From script to screen

Aish
Chapter #10

Langit yang Retak

Kopi pesawat masih mengepul di tangan Lava saat dia menatap keluar jendela. Awan putih memadati langit, memberi rasa tenang yang kontras dengan kelelahan setelah mengikuti kompetisi di Hollywood. Mateo duduk di dekat jendela, menggambar di buku sketsanya, sementara Hugo sibuk membaca catatan proyek mereka di tablet.

“Apa menurut kalian, kita punya peluang menang?” tanya Lava dengan nada santai, mencoba mengalihkan pikirannya dari ketegangan.

Mateo menoleh dengan senyum optimis. “Kalau bukan kita, lalu siapa? Kita sudah memberikan yang terbaik.”

Hugo mengangkat pandangannya dari tablet, memberi anggukan kecil. “Kita lihat saja nanti. Pengumumannya lewat email. Fokus sekarang adalah kembali ke Barcelona dengan selamat.”

Lava tersenyum kecil. “Kamu selalu serius, Hugo.”

Di seberang lorong, Hugo Sebastian duduk diam dengan ekspresi serius. Tablet di tangannya menampilkan dokumen tentang kompetisi yang baru saja selesai. Matanya membaca cepat, tetapi sesekali ia melirik ke arah Lava dan Mateo, mendengarkan percakapan mereka.

“Kalian terlalu banyak bicara. Istirahatlah,” ujarnya singkat tanpa menoleh.

Mateo mengangkat alis, tersenyum licik ke arah Lava. “Lihat siapa yang mencoba jadi bos di sini.”

Lava tertawa kecil, merasa rileks untuk pertama kalinya setelah hari-hari panjang di Hollywood. “Kamu terlalu serius, Hugo. Santai sedikit.”

Hugo akhirnya menoleh, menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku hanya ingin kita tetap fokus. Ini belum selesai sampai email pengumuman masuk.”

Lava menghela napas. Hugo selalu seperti itu terlalu perfeksionis, terlalu tegas. Tapi di balik sikap dinginnya, dia tahu Hugo peduli, meski tidak pernah menunjukkannya secara langsung.

“Baiklah, Tuan Golden Boy,” canda Lava, mencoba meringankan suasana.

Mateo tertawa keras. “Golden Boy kita memang selalu waspada.”

Pramugari berjalan mendekat dengan senyum ramah, menawarkan minuman. Lava memesan kopi hitam, sementara Mateo memilih jus jeruk. Hugo hanya menggelengkan kepala, kembali ke tablet di tangannya.

Mateo melanjutkan menggambarnya, sementara Lava menyandarkan kepala, menikmati suara mesin pesawat yang menenangkan. Dari kursinya, ia melihat seorang anak kecil di barisan depan sedang bermain dengan boneka kecil, tertawa riang bersama ibunya. Pemandangan itu membuat Lava teringat pada keluarganya di Indonesia.

“Kalau kita menang,” Lava memulai dengan nada pelan, “aku ingin mengirim hadiah untuk keluargaku. Aku rindu mereka.”

Mateo menoleh dengan senyum lembut. “Aku yakin mereka akan bangga padamu, bahkan tanpa hadiah.”

Hugo, yang selama ini diam, mengalihkan pandangannya dari tablet. “Barcelona adalah tempat awal untuk mimpi kita. Keluarga pasti akan mengerti jika kita tidak pulang terlalu sering.”

Lava memandang Hugo dengan bingung. Ada sesuatu dalam nadanya yang terdengar... sedih.

“Kau baik-baik saja, Hugo?” tanya Lava hati-hati.

Hugo mengangguk singkat. “Aku baik. Fokus saja pada apa yang ada di depan kita.”

Setelah beberapa jam penerbangan, pesawat mulai melewati zona turbulensi. Guncangan ringan terasa, membuat Lava bangun dari kantuknya.

“Cuma turbulensi biasa,” kata Mateo sambil tersenyum, meskipun tangannya sedikit gemetar saat memegang buku sketsanya.

Namun, getaran semakin kuat. Beberapa penumpang mulai menunjukkan wajah cemas, sementara lampu kabin berkedip-kedip. Lava merasakan firasat buruk yang tak bisa ia abaikan. Hugo sudah memasang sabuk pengamannya kembali, matanya mengamati situasi dengan cermat.

“Kau baik-baik saja, Lava?” tanya Hugo dengan nada pelan.

Tiba-tiba, suara dentuman keras terdengar dari bagian belakang pesawat, diikuti oleh getaran hebat. Lava menoleh, matanya melebar saat melihat sekilas percikan api di salah satu mesin.

“Hugo!” Lava berteriak, panik.

Hugo langsung bangkit, menyalahi protokol keamanan, dan berusaha mencapai Mateo. Sementara itu, masker oksigen jatuh dari atas, menggantung seperti pengingat akan bahaya yang nyata.

“Pasang maskermu sekarang!” Hugo memerintahkan, matanya tajam menatap Lava.

Lihat selengkapnya