Tiga tahun yang lalu.
Aku berjalan tergesa-gesa di sebuah koridor Rumah Sakit. Pakaian putih abu-abu yang aku kenakan tentu saja mengundang perhatian banyak orang pada saat jam sekolah begini. Tadi wali kelasku mengatakan bahwa papa mengalami kecelakaan dan mendapatkan luka yang cukup serius. Makanya aku diijinkan pergi ke Rumah Sakit dan tidak mengikuti jam pelajaran selanjutnya.
“Esa, selimut papa jatuh” kata seorang bapak yang duduk di kursi roda. “Yah… bagaimana ini, pa?” Lelaki muda yang dipanggil Esa kebingungan karena berada di posisi yang serba salah. Selimut papanya jatuh tepat di bawah roda dan sedikit tersangkut. Padahal mereka berda di jalan yang agak menanjak. Jika Esa mengambil selimut itu, kursi roda papanya akan meluncur bebas ke bawah. Tapi jika tidak diambil, mereka tidak akan bisa bergerak sedikitpun.
Aku segera menghampiri mereka dan mengambilkan selimut yang jatuh. “Ini pak selimutnya” kataku sambil menutupi paha yang kelihatannya sedang kedinginan. “Terimakasih, dik” kata Esa dan papanya bersamaan. Aku tersenyum lalu segera meninggalkan mereka. Setelah beberapa meter aku berjalan, sebuah suara terdengar dari belakan. “Nama kamu siapa?” Aku menoleh, ternyata Esa yang mengatakannya. Tentu saja aku tidak balas menjawab dengan balas berteriak. Sebaliknya, aku melanjutkan langkah kakiku menuju ruang ICU.
***
Setelah dirawat selama tiga minggu, kondisi papa semakin membaik. Papa diperbolehkan pulang dengan syarat harus rawat jalan. Aktivitas papa juga dibatasi. Urusan perusahaan untuk sementara diserahkan pada Kak Venus yang ternyata lumayan bisa diandalkan.
Sepulang sekolah, aku memilih tidak langsung pulang ke rumah. Aku memilih pergi ke sebuah taman yang letaknya tidak jauh dari sekolahku. Hampir setiap hari aku pergi kesini. Baik untuk mengerjakan tugas maupun sekedar membaca novel.