From Zero to Zero

Noura Publishing
Chapter #3

Office Boy Citibank

Aku sendiri sudah lupa kapan aku mengirimkan surat lamaran kerja ke perusahaan ini. Memang sejak menjadi pedagang asongan, aku menyisihkan uang sebagai modal un­tuk mengirimkan surat lamaran kerja secara langsung ke seluruh gedung tinggi di sekitar Tanah Abang dan Thamrin. Tentu aku tidak bertekad untuk menjadi pedagang asongan selamanya. Dan hari itu pun tiba.

Pagi itu, 4 Desember 1968, adalah hari besar bagiku. Aku mendapat panggilan kerja di Citibank dan diminta datang untuk menjalani tes kela­yakan. Tidak banyak yang bisa kupilih dari lemari ba­ju kami sehingga kemeja putih dengan celana pan­jang hitam yang sudah kusam beserta satu-satunya sepatu yang aku punya menjadi kostum “kebanggaanku” menuju kantor bank asing itu.

Ini bukan pertama kalinya Citibank me­nan­capkan tonggak bisnisnya di Indonesia. Citibank pernah me­nutup cabangnya di Indonesia pada 1920, lalu kem­bali merintis di tanah pertiwi ini pada 1968. Pada tahun itu, banyak perekrutan di­lakukan. Dan aku beruntung bisa turut dalam sejarah awal kem­balinya Citibank di Indonesia.

First National Citibank berlokasi di Jalan M.H. Thamrin. Tidak jauh dari tempat tinggalku di Kampung Bali. Dengan me­­nyusuri gang satu ke gang yang lain, tibalah aku di jalan besar Thamrin. Pada ‘60-an, kawasan Thamrin me­rupakan kawa­san segitiga emas pertama yang dibangun. Peta biru yang dirancang Presiden Soekarno menjadikan sepanjang Jalan Thamrin hingga Senayan sebagai kawasan komersil ketika menyambut ajang Ganefo. Meski gedung-gedungnya belum sepadat dan setinggi sekarang, kawasan ini memang luas. Beruntung aku terbiasa pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki. Mungkin rutenya lebih pendek ke­timbang rute mereka yang berjalan pagi ketika diadakan car free day saat ini. Namun, walau sudah sering melewati Jalan Thamrin, ketika harus memasuki gedung besar dan mewah itu aku tetap merasa kikuk.

“Permisi, apakah ini kantor Citibank?” tanyaku kepada pen­­­jaga di meja penerima tamu.

“Betul. Ada keperluan apa?” tanya seorang resepsionis pe­rempuan.

“Tes kerja, Bu,” jawabku masih setengah terin­timidasi dengan kemegahan gedung yang berbanding antara langit dan bumi dengan tempat aku, Bapak, dan Mak ber­teduh sehari-hari.

“Nama?” tanyanya mengejutkan ketercenganganku.

“Houtman Arifin,” jawabku cepat.

“Baik, silakan duduk di sana dan menunggu panggilan selanjutnya,” kata penjaga itu.

Setelah mengucap terima kasih, aku pun bergabung dengan calon pekerja lain. Kami duduk berderet sambil menunggu di­mulainya tes masuk. Tak berapa lama, beberapa nama di­pang­gil untuk tes ke­cerdasan. Sampai berakhir panggilan dari se­kitar 20 calon pekerja, namaku tidak kunjung dipanggil. Aku gelisah. Namun karena ragu bertanya, aku tetap duduk me­nunggu. Sampai akhirnya namaku dipanggil untuk tes ke­sehatan.

“Nama saya tadi kok tidak dipanggil, Pak?” tanyaku kepada pemberi tes usai memeriksa kesehatanku.

“Wah, saya kurang tahu, ya,” jawabnya singkat.

Akhirnya, tes berakhir dan para calon pekerja, termasuk aku, pulang. Pengumuman siapa saja yang akan diterima di­sampaikan selambat-lambatnya besok hari melalui surat. Aku bergegas pu­lang karena teringat Bapak yang sakit. Tidak ter­pikir lagi kenapa aku tidak mengikuti tes kecerdasan. Hari itu, semalaman aku menunggui Bapak menggantikan Mak yang terlihat kelelahan. Esok harinya, sebelum tengah hari, surat berkop Citibank tiba. Dengan hati cemas dan ber­bagai doa, perlahan kubuka tutup amplopnya. Aku buka lipatan surat di dalamnya. Aku baca perlahan-lahan surat yang diketik ra­pi. Sampai kemudian berhenti pada kata digarisbawahi: diterima.

Pelangi seolah menghiasi hatiku saat membacanya. Se­telah hujan badai menerpa lewat sakitnya Bapak, kini warna-warni pelangi memberikan secercah harapan bagiku untuk mem­bahagiakan keluarga.

Lihat selengkapnya