Sudah cukup! Batinku berteriak suatu hari. Meratapi nasib tidak akan mengubah keadaan. Kuputuskan, aku harus berbuat sesuatu untuk membantu keluargaku yang terbelit kekurangan. Aku tidak bisa terus-menerus berpangku tangan, sementara kedua orangtuaku dirundung permasalahan berat. Harus ada jalan keluar dari segala kesulitan ini, harus!
Aku harus bisa menghasilkan uang. Aku harus bisa mendapat uang agar Mak bisa membeli beras dan lauk sehari-hari. Agar aku, Bapak, dan Mak setidaknya terbebas dari kelaparan. Hari-hari itu, yang ada dalam pikiranku hanya mencari cara agar mendapat penghasilan.
Aku mondar-mandir di antara ruang tamu dan serambi sambil memikirkan jalan keluar dari semua permasalahan ini. Aku gelisah melihat Bapak tak berdaya tergolek di dipan, sementara Mak tampak pasrah dengan keadaan. Aku berusaha sebisaku menahan kegelisahan agar rencanaku tidak diketahui kedua orangtuaku. Mak memang mengamati kegelisahanku, tetapi karena memikirkan keadaan Bapak, dia tidak bertanya apa-apa. Aku sengaja tidak mau mereka mengetahui segala rencanaku.
Akhirnya, pada Sabtu menjelang magrib, di serambi depan, aku mendapat akal untuk berjualan sesuatu. Aku sering lewat di jalanan Tanah Abang, tempat beragam pedagang menjajakan segala keperluan. Mulai dari penjaja makanan, pakaian bekas, reparasi arloji, afdruk foto, jualan rokok eceran, tukang koran, berbagai perhiasan, dan sebagainya. Mereka berjajar di sepanjang Jalan Tanah Abang.
Ah, aku ada cara, pikirku. Bukankah aku bisa berjualan mainan atau perhiasan murah? Namun, kalau mainan sudah banyak, ya? Kalau perhiasan? Sudah ada, tetapi tidak banyak.
Aku tahu tempat mendapatkan perhiasan tersebut: Pasar Jatinegara. Barangnya dibeli dengan cara kiloan, lantas dijual eceran. Aku memang tidak harus beli berkilo-kilo, seperti penjual yang sudah punya modal banyak, tetapi dengan uang seadanya aku bisa membeli 1 atau 2 kg lantas menjualnya bersama-sama pedagang di Tanah Abang. Persoalan selanjutnya, dari mana aku mendapatkan modal? Makan saja aku harus mengutang.
Satu per satu, aku mulai mengingat teman-teman SMA-ku yang berlimpah uang dan berkawan baik denganku. Cukup pinjam uang jajannya saja, pasti mereka mau, pikirku. Tanpa menunda-nunda lagi aku datang ke salah seorang temanku yang rumahnya setengah jam jika ditempuh dengan berjalan kaki dari rumahku.
“Apa kabarmu, Man?” sapanya begitu aku muncul di halaman rumahnya.
“Baik,” kataku dengan niat yang sudah mantap.
“Ke mana rencana meneruskan, Man?” tanyanya.
“Belum tahu, masih pikir-pikir dulu,” kataku. Setelah bercakap-cakap rencana kuliah temanku ini, aku utarakan maksudku untuk meminjam uang. Saat itu, aku hanya katakan ada keperluan mendesak. Aku berjanji akan segera mengembalikannya. Tanpa banyak tanya, temanku ini langsung masuk rumah dan kembali dengan uang di tangan.
“Man, ini uangku sendiri. Maaf kurang dari yang kau butuhkan,” kata temanku.
“Terima kasih, tidak apa-apa. Aku berjanji segera mengembalikannya,” kataku bersungguh-sungguh. Tidak lama, aku pamit dengan perasaan senang, walaupun uang yang kuterima masih kurang. Aku harus mencari pinjaman lagi. Masih kurang separuhnya. Aku datang ke rumah satu teman lagi. Syukur alhamdulillah, akhirnya aku punya modal yang cukup.
Esoknya, pagi-pagi sekali sebelum sarapan, setelah pamit kepada Mak, aku langsung pergi ke Stasiun Tanah Abang. Aku mencari posisi di ujung selatan, tempat lokomotif berhenti. Begitu kereta datang aku tidak masuk ke gerbong, tetapi memanjat lokomotif dan berdiri di sisi kiri kereta. Dengan tubuh setengah bergelantungan, kedua tanganku mencekal kuat-kuat lonjoran besi di lokomotif. Dengan begitu, aku bisa lolos dari pemeriksaan karcis dan menghemat uangku. Jika teringat ini, aku suka tersenyum sendiri. Tidak dulu tidak sekarang, masih saja ada orang yang bergelantungan di kereta. Pasti ada sejuta cerita di balik kenekatan mereka.
Begitu sampai di Stasiun Jatinegara, aku langsung berlari kecil ke Pasar Jatinegara. Aku belanjakan semua uang pinjaman dari temanku dan mendapat 1,5 kilogram perhiasan imitasi yang terbuat dari aluminium. Warnanya keperak-perakan, sebagian lagi berwarna keemasan. Aku senang sekali melihat barang dagangan yang jumlahnya banyak jika dihitung satuan. Segera aku masukkan perhiasan itu ke dalam tas dan buru-buru kembali ke stasiun, menunggu kereta menuju Stasiun Tanah Abang.
Sampai di Stasiun Tanah Abang, matahari baru menampakkan diri sepenuhnya. Masih pukul 8 pagi. Udaranya pun bersahabat. Tidak terlalu panas dengan angin berembus ringan. Cuaca yang baik untuk berdagang, pikirku. Aku langsung menuju salah satu bagian jalan yang sudah kuincar beberapa hari yang lalu. Jalan ini banyak dilalui para ibu dan siswi yang berangkat atau pulang sekolah. Aku pun sudah minta izin kepada pedagang di samping kanan-kiriku. Tanpa keberatan mereka mempersilakanku berdagang. Aku ucapkan terima kasih banyak atas kebaikan para pedagang ini.