Aula fakultas film dipenuhi antusiasme dan ketegangan. Poster-poster proyek mahasiswa terpajang di dinding, masing-masingmewakili usaha keras berbulan-bulan. Proyek Lava, Hugo, dan Mateo, yang diberi judul "Barcelona:Kisah yang Tak Terungkap", menjadi salah satu sorotan utama.
“Kita sudah sampai sejauh ini,” ucap Lava dengan senyum lega sambil memeriksa filepresentasi di laptopnya. Semua berjalan sesuai rencana atau begitulah yang iapikirkan.
Mateo berdiri di dekat layar proyektor, sibuk mengatur kabel dan memastikan semuanya siap.“Setelah ini, tinggal tunggu pujian dari Profesor Martinez,” katanya sambilmengedipkan mata ke arah Lava.
Di sisi lain ruangan, Hugo duduk diam. Matanya memerhatikan setiap sudut aula dengan cermat.Aura dingin dan fokusnya tetap terlihat, tetapi Lava tahu bahwa dia jugamerasakan tekanan yang sama.
“Kita harus yakin semuanya sempurna,” kata Hugo tanpa menoleh. “Satu kesalahan kecil sajabisa menghancurkan kerja keras kita.”
Lava mengangguk, meskipun komentar itu membuatnya sedikit gugup. Ia tahu Hugo sangatperfeksionis, tetapi kali ini, ia merasa ada nada waspada dalam suara pria itu.
Saat giliran mereka tiba untuk presentasi, suasana aula berubah menjadi sunyi. Semua matatertuju pada layar besar di depan. Lava, Hugo, dan Mateo berdiri di sampinglayar, masing-masing memegang peran mereka. Lava membuka presentasi denganmenjelaskan ide utama proyek mereka: menggali cerita tersembunyi Barcelonamelalui lensa sejarah, seni jalanan, dan kehidupan sehari-hari.
Gambar-gambar indah dari rekaman mereka mulai diputar, menampilkan keindahan Barcelona yangjarang dilihat oleh turis. Ada potret pelukis jalanan di El Raval, kehidupanmalam di Gràcia, hingga kilas balik sejarah di Montjuïc. Penonton terlihatterpesona, beberapa bahkan berbisik mengagumi karya mereka.
Namun, saat bagian akhir video mulai diputar, layar tiba-tiba berkedip. Suara rekamanterdistorsi, dan adegan berikutnya berubah menjadi potongan-potongan gambaracak yang sama sekali tidak mereka kenali. Salah satunya adalah gambar Lavayang sedang berbicara dengan Mateo di kafe, diikuti oleh suara yang sengajadiedit untuk terdengar seolah-olah mereka sedang meremehkan Hugo.
“Hugo terlalu sok tahu. Dia cuma peduli sama hasil akhirnya,” suara Lava terdengar di layar.
Penonton mulai berbisik. Wajah Lava memucat. “Itu… itu bukan aku!” katanya panik.
Mateo juga terlihat bingung. “Apa yang terjadi? Ini bukan rekaman kita!”
Hugo tetap berdiri diam, tetapi rahangnya mengeras. Ia mematikan video dengan cepat danmenatap Lava dan Mateo dengan tatapan tajam. “Siapa yang punya akses ke filekita?” tanyanya dingin.
“Hanya kita bertiga,” jawab Mateo.
Professor Martinez berdiri dari kursinya. “Ini tidak bisa diterima. Saya beri kalianwaktu satu jam untuk memperbaiki ini. Kalau tidak, kalian akandidiskualifikasi.”
Di ruang kerja kecil mereka, Lava, Hugo, dan Mateo duduk dalam keheningan yang tegang. Fileasli video mereka sudah rusak, dan waktu terus berjalan.
“Ini sabotase,” kata Hugo akhirnya. “Seseorang sengaja ingin kita gagal.”
Lava menggigitbibirnya. “Tapi siapa? Kenapa?”
Mateo berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. “Mungkinseseorang dari kelas lain. Atau salah satu kru teknis di aula?”
“Tidak mungkin,” potong Hugo. “File ini diakses sebelum hari presentasi. Inipasti seseorang yang tahu sistem kerja kita.”
Lava menghela napas berat. Ia merasa tersudut. Semua orang di tim sudah bekerja keras, tetapisekarang nama baik mereka dipertaruhkan.
“Kita harus memulihkan file asli,” kata Lava. “Mungkinada salinan di hard drive cadangan.”
Mateo langsung membuka tasnya dan mengeluarkan hard drive eksternal. Namun, ketika ia menyambungkannya ke laptop,file yang mereka cari tidak ada.“Itu hilangjuga?” Lava hampir menangis.
“Tidak hilang,” gumam Hugo sambilmengetik cepat di laptop. “Dihapus.”
Sementara Hugo mencoba memulihkan file yang dihapus, Mateo dan Lava mulai menganalisis siapayang mungkin menjadi pelaku sabotase.
“Mungkin salah satu dari mereka yang iri dengan proyek kita?” tebak Mateo sambil melipattangan di dada.