuatu yang keren."

Dia mengeluarkan jersey FC Barcelonaberwarna biru-merah dengan tanda tangan besar di bagian depan.

"Astaga! Itu… itu tandatanganGavi?!" Sofia menjerit tak percaya.

Jiyeon langsung mengambil kameranya."Lava, pakai itu! Aku harus memotretmu!"

Lava tertawa dan memakai jerseynyadengan bangga. Jiyeon memotret sambil berteriak antusias. Sofia mendekat denganwajah iri. "Boleh pinjam nggak? Hanya sekali aja!"

"Mimpi aja!" Lavaterkekeh.

Kelas film kembali dimulai denganatmosfer serius. Dosen mereka, Profesor Martinez, berdiri di depan kelas denganekspresi tegas.

"Selamat datang kembali. Kaliini kalian akan mengerjakan proyek besar yang akan menentukan nilai akhirkalian," katanya sambil menatap seisi kelas. "Temanya: ‘Barcelona:Kisah yang Tak Terungkap.’ Cari cerita yang tersembunyi, yang tidak biasa,dan yang merepresentasikan jiwa kota ini."

Lava mencatat dengan penuh semangat.Dia membayangkan proyek ini sebagai kesempatan untuk mengeksplorasi Barcelonalebih dalam.

"Tim akan saya tentukan,"lanjut Profesor Martinez sambil membaca daftar nama. "Lava... denganHugo... dan Mateo."

Lava tertegun. Pandangannya perlahanberalih ke Hugo yang duduk di sudut kelas. Wajah Hugo tetap datar, tetapimatanya bertemu dengan milik Lava sejenak sebelum dia mengalihkan pandangannya.Sementara itu, Mateo menatap mereka dengan ekspresi penuh percaya diri.

Setelah kelas Mr. Martinez selesai,Lava bertemu dengan Hugo dan Mateo di ruang kerja fakultas film untuk membahasproyek film mereka yang berfokus pada Barcelona. Hugo dan Mateo terlihat sibukmemeriksa beberapa footage dan ide cerita di laptop mereka.

“Jadi, proyek kita kali inibenar-benar harus menggambarkan Barcelona sebagai kota yang punya kehidupan,bukan hanya sekadar latar,” kata Mateo, membuka ide mereka. “Kita butuh elemenyang bisa membawa cerita ini hidup.”

Lava, yang baru saja keluar darikelas dan merasa semangat, duduk di meja dengan antusias. “Ngomong-ngomong soalproyek, aku ada ide. Gimana kalau kita ambil model yang benar-benar tahubagaimana rasanya hidup di Barcelona? Aku pikir Emiliano bisa jadi pilihan yangbagus.”

Hugo menatap Lava dengan tatapantajam. “Emiliano? Kenapa dia?” katanya, suaranya sedikit meninggi. “Aku jugaorang Spanyol asli, Lava. Apa, karena aku bukan orang lokal Barcelona jadi kamunggak pikir aku bisa bawa atmosfer kota ini ke film?”

Mateo mencoba menenangkan suasana.“C’mon, Hugo, kita semua di sini buat kerja bareng. Gak usah bawa perasaan.”

Lava mencoba meredakan keteganganyang tercipta di antara mereka. “Aku nggak bermaksud seperti itu, Hugo,”ujarnya dengan suara lebih lembut. “Aku tahu kamu orang Spanyol asli, dantentunya kamu tahu banyak tentang Barcelona. Tapi Emiliano punya perspektifberbeda, dan kita butuh variasi dalam proyek ini.”

Lava mengirim pesan singkat kepadaEmiliano, menanyakan apakah dia tertarik untuk menjadi model dalam proyek filmmereka. Setelah beberapa saat, dia menerima balasan yang positif dari Emiliano.

Lihat selengkapnya