Aku sendiri sudah lupa kapan aku mengirimkan surat lamaran kerja ke perusahaan ini. Memang sejak menjadi pedagang asongan, aku menyisihkan uang sebagai modal untuk mengirimkan surat lamaran kerja secara langsung ke seluruh gedung tinggi di sekitar Tanah Abang dan Thamrin. Tentu aku tidak bertekad untuk menjadi pedagang asongan selamanya. Dan hari itu pun tiba.
Pagi itu, 4 Desember 1968, adalah hari besar bagiku. Aku mendapat panggilan kerja di Citibank dan diminta datang untuk menjalani tes kelayakan. Tidak banyak yang bisa kupilih dari lemari baju kami sehingga kemeja putih dengan celana panjang hitam yang sudah kusam beserta satu-satunya sepatu yang aku punya menjadi kostum “kebanggaanku” menuju kantor bank asing itu.
Ini bukan pertama kalinya Citibank menancapkan tonggak bisnisnya di Indonesia. Citibank pernah menutup cabangnya di Indonesia pada 1920, lalu kembali merintis di tanah pertiwi ini pada 1968. Pada tahun itu, banyak perekrutan dilakukan. Dan aku beruntung bisa turut dalam sejarah awal kembalinya Citibank di Indonesia.
First National Citibank berlokasi di Jalan M.H. Thamrin. Tidak jauh dari tempat tinggalku di Kampung Bali. Dengan menyusuri gang satu ke gang yang lain, tibalah aku di jalan besar Thamrin. Pada ‘60-an, kawasan Thamrin merupakan kawasan segitiga emas pertama yang dibangun. Peta biru yang dirancang Presiden Soekarno menjadikan sepanjang Jalan Thamrin hingga Senayan sebagai kawasan komersil ketika menyambut ajang Ganefo. Meski gedung-gedungnya belum sepadat dan setinggi sekarang, kawasan ini memang luas. Beruntung aku terbiasa pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki. Mungkin rutenya lebih pendek ketimbang rute mereka yang berjalan pagi ketika diadakan car free day saat ini. Namun, walau sudah sering melewati Jalan Thamrin, ketika harus memasuki gedung besar dan mewah itu aku tetap merasa kikuk.
“Permisi, apakah ini kantor Citibank?” tanyaku kepada penjaga di meja penerima tamu.
“Betul. Ada keperluan apa?” tanya seorang resepsionis perempuan.
“Tes kerja, Bu,” jawabku masih setengah terintimidasi dengan kemegahan gedung yang berbanding antara langit dan bumi dengan tempat aku, Bapak, dan Mak berteduh sehari-hari.
“Nama?” tanyanya mengejutkan ketercenganganku.
“Houtman Arifin,” jawabku cepat.
“Baik, silakan duduk di sana dan menunggu panggilan selanjutnya,” kata penjaga itu.
Setelah mengucap terima kasih, aku pun bergabung dengan calon pekerja lain. Kami duduk berderet sambil menunggu dimulainya tes masuk. Tak berapa lama, beberapa nama dipanggil untuk tes kecerdasan. Sampai berakhir panggilan dari sekitar 20 calon pekerja, namaku tidak kunjung dipanggil. Aku gelisah. Namun karena ragu bertanya, aku tetap duduk menunggu. Sampai akhirnya namaku dipanggil untuk tes kesehatan.
“Nama saya tadi kok tidak dipanggil, Pak?” tanyaku kepada pemberi tes usai memeriksa kesehatanku.
“Wah, saya kurang tahu, ya,” jawabnya singkat.
Akhirnya, tes berakhir dan para calon pekerja, termasuk aku, pulang. Pengumuman siapa saja yang akan diterima disampaikan selambat-lambatnya besok hari melalui surat. Aku bergegas pulang karena teringat Bapak yang sakit. Tidak terpikir lagi kenapa aku tidak mengikuti tes kecerdasan. Hari itu, semalaman aku menunggui Bapak menggantikan Mak yang terlihat kelelahan. Esok harinya, sebelum tengah hari, surat berkop Citibank tiba. Dengan hati cemas dan berbagai doa, perlahan kubuka tutup amplopnya. Aku buka lipatan surat di dalamnya. Aku baca perlahan-lahan surat yang diketik rapi. Sampai kemudian berhenti pada kata digarisbawahi: diterima.
Pelangi seolah menghiasi hatiku saat membacanya. Setelah hujan badai menerpa lewat sakitnya Bapak, kini warna-warni pelangi memberikan secercah harapan bagiku untuk membahagiakan keluarga.