Pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Los Angeles. Udara hangat kota itu menyambut mereka, bersama hiruk-pikuk kota besar yang terasa seperti dunia baru. Lava menatap papan neon yang menyala terang, sementara Hugo dan Mateo sibuk memeriksa perlengkapan film mereka.
“Selamat datang di Hollywood,” gumam Lava dengan senyum penuh harap.
Setelah check-in di penginapan, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati malam pertama di Los Angeles. Lampu kota berkilauan seperti bintang yang turun ke bumi.
Saat mereka berjalan di sepanjang Hollywood Walk of Fame, Lava melangkah sedikit lebih lambat, menikmati suasana. Hugo berjalan di sampingnya, jarak yang dulu terasa begitu jauh kini perlahan menghilang.
Lava berhenti sejenak, menatap deretan bintang yang terukir di trotoar ikonik itu. Jemarinya menyentuh nama-nama besar yang menjadi inspirasi dunia perfilman.
“Suatu hari nanti, namaku juga akan ada di sini,” bisiknya penuh tekad.
Hugo menatapnya sesaat, membaca semangat yang membara dalam sorot matanya. “Dan ini baru permulaan.”
Keheningan yang nyaman melingkupi mereka. Tanpa perlu banyak kata, ada pemahaman yang dalam antara keduanya. Untuk sesaat, dunia hanya milik mereka berdua, di tengah gemerlap Los Angeles yang penuh janji.
Mateo memanggil dari kejauhan, memecah suasana. “Hei! Ada kafe 24 jam di seberang jalan! Kopi pertama di LA!”
Kafe 24 jam di seberang jalan itu cukup ramai, dengan pencahayaan lembut dan suasana hangat yang kontras dengan malam yang sedikit lebih sejuk. Lava, Hugo, dan Mateo duduk di sebuah meja dekat jendela besar yang menghadap ke jalan Hollywood. Kota ini terasa seperti dunia yang tak pernah tidur, dengan orang-orang yang terus berlalu, masing-masing dengan cerita dan impian mereka sendiri.
Lava menghela napas panjang, matanya berbinar penuh harap. "Kota ini... rasanya seperti mimpi yang menjadi nyata. Aku sudah lama membayangkan ada di sini, dan sekarang aku benar-benar ada di sini. Semua terasa mungkin."
Hugo, yang lebih pendiam, mengamati Lava dari seberang meja. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya sejak mereka tiba di Los Angeles. Sebelumnya, dia sering kali terlihat serius dan terkendali, tetapi kini, dia terlihat lebih terbuka. Mungkin karena mereka berada di tempat yang sama-sama baru, sebuah tempat yang bisa memberi mereka kesempatan untuk menulis cerita mereka sendiri.
"Saya yakin kamu bisa mencapainya, Lava," kata Hugo, menatap langsung ke mata Lava. "Kita semua akan melakukannya bersama."
Lava terkejut dengan kata-kata Hugo. Meski ia tahu Hugo sering kali menyembunyikan perasaannya, kali ini ada kejujuran yang luar biasa dalam ucapannya. Sepertinya, perasaan mereka berdua mulai menemukan ritme yang lebih selaras, meski ada banyak hal yang belum mereka ungkapkan satu sama lain.
Setelah menikmati secangkir kopi yang hangat, Mateo memutuskan untuk kembali ke hotel lebih dulu. “Kalian berdua masih muda, pasti ada banyak yang bisa dijelajahi di kota ini. Aku ngantuk, jadi aku balik duluan. Jangan terlalu larut, ya!” katanya sambil tersenyum nakal, kemudian melambaikan tangan sebelum melangkah keluar.
Seiring berjalannya waktu, Lava merasakan ketegangan yang selalu ada antara mereka perlahan mulai mencair. Mereka berjalan bersama menyusuri trotoar, tidak ada yang perlu dikatakan, hanya melangkah dalam keheningan yang nyaman.
Malam itu, Los Angeles terasa lebih hidup. Lampu-lampu neon di sepanjang jalan Hollywood Walk of Fame berkelip indah, menciptakan aura yang magis di sekitar mereka. Lava memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah toko suvenir, mengambil beberapa barang kecil untuk dibawa pulang. Hugo berdiri di sampingnya, sesekali memandangi etalase, meskipun mata mereka tetap berpapasan dalam diam.
Tiba-tiba, Lava menggenggam tangan Hugo. Meskipun canggung, ada kehangatan yang tercipta. Hugo tidak menarik tangannya, sebaliknya, dia memegangnya sedikit lebih erat. Untuk pertama kalinya, Lava merasa bahwa kedekatan mereka bukan hanya tentang tugas atau pekerjaan, tetapi juga tentang sebuah hubungan yang lebih dalam yang mulai tumbuh, meskipun perlahan.