From Zero to Zero

Noura Publishing
Chapter #1

Bapak, Mak dan Aku

LANGIT kemuning tengah berbaur dengan semburat warna merah muda menerangi gang rumah kami di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Selatan. Pada ‘60-an, Kampung Bali belum dikenal sebagai kampung peredaran narkoba, gelar yang disandangnya sejak akhir tahun ‘90-an. Saat itu, Kampung Bali hanyalah permukiman padat sederhana. Dengan langit masih terbentang luas, tanpa hiasan pucuk-pucuk gedung pencakar langit. Rumah-rumah di sekitarnya pun hanyalah rumah sederhana satu lantai.

Sore itu, para penghuni gang usai menjalan­kan kegiat­­an seharian. Para lelaki dewasa pulang be­­ker­ja. Anak-anak terdengar berlarian di jalan se­­pan­jang gang. Suaranya riuh bersahut-sahutan. Su­ara penjual makanan keliling menjaja­kan da­gang­­annya masuk-keluar gang. Suara pedagang itu di­ting­kahi rengekan anak-anak yang minta jajan. Ter­dengar tawa ceria dan kepakan sandal je­pit anak-anak yang ber­larian mendapatkan makanan dari para penjual makanan keliling.

Rumah kami hanya berjarak dua ratus meter dari mulut gang. Meski tanpa kipas angin, udara sore ini berbaik hati mem­­­beri ke­hangatan yang tidak berlebih di dalam ru­­mah ka­mi. Namun, ti­dak bagi bapakku, Zaenal Arifin. Mung­kin dia ber­ha­rap matahari masih sudi menghangatkan tubuhnya yang mu­lai tak kuasa menahan semilir angin sedikit pun.

Bapak masih terbujur di ranjang yang reyot. Pekik pilu dari ranjang reyot itu akan terdengar setiap kali Bapak hendak me­mutar badannya sedikit ke kiri atau ke kanan. Tak lama, batuk Bapak pun reda, disusul irama ran­jang reyot yang juga terdiam. Itulah satu-satunya penanda adanya kehidupan di balik kain kumal yang menjadi penghangat tubuh Bapak.

Rumah kami tak kalah merana dengan Bapak. Luasnya hanya 6×3 meter, sudah termasuk ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Ruang tamu 2 meter di depan, ka­mar tidur 2 meter, dan dapur 2 meter di belakang. Kamar mandi di luar tertutup karung goni. Dindingnya terbuat da­ri anya­man bambu yang sudah bolong-bolong, ubin pecah-pecah, dan genting yang entah kapan akan dibenahi kembali agar tidak bocor di sana-sini. Rumah itu bukan milik kami. Itu hanya rumah kontrakan dan sudah 10 bulan kami me­nunggak membayar uang sewa.

Keluarga kami merantau ke Jakarta, setahun setelah aku dilahirkan di Kediri pada 1950. Jakarta, sebagai kota prok­­­­lamasi, jelas menjadi daya tarik bagi banyak pendatang se­bagai penghasil uang. Aroma kemerdekaan masih hangat. Ibu kota ber­sukacita menghirup kebebasannya. Sejak Bung Karno meng­umum­kan kemerdekaan di Lapangan Banteng, ber­duyun-duyung penduduk kampung, seperti bapakku, men­­­­­­­­datangi Ja­­kar­ta. Mungkin untuk sekadar mencari ke­sem­pa­tan baru yang butuh waktu lama jika harus menantinya di kampung halaman. Namun, rupanya nasib kami tidak se­ma­nis harapan awal­nya. Berutang, sakit, dan nyaris putus sekolah adalah ke­ada­an yang jauh dari cita-cita Bapak ketika menapakkan kaki pertama kali di Jakarta.

Aku tengah duduk di kursi tua ruang tamu, memeriksa buku pelajaran untuk persiapan ujian akhir. Sementara itu, Mak menyuapi Bapak makanan dan obat yang dibeli di toko. Aku tahu obat itu bukan dari dokter, melainkan berasal dari toko yang dibeli sekadarnya. Makanan yang disuapkan Mak ke mulut Bapak juga bukan hasil beli di toko, melainkan pemberian dari para tetangga dan sanak saudara. Sudah sekian lama Bapak, kepala rumah tangga kami, jatuh sakit dan tidak memiliki penghasilan. Dua tahun belakangan pen­dapatan Bapak tidak menentu, sedangkan Mak hanyalah se­­­­­orang ibu rumah tangga yang kesehariannya mengurusi pe­kerjaan rumah.

Saat itu, aku hendak lulus SMA. Tidak banyak yang bisa kulakukan, kecuali bersedih dengan apa yang me­nimpa keluarga kami. Aku belum bisa membantu apa-apa sebab selama ini aku cuma belajar dan belajar. Bapak sendiri yang terus men­dorongku untuk belajar dan tidak memikirkan yang lain. “Masa depan ada pada pendidikan, Man,” pesan Bapak.

Bapak berharap aku melanjutkan sekolah ke jenjang pen­didikan yang lebih tinggi. Bahkan, kami sempat membicara­kannya ketika aku memilih untuk masuk sekolah pilot atau se­kolah perwira. Sekolah pilot dan perwira me­nyedia­kan beasiswa sehingga, menurutku, bisa meringankan beban kedua orang­tuaku. Lagi pula, profesi itu wujud dari pengabdian pada bangsa, seperti yang telah Bapak lakukan di masa per­juangan melawan Belanda.

Namun, waktu itu Bapak memiliki pertimbangan lain. Bagi­nya tidak harus menjadi pilot atau perwira untuk mengabdi pada bang­sa ini. Banyak profesi lain yang bisa menyumbang kemajuan bagi bangsa dan negara. Apa lacur, tak satu pun yang bisa kuraih karena harus berhadapan dengan penya­kit Ba­­­pak yang tak kunjung sembuh. Bahkan, kulihat sema­kin ha­ri ke­ada­an Bapak semakin buruk saja. Seburuk masa depan yang meng­­­hadangku.

Sesungguhnya, Bapak belum begitu tua, usianya kurang lebih 50 ta­hun. Namun, entah mengapa kesehatannya merosot drastis be­la­ka­ngan ini.

Angin di luar tiba-tiba berembus kencang. Terdengar su­­­ara-suara seng dan papan yang longgar pakunya terbanting-banting di seluruh gang. Begitu pula rumah kami. Terdengar su­ara angin yang menghantam dinding anyaman bambu. Men­dadak Ba­pak terbatuk-batuk. Aku rasa angin dingin dan ken­cang itu menerobos dinding dan tak mampu ditahan oleh badan Bapak. Batuk-batuk terasa sesak dalam dada Bapak. Aku juga merasa sesak ketika batuk itu tidak mereda. Aku men­dekat ke samping pembaringan Bapak, duduk di sebelah kakinya yang terbuntal kain kumal. Aku pegangi kaki Bapak seraya memijatnya pelan-pelan. Entah apa yang bisa aku pi­jat dari kaki yang kulitnya sudah semakin layu dan hanya memeluk tulang. Sementara itu, Mak duduk di kursi memandangi wajah Bapak. Wajah yang tidak ma­mpu menyembunyikan kesakitan, walau tak sepatah keluhan pun pernah muncul dari bi­birnya. Bapak, di atas ranjangnya itu, rupanya masih tetap men­jadi kepala rumah tangga kami yang tidak mau me­nambah beban istri dan anaknya dengan keluhan.

“Sakit bapakmu semakin hari semakin bertambah parah,” ­bisik Mak kepadaku. ­Aku hanya mengangguk. Aku pun tidak me­­miliki ja­wa­ban agar permasalahan ini bisa terpecahkan Kami bertiga hanya terpaku, membiarkan diri diselimuti kelamnya malam.

Keesokan harinya, usai Bapak makan siang dan minum obat ala kadarnya, kawan Bapak semasa perjuangan dulu datang berkunjung. Sejak dulu, Bapak memang rutin bertemu kawan-kawannya. Setidaknya dua minggu sekali. Pernah suatu kali aku diajak berkum­pul bersama kawan-kawan Bapak. Mereka adalah kawan-kawan Bapak pada za­m­an perang kemerdekaan. Kebanyakan, kata Bapak, teman-temannya telah menduduki jabatan di kemiliteran.

Laiknya anggota militer, postur teman Bapak itu tegap de­ngan rambut dipotong tipis. Pakaian yang dikenakannya bak lampu neon mencerahkan rumah kami yang kumuh. Sepa­tu hi­tamnya yang me­ng­ilat terlihat melayang di atas ubin kami yang penuh retakan. Dan wewangian tubuhnya segera me­­nye­bar ke setiap su­dut rumah kami, begitu dia masuk.

Dengan dua langkah mantapnya, dia segera mencapai kursi di sam­ping ranjang Bapak. Aku sendiri memilih duduk di se­rambi depan rumah, memberikan ruang bagi dua sahabat itu ber­cakap-cakap. Lamat-lamat kudengar percakapan yang akrab antara Bapak dan kawannya itu. Kudengar Bapak hanya me­nim­pali lontaran kata-kata temannya. Sakit Bapak yang kian parah mem­­buat dirinya tidak terlalu ba­nyak bercakap. Tamu Bapak ini tidak singgah terlalu lama di rumah kami. Setelah puas bercakap-cakap, dia segera beranjak dari kursinya dan pamit. Aku hanya mengangguk canggung kala dia tersenyum dan melangkah pergi.

Belum lagi hilang punggung teman Bapak dari pan­dangan, terdengar Mak memanggil.

“Man, Bapak memanggilmu!” Dari jarak suaranya, seper­tinya Mak sudah berada di dekat Bapak. Aku yang berada di serambi rumah langsung beranjak ke pembaringan Bapak. Aro­­ma tamu Ba­pak masih tertinggal di sekitar ranjang beliau. Bapak te­lentang dengan muka menghadap langit-langit rumah.

“Man, ke sini kamu,” pintanya tanpa memalingkan mukanya.

“Ya, Pak,” jawabku.

“Teman Bapak tadi seorang letkol. Dia kawan Bapak semasa perang melawan penjajah. Tadi dia mengatakan hendak mem­bantuku dengan menyekolahkanmu ke Jepang. Dia menjanjikan kalau se­ga­la sesuatunya akan diurus,” kata Bapak pelan.

“Wah, ke Jepang untuk sekolah! Dengan senang hati, Pak!” jawabku penuh kegirangan. Terbayang sekolah ke lu­ar ne­geri. Apalagi Jepang. Siapa yang tidak tertarik? Pekikku dalam hati. Dalam sekejap, suasana suram sirna dari benakku.

Bersamaan dengan itu, tangan Bapak merogoh sesuatu dari balik selimutnya. Di dalam genggamannya terdapat am­plop kecil berwarna cokelat.

Lihat selengkapnya