From The Diary of Saturnus

Johar Edogawa
Chapter #8

Pamali Hari Sabtu

           Thai Park (Taman Thailand).

           Aku memilih untuk berburu street food di Thai Park, salah satu rekomendasi pusat jajanan di Berlin oleh salah satu teman kak Venus. Pusat jajanan dengan khas Asia ini terletak di Fehrbelliner Platz, Wilmersdorf. Sedikit aneh sih, jauh-jauh ke Berlin tapi berburu streetfood mkanan Asia. Tapi bagiku tidak masalah karena tiba-tiba saja aku rindu masakan mama.

           Sampai di Thailand Park, aku melihat suasana yang berbeda dari Berlin pada umumnya. Ya, orang-orang di sini sudah menjaga tradisi Bangkok sejak 20 tahun yang lalu. Makanya tidak heran jika ada orang yang menyebut tempat ini Berlinkok. Berlin rasa Bangkok, Berlin dengan kekayaan Bangkok, Berlin dengan nuansa Bangkok. Ah, entah pokoknya Berlinkok.

           Semangkuk bakso dan seporsi mie sudah habis masuk perutku. Tapi perutku masih minta saja diisi. Aku berjalan lagi untuk mencari makanan yang mungkin bisa aku coba. Aku bingung harus membeli makanan apa karena banyak sekali pilihannya, bisa-bisa aku kalap kalau begini. Ya Tuhan, beginikah rasanya rindu masakan mama? Rindu rasanya pulang? Ah, baru dua hari di Berlin kenapa sudah mengeluh begini?

           Tiba-tiba mataku menangkap pemandangan yang ramai di sebuah kedai. Tentu saja buru-buru aku menghampirinya. Bisa jadi itu makanan yang enak! Biasanya sih begitu, tempat yang ramai selalu menawarkan makanan enak atau murah, bahkan enak dan murah.

           “Sorry, Sir. What this is?” tanyaku pada si penjual. “This is Goong Ten!” seru penjual yang sibuk melayani pembeli. “Ok! I want this one” kataku sambil berdesakan dengan yang lain. Dua orang di depanku bertubuh besar dan tinggi, sehingga aku tidak bisa melihat makanan yang dijual. “Oh, delicious!” seorang turis berwajah Afrika terlihat menikmati makanan yang sama dengan yang aku pesan sambil sesekali mengerjipkan matanya. Baiklah, satu kata delicious yang aku dengar membuatku merasa tidak salah pilih makanan.

           Beberapa saat kemudian, giliranku menerima makanan yang siap disantap. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku segera menyantap Goong Ten yang baru ku beli. Mataku terbelalak saat merasakan sesuatu di dalam mulut. Makanan yang baru aku masukkan seperti bergerak menggeliat atau menari-nari. Saat aku perhatikan baik-baik makanan di tanganku, aku terkejut melihat udang yang masih bergerak. Bahkan karena gerakan udang itu, mataku terkena air cipratannya. Aku segera kembali pada penjual tadi. Untungnya sudah tidak banyak pembeli yang berdesakan, karena aku akan menyampaikan hal penting.

Sorry, Sir. Udangnya masih ada yang hidup. Bisakah anda menggantinya dengan udang yang sudah matang? Dia bergerak di dalam mulut sebelum aku mengunyahnya” kataku sambil menyodorkan makanan yang baru aku makan sekali. Penjual tadi malah tertawa. “Kenapa dia menertawakanku? Harusnya dia mengganti makananku!” gerutuku dalam hati. “Dalam bahasa Thailand, Goong Ten artinya udang menari atau udang menggeliat. Jadi ini adalah salad yang dicampur dengan udang mentah. Lagi pula udang yang sudah dimasak akan berwarna merah, sedangkan ini masih dengan warna aslinya” kata si penjual.

Lihat selengkapnya