Pukul 20.00
Malam ini langit terlihat cerah. Dari dalam mobil aku bisa melihat jutaan bintang yang bertebaran dengan cahaya indahnya. Kata nenekku di jawa, malam ini tepat tanggal setengah di kalender jawa. Ia memberitahu lewat video call sebelum aku berangkat. Pantas saja bulannya bulat sempurna.
Aku melambaikan tangan pada Kak Venus yang telah dengan baik hati mau mengantarku ke acara promnite sekolah. Setelah aku mengucapkan terimakasih, Kak Venus segera pergi menyisakan aku yang masih mematung. Aku mencoba menyeimbangkan tubuhku yang tidak terbiasa menggunakan higheels. Dress merah muda tanpa lengan dengan bagian punggung agak terbuka membuatku risih dan tidak nyaman. Apalagi beberapa pasang mata mulai memperhatikanku. Untungnya aku berhasil membawa sebuah selendang warna senada yang aku gunakan untuk menutupi bagian belakang. Yah, meskipun agak nerawang.
Sebenarnya yang paling membuatku tidak nyaman adalah hotel ini. Bukan karena aku tahu cerita tentang hantu atau tentang sebuah komplotan bersenjata. Tapi karena pacarku, Esa. Dia adalah pemilik hotel bintang lima warisan papanya yang dijadikan sebagai tempat promnite untuk sekolahku tiap tahunnya. Usia Esa saat ini 25 tahun, 8 tahun lebih tua dari aku. Aku menjadi pacarnya sejak tiga tahun lalu. Tepatnya karena pertemuanku dengan Esa di Rumah Sakit, saat papa Esa dan papaku dirawat di tempat yang sama.
Memang teman-temanku tidak tahu kalau pacarku seorang pemilik hotel bintang lima. Sepengetahuan mereka, aku adalah jomblo akut karena tidak pernah terlihat berpacaran dengan anak kelas manapun. Tentu saja begitu, aku takut jika teman-temanku tahu akan menganggap aku sebagai gadis yang gila harta.
Entah mengapa aku merasa khawatir bertemu Esa saat menggunakan riasan wajah dan pakaian seperti ini. Karena biasanya aku tidak pernah berpakain feminim saat jalan dengannya. Jangankan blush on atau bedak, lipstik juga tidak pernah menjamah wajahku.
“The real of Saturnus!” seru seseorang dari belakangku. Aku menoleh, rupanya beberapa temanku sedang duduk melingkari sebuah meja. Aku segera menghampiri mereka dengan cara berjalan yang sudah Kak Venus ajarkan beberapa jam yang lalu. “Oh my God. You are so beautiful!” Erik menatapku tanpa berkedip. Aku menjentikkan jari di depan wajahnya. “Biasa saja. Aku risih banget nih. Pengen pakai kaos aja” kataku. “No! serius, malam ini aku bener-bener lihat kamu sebagai seorang Dewi Fortuna!” kata Ilham, si ketua kelas. “Kita harus mengabadikan kejadian langka ini. Cewek super natural semacam Saturnus ternyata bisa tampil prima di acara promnite” Leona buru-buru memanggil seorang adik kelasku yang bertugas sebagai fotografer.
Beberapa jepretan dengan pose berbeda-beda membuatku harus memaksakan diri untuk tersenyum. “Kak Saturnus, boleh saya minta foto kakak sendirian?” Tanya adik kelasku yang ternyata bernama Brandon. Aku tahu namanya setelah membaca nametag di dada kirinya. Beberapa temanku langsung heboh berteriak. “Jadi model, lu!” “Gila, pose yang perfect!” “Ini sih model papan atas!”. Aku tidak menghiraukan kata-kata mereka. Aku hanya mengikuti pose-pose arahan Brandon. “Thanks, Kak Saturnus. Kapan-kapan kalau aku ada project akan aku hubungi ya” Brandon menyalamiku sambil tersenyum puas. Aku hanya mengangguk dan mempersilahkannya pergi.