From Zero to Zero

Noura Publishing
Chapter #2

Pedagang Asongan

Sudah cukup! Batinku berteriak suatu hari. Me­ratapi nasib tidak akan mengubah keadaan. Kupu­­­­tuskan, aku harus ber­buat sesuatu untuk mem­ban­tu keluargaku yang terbelit ke­kurangan. Aku ti­­dak bisa terus-menerus berpangku tangan, se­men­­ta­ra­ kedua orangtuaku dirundung perma­sa­lahan be­rat. Harus ada jalan keluar dari segala ke­sulitan ini, harus!

Aku harus bisa menghasilkan uang. Aku ha­rus bisa mendapat uang agar Mak bisa membeli beras dan lauk sehari-hari. Agar aku, Bapak, dan Mak se­tidaknya terbebas dari kelaparan. Hari-hari itu, yang ada dalam pikiranku hanya mencari cara agar men­dapat penghasilan.

Aku mondar-mandir di antara ruang tamu dan se­rambi sambil memikirkan jalan keluar dari semua permasalahan ini. Aku ge­­­lisah melihat Bapak tak berdaya tergolek di dipan, sementara Mak tampak pasrah dengan keadaan. Aku beru­­­saha sebisaku menahan kegelisahan agar rencanaku tidak di­ketahui kedua orangtuaku. Mak me­­mang mengamati ke­ge­lisahanku, tetapi karena memikirkan keadaan Bapak, dia tidak bertanya apa-apa. Aku sengaja tidak mau me­reka mengetahui segala rencanaku.

Akhirnya, pada Sabtu menjelang magrib, di serambi de­pan, aku mendapat akal untuk berjualan sesuatu. Aku sering lewat di jalanan Tanah Abang, tempat beragam pedagang men­jajakan segala keperluan. Mulai dari penjaja makanan, pa­­­ka­ian bekas, reparasi arloji, afdruk foto, jualan rokok ecer­an, tukang koran, berbagai perhiasan, dan sebagainya. Mereka ber­jajar di se­panjang Jalan Tanah Abang.

Ah, aku ada cara, pikirku. Bukankah aku bisa berjualan main­an atau perhiasan murah? Namun, kalau mainan sudah ba­nyak, ya? Kalau perhiasan? Sudah ada, tetapi tidak banyak.

Aku tahu tempat mendapatkan perhiasan tersebut: Pasar Jatinegara. Barangnya dibeli dengan cara kiloan, lantas diju­al eceran. Aku memang tidak harus beli berkilo-kilo, seperti pen­­jual yang sudah punya modal banyak, tetapi dengan uang se­adanya aku bisa membeli 1 atau 2 kg lantas menjualnya ber­sama-sama pedagang di Tanah Abang. Persoalan selanjutnya, dari mana aku mendapatkan modal? Makan saja aku harus mengutang.

Satu per satu, aku mulai mengingat teman-teman SMA-ku yang berlimpah uang dan berkawan baik denganku. Cukup pinjam uang jajannya saja, pasti mereka mau, pikirku. Tanpa menunda-nunda lagi aku datang ke salah seorang temanku yang rumahnya se­tengah jam jika ditempuh dengan berjalan kaki dari rumahku.

“Apa kabarmu, Man?” sapanya begitu aku muncul di ha­laman rumahnya.

“Baik,” kataku dengan niat yang sudah mantap.

“Ke mana rencana meneruskan, Man?” tanyanya.

“Belum tahu, masih pikir-pikir dulu,” kataku. Se­telah ber­­cakap-cakap rencana kuliah temanku ini, aku uta­rakan mak­­sudku untuk meminjam uang. Saat itu, aku ha­nya ka­takan ada keperluan mendesak. Aku berjanji akan segera me­ngemba­­likannya. Tanpa banyak tanya, temanku ini langsung masuk ru­mah dan kembali dengan uang di tangan.

“Man, ini uangku sendiri. Maaf kurang dari yang kau butuhkan,” kata temanku.

“Terima kasih, tidak apa-apa. Aku berjanji segera mengem­­­balikannya,” kataku bersungguh-sungguh. Tidak lama, aku pamit dengan perasaan senang, walaupun uang yang ku­te­rima ma­­sih kurang. Aku harus mencari pinjaman lagi. Masih kurang separuhnya. Aku datang ke rumah satu teman la­gi. Syukur alhamdulillah, akhirnya aku punya modal yang cukup.

Esoknya, pagi-pagi sekali sebelum sarapan, setelah pa­mit ke­­pa­da Mak, aku langsung pergi ke Stasiun Tanah Abang. Aku mencari posisi di ujung selatan, tempat lokomotif ber­­henti. Begitu kereta datang aku tidak masuk ke gerbong, tetapi memanjat lokomotif dan berdiri di sisi kiri kereta. Dengan tubuh setengah bergelantungan, kedua tanganku men­­­cekal kuat-kuat lonjoran besi di lokomotif. Dengan be­gitu, aku bisa lolos dari pemeriksaan karcis dan menghe­mat uangku. Jika teringat ini, aku suka tersenyum sen­diri. Tidak dulu tidak sekarang, masih saja ada orang yang ber­­gelantungan di kereta. Pasti ada sejuta cerita di balik ke­ne­katan mereka.

Begitu sampai di Stasiun Jatinegara, aku langsung berlari kecil ke Pasar Jatinegara. Aku belanjakan semua uang pinjaman dari teman­ku dan mendapat 1,5 kilogram perhiasan imitasi yang terbuat dari aluminium. Warnanya keperak-perakan, se­bagian lagi berwarna keemasan. Aku senang sekali melihat barang dagangan yang jum­lahnya banyak jika dihitung satuan. Se­gera aku masukkan perhiasan itu ke dalam tas dan buru-buru kem­bali ke stasiun, menunggu kereta menuju Stasiun Tanah Abang.

Sampai di Stasiun Tanah Abang, matahari baru menam­pak­kan diri sepenuhnya. Masih pukul 8 pagi. Udara­nya pun ber­sahabat. Tidak terlalu panas dengan angin berembus ringan. Cuaca yang baik untuk berdagang, pikirku. Aku langsung me­nuju salah satu bagian jalan yang sudah kuincar be­­berapa hari yang lalu. Jalan ini banyak dilalui para ibu dan siswi yang ber­angkat atau pulang sekolah. Aku pun sudah minta izin ke­pada pe­dagang di samping kanan-kiriku. Tanpa keberatan me­­­­reka ­mem­persilakanku berdagang. Aku ucapkan terima ka­sih banyak atas kebaikan para pedagang ini.

Lihat selengkapnya