From script to screen

Aish
Chapter #11

Fractured Promises

Peringatan kematian Mateo di aula besar kampus berjalan khidmat. Figura besar dengan foto Mateo, lengkap dengan senyuman hangatnya, berdiri di tengah panggung, dikelilingi lilin-lilin kecil dan bunga lili putih. Aula dipenuhi suara isak tangis dan bisikan lirih yang mengingatkan semua orang akan kehilangan besar ini.

Di depan podium, Lava menggenggam naskah pidatonya dengan tangan gemetar. Saat ia berbicara, suaranya terdengar lemah, tapi sarat emosi.

"Mateo adalah pilar dari apa yang kita lakukan di sini. Dia adalah... inspirasi kami, keberanian kami. Kehilangannya adalah kehilangan yang tak tergantikan. Tapi aku yakin, jika Mateo ada di sini, dia pasti ingin kita terus melangkah, terus berkarya, untuknya."

Hugo, yang duduk di barisan depan, menatap Lava dengan sorot mata prihatin, tangannya mengepal di pangkuan seolah ingin melindungi Lava dari rasa sakit yang tak terlihat. Tepuk tangan mengiringi akhir pidato Lava, meski aula masih dipenuhi atmosfer duka.

Ketika layar besar mulai memutar salah satu karya Mateo, sebuah film pendek yang ia sutradarai bersama Lava, suasana menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada layar, tenggelam dalam adegan yang sarat emosi. Tapi tiba-tiba, lampu aula berkedip dua kali, menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding.

Saat lampu kembali menyala, perhatian semua orang teralihkan ke figura besar Mateo yang terpajang di panggung. Ada sesuatu yang berbeda. Kilauan merah samar tampak di kaca figura, seperti jejak yang ditulis dengan cairan kental.

"Eh, itu... apa?" salah seorang mahasiswa berbisik, menunjuk figura.

Semua mata beralih ke sana, dan perlahan tulisan itu mulai tampak jelas. Dengan gaya tulisan yang menyeramkan, seakan dioleskan dengan tangan, terlihat kata-kata:

"Kematian Mateo bukan kecelakaan."

Jeritan kecil pecah dari kerumunan. Beberapa mahasiswa berdiri dengan ekspresi panik. Lava, yang masih di podium, membeku, matanya tertuju pada figura dengan tatapan tak percaya.

Hugo bergerak cepat, naik ke panggung dan menarik Lava menjauh dari figura. "Kita harus pergi," bisiknya tajam, suaranya tegang.

Dosen mencoba menenangkan suasana, tapi keributan tak terhindarkan. Beberapa mahasiswa mendekati figura, hanya untuk mundur dengan wajah pucat ketika mereka melihat lebih dekat. Tulisan itu bukan hanya merah—cairan itu mengalir pelan, menetes ke bingkai, seperti darah segar.

"Ini... ini nggak mungkin," gumam seorang dosen, menyentuh kacamatanya yang berembun karena keringat.

Di tengah keributan, suara kursi berderit terdengar dari sudut aula. Semua orang membeku. Di layar besar, gambar terakhir dari film Mateo tiba-tiba berubah menjadi gelap, dan suara desisan seperti napas berat terdengar melalui speaker aula.

Kemudian, layar berkedip-kedip, dan satu kalimat muncul dengan font merah tebal di tengah layar:

"Aku tahu apa yang terjadi."

Ruangan seketika menjadi kacau. Beberapa mahasiswa berteriak, sementara yang lain lari ke pintu keluar. Dosen dan panitia mencoba mengontrol keadaan, tapi suasana sudah terlalu panik. Hugo memeluk Lava erat, mencoba melindunginya dari kerumunan yang panik.

Ketika aula akhirnya dikosongkan, hanya beberapa petugas keamanan dan dosen yang tersisa untuk memeriksa figura dan perangkat elektronik. Namun, saat mereka mendekati figura, tulisan itu menghilang begitu saja, meninggalkan kaca yang bersih tanpa jejak.

Lava duduk di luar aula bersama Hugo, masih gemetar. Hugo membelai punggung Lava pelan, mencoba menenangkan. "Aku nggak tahu siapa yang melakukan ini, tapi aku janji aku akan selalu ada di sini untuk kamu," katanya lembut.

Malam itu, suasana kampus berubah mencekam. Desas-desus menyebar cepat. Banyak yang mulai mempertanyakan kebenaran di balik kecelakaan Mateo. Apa itu benar-benar kecelakaan? Atau ada sesuatu yang lebih gelap di balik semuanya?

Hari-hari berikutnya, kampus berangsur-angsur kembali ke rutinitas normal, meskipun bayangan peristiwa di aula besar masih menghantui beberapa orang. Bagi Lava, hidupnya juga perlahan berjalan kembali, tapi tidak tanpa kehadiran Hugo yang kini tampak semakin menempel padanya.

Setiap pagi, Hugo sudah menunggu Lava di luar asrama, membawa secangkir kopi favoritnya.

“Morning, Lava,” sapanya sambil menyerahkan kopi itu dengan senyuman lebar. “Aku tahu kamu nggak sempat sarapan, jadi ini biar kamu nggak kelaparan.”

Lava tersenyum kecil, meski pipinya memerah. “Kamu nggak harus melakukan ini setiap hari, Hugo.”

“Tapi aku mau. Kamu nggak bisa melarang aku peduli sama kamu,” jawab Hugo dengan nada yang penuh keyakinan.

Sepanjang hari, Hugo selalu memastikan Lava tidak sendirian. Di kelas, dia memilih duduk di sebelah Lava, memperhatikan setiap gerakannya dengan mata penuh perhatian. Kalau Lava terlihat lelah atau linglung, Hugo tanpa ragu mencondongkan badan ke arahnya.

“Kamu oke? Kalau capek, kita bisa ke taman setelah kelas selesai,” bisiknya pelan, suaranya penuh kekhawatiran.

Saat makan siang, Hugo bahkan sering membawa makanan buatan sendiri untuk Lava. Salah satu kejadian yang membuat teman-teman Lava iri adalah ketika Hugo muncul dengan kotak makan yang berisi paella spesial yang ia buat sendiri.

“Kamu masak ini sendiri?” tanya Lava dengan takjub.

Lihat selengkapnya