LANGIT kemuning tengah berbaur dengan semburat warna merah muda menerangi gang rumah kami di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Selatan. Pada ‘60-an, Kampung Bali belum dikenal sebagai kampung peredaran narkoba, gelar yang disandangnya sejak akhir tahun ‘90-an. Saat itu, Kampung Bali hanyalah permukiman padat sederhana. Dengan langit masih terbentang luas, tanpa hiasan pucuk-pucuk gedung pencakar langit. Rumah-rumah di sekitarnya pun hanyalah rumah sederhana satu lantai.
Sore itu, para penghuni gang usai menjalankan kegiatan seharian. Para lelaki dewasa pulang bekerja. Anak-anak terdengar berlarian di jalan sepanjang gang. Suaranya riuh bersahut-sahutan. Suara penjual makanan keliling menjajakan dagangannya masuk-keluar gang. Suara pedagang itu ditingkahi rengekan anak-anak yang minta jajan. Terdengar tawa ceria dan kepakan sandal jepit anak-anak yang berlarian mendapatkan makanan dari para penjual makanan keliling.
Rumah kami hanya berjarak dua ratus meter dari mulut gang. Meski tanpa kipas angin, udara sore ini berbaik hati memberi kehangatan yang tidak berlebih di dalam rumah kami. Namun, tidak bagi bapakku, Zaenal Arifin. Mungkin dia berharap matahari masih sudi menghangatkan tubuhnya yang mulai tak kuasa menahan semilir angin sedikit pun.
Bapak masih terbujur di ranjang yang reyot. Pekik pilu dari ranjang reyot itu akan terdengar setiap kali Bapak hendak memutar badannya sedikit ke kiri atau ke kanan. Tak lama, batuk Bapak pun reda, disusul irama ranjang reyot yang juga terdiam. Itulah satu-satunya penanda adanya kehidupan di balik kain kumal yang menjadi penghangat tubuh Bapak.
Rumah kami tak kalah merana dengan Bapak. Luasnya hanya 6×3 meter, sudah termasuk ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Ruang tamu 2 meter di depan, kamar tidur 2 meter, dan dapur 2 meter di belakang. Kamar mandi di luar tertutup karung goni. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah bolong-bolong, ubin pecah-pecah, dan genting yang entah kapan akan dibenahi kembali agar tidak bocor di sana-sini. Rumah itu bukan milik kami. Itu hanya rumah kontrakan dan sudah 10 bulan kami menunggak membayar uang sewa.
Keluarga kami merantau ke Jakarta, setahun setelah aku dilahirkan di Kediri pada 1950. Jakarta, sebagai kota proklamasi, jelas menjadi daya tarik bagi banyak pendatang sebagai penghasil uang. Aroma kemerdekaan masih hangat. Ibu kota bersukacita menghirup kebebasannya. Sejak Bung Karno mengumumkan kemerdekaan di Lapangan Banteng, berduyun-duyung penduduk kampung, seperti bapakku, mendatangi Jakarta. Mungkin untuk sekadar mencari kesempatan baru yang butuh waktu lama jika harus menantinya di kampung halaman. Namun, rupanya nasib kami tidak semanis harapan awalnya. Berutang, sakit, dan nyaris putus sekolah adalah keadaan yang jauh dari cita-cita Bapak ketika menapakkan kaki pertama kali di Jakarta.
Aku tengah duduk di kursi tua ruang tamu, memeriksa buku pelajaran untuk persiapan ujian akhir. Sementara itu, Mak menyuapi Bapak makanan dan obat yang dibeli di toko. Aku tahu obat itu bukan dari dokter, melainkan berasal dari toko yang dibeli sekadarnya. Makanan yang disuapkan Mak ke mulut Bapak juga bukan hasil beli di toko, melainkan pemberian dari para tetangga dan sanak saudara. Sudah sekian lama Bapak, kepala rumah tangga kami, jatuh sakit dan tidak memiliki penghasilan. Dua tahun belakangan pendapatan Bapak tidak menentu, sedangkan Mak hanyalah seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya mengurusi pekerjaan rumah.
Saat itu, aku hendak lulus SMA. Tidak banyak yang bisa kulakukan, kecuali bersedih dengan apa yang menimpa keluarga kami. Aku belum bisa membantu apa-apa sebab selama ini aku cuma belajar dan belajar. Bapak sendiri yang terus mendorongku untuk belajar dan tidak memikirkan yang lain. “Masa depan ada pada pendidikan, Man,” pesan Bapak.
Bapak berharap aku melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan, kami sempat membicarakannya ketika aku memilih untuk masuk sekolah pilot atau sekolah perwira. Sekolah pilot dan perwira menyediakan beasiswa sehingga, menurutku, bisa meringankan beban kedua orangtuaku. Lagi pula, profesi itu wujud dari pengabdian pada bangsa, seperti yang telah Bapak lakukan di masa perjuangan melawan Belanda.
Namun, waktu itu Bapak memiliki pertimbangan lain. Baginya tidak harus menjadi pilot atau perwira untuk mengabdi pada bangsa ini. Banyak profesi lain yang bisa menyumbang kemajuan bagi bangsa dan negara. Apa lacur, tak satu pun yang bisa kuraih karena harus berhadapan dengan penyakit Bapak yang tak kunjung sembuh. Bahkan, kulihat semakin hari keadaan Bapak semakin buruk saja. Seburuk masa depan yang menghadangku.
Sesungguhnya, Bapak belum begitu tua, usianya kurang lebih 50 tahun. Namun, entah mengapa kesehatannya merosot drastis belakangan ini.
Angin di luar tiba-tiba berembus kencang. Terdengar suara-suara seng dan papan yang longgar pakunya terbanting-banting di seluruh gang. Begitu pula rumah kami. Terdengar suara angin yang menghantam dinding anyaman bambu. Mendadak Bapak terbatuk-batuk. Aku rasa angin dingin dan kencang itu menerobos dinding dan tak mampu ditahan oleh badan Bapak. Batuk-batuk terasa sesak dalam dada Bapak. Aku juga merasa sesak ketika batuk itu tidak mereda. Aku mendekat ke samping pembaringan Bapak, duduk di sebelah kakinya yang terbuntal kain kumal. Aku pegangi kaki Bapak seraya memijatnya pelan-pelan. Entah apa yang bisa aku pijat dari kaki yang kulitnya sudah semakin layu dan hanya memeluk tulang. Sementara itu, Mak duduk di kursi memandangi wajah Bapak. Wajah yang tidak mampu menyembunyikan kesakitan, walau tak sepatah keluhan pun pernah muncul dari bibirnya. Bapak, di atas ranjangnya itu, rupanya masih tetap menjadi kepala rumah tangga kami yang tidak mau menambah beban istri dan anaknya dengan keluhan.
“Sakit bapakmu semakin hari semakin bertambah parah,” bisik Mak kepadaku. Aku hanya mengangguk. Aku pun tidak memiliki jawaban agar permasalahan ini bisa terpecahkan Kami bertiga hanya terpaku, membiarkan diri diselimuti kelamnya malam.
Keesokan harinya, usai Bapak makan siang dan minum obat ala kadarnya, kawan Bapak semasa perjuangan dulu datang berkunjung. Sejak dulu, Bapak memang rutin bertemu kawan-kawannya. Setidaknya dua minggu sekali. Pernah suatu kali aku diajak berkumpul bersama kawan-kawan Bapak. Mereka adalah kawan-kawan Bapak pada zaman perang kemerdekaan. Kebanyakan, kata Bapak, teman-temannya telah menduduki jabatan di kemiliteran.
Laiknya anggota militer, postur teman Bapak itu tegap dengan rambut dipotong tipis. Pakaian yang dikenakannya bak lampu neon mencerahkan rumah kami yang kumuh. Sepatu hitamnya yang mengilat terlihat melayang di atas ubin kami yang penuh retakan. Dan wewangian tubuhnya segera menyebar ke setiap sudut rumah kami, begitu dia masuk.
Dengan dua langkah mantapnya, dia segera mencapai kursi di samping ranjang Bapak. Aku sendiri memilih duduk di serambi depan rumah, memberikan ruang bagi dua sahabat itu bercakap-cakap. Lamat-lamat kudengar percakapan yang akrab antara Bapak dan kawannya itu. Kudengar Bapak hanya menimpali lontaran kata-kata temannya. Sakit Bapak yang kian parah membuat dirinya tidak terlalu banyak bercakap. Tamu Bapak ini tidak singgah terlalu lama di rumah kami. Setelah puas bercakap-cakap, dia segera beranjak dari kursinya dan pamit. Aku hanya mengangguk canggung kala dia tersenyum dan melangkah pergi.
Belum lagi hilang punggung teman Bapak dari pandangan, terdengar Mak memanggil.
“Man, Bapak memanggilmu!” Dari jarak suaranya, sepertinya Mak sudah berada di dekat Bapak. Aku yang berada di serambi rumah langsung beranjak ke pembaringan Bapak. Aroma tamu Bapak masih tertinggal di sekitar ranjang beliau. Bapak telentang dengan muka menghadap langit-langit rumah.
“Man, ke sini kamu,” pintanya tanpa memalingkan mukanya.
“Ya, Pak,” jawabku.
“Teman Bapak tadi seorang letkol. Dia kawan Bapak semasa perang melawan penjajah. Tadi dia mengatakan hendak membantuku dengan menyekolahkanmu ke Jepang. Dia menjanjikan kalau segala sesuatunya akan diurus,” kata Bapak pelan.
“Wah, ke Jepang untuk sekolah! Dengan senang hati, Pak!” jawabku penuh kegirangan. Terbayang sekolah ke luar negeri. Apalagi Jepang. Siapa yang tidak tertarik? Pekikku dalam hati. Dalam sekejap, suasana suram sirna dari benakku.
Bersamaan dengan itu, tangan Bapak merogoh sesuatu dari balik selimutnya. Di dalam genggamannya terdapat amplop kecil berwarna cokelat.