Jam dinding di ruang guru menunjukkan pukul 06.55. Udara pagi menyusup lewat celah-celah jendela tua yang belum pernah diganti sejak sekolah itu berdiri. Suara ayam dan deru motor anak-anak sekolah jadi latar belakang tetap setiap hari. Tapi pagi ini, Ari hanya diam memandang halaman sekolah dari balik kaca.
Seragam putih abu-abu mulai berdatangan, sebagian sudah tampak kusut, sebagian lain masih menyimpan aroma parfum murahan. Ari menghela napas. Matanya menyapu satu per satu siswa yang masuk gerbang sambil bercanda atau bermain pukul-pukulan.
Ia berdiri. Rapi seperti biasa. Kemeja biru muda dan celana bahan gelap, sepatu disemir, rambut tersisir ke samping. Wajahnya tampan, bersih, bahkan terlalu ‘bersinar’ untuk ukuran guru di pelosok desa. Tapi senyum? Tak pernah terlihat. Bahkan rekan sesama guru mulai bertaruh, siapa yang bisa membuat Pak Ari tersenyum hari ini.
Tapi ternyata, ruang guru tak seindah bayangan Ari waktu pertama kali menerima SK penempatan.
Ia pikir akan bertemu rekan sejawat yang kompak, berdedikasi, dan saling mendukung seperti dosen-dosen di kampusnya dulu. Nyatanya, ruang guru SMA Tunas Bangsa terbagi dalam klompok-klompok tak resmi. Meja-meja disusun sesuai ‘geng’ masing-masing—ada kelompok ibu-ibu rumpi, bapak-bapak santai, dan mereka yang memilih jadi penonton diam.
Ari, tentu saja, tidak termasuk ke mana-mana. Meja kerjanya berada paling pojok dekat rak buku lama. Sendiri.
“Eh, udah dateng tuh... guru baru nan cool,” celetuk suara melengking.
Bu Yuli. Guru IPS yang terkenal kepo, suka marah-marah tanpa alasan, dan entah kenapa merasa semua orang perlu tahu opininya.
Perawakannya tinggi, selalu berdandan menor, dan sering bersikap seolah dialah ratu di ruang guru. Sering menyebut dirinya 'sosok cantik penyelamat sekolah'.
“Pak Ari, sendirian terus. Nggak kasihan, lho. Di sana dingin. Gabunglah ke sini biar hangat,” godanya dengan suara yang sengaja dibuat manja, tapi malah bikin risih.
Ari menoleh pelan, tersenyum tipis—senyum yang nyaris tak terlihat.
“Terima kasih, Bu Yuli. Saya nyaman di sini.”
“Yah, masih malu-malu. Nanti juga luluh,” sahut Bu Yuli sambil mengibaskan rambutnya ke bahu.
Bu Rina, yang duduk di dekat Bu Yuli, cuma melirik. Antara geli dan malas menanggapi. Di antara guru-guru, konflik diam sering terjadi. Seolah semua orang bersaing diam-diam—bukan untuk prestasi, tapi untuk perhatian dan dominasi sosial.
Ari sudah hafal pola itu. Ia memilih diam, membenahi map, lalu beranjak menuju kelas.
Tapi sebelum keluar, ia mendengar celetukan lirih Bu Yuli ke Bu Diah, guru Matematika.
“Pasti dia banyak masalah hidupnya tuh... makanya mukanya kayak batu es.”
Telinga Ari mendengar, tapi hatinya tidak bereaksi. Ia tahu, di sekolah ini, bertahan bukan hanya soal mengajar. Tapi juga menahan diri untuk tak ikut tenggelam dalam permainan dewasa yang kekanak-kanakan.
“Pagi, Pak Ari,” sapa Bu Rina, guru BK, dengan senyum manisnya. Wanita itu sudah dua kali bercerai, dan diam-diam menyukai pria pendiam itu.
Ari hanya mengangguk. Lalu duduk, membuka laptop tua yang sudah penuh stiker murid iseng.
“Dingin amat, Pak,” celetuk Pak Gunawan, guru sejarah yang suka tidur di ruang guru. “Ngopi yuk!”
“Terima kasih, Pak. Saya puasa hari ini,” jawab Ari singkat.
Pak Gunawan nyengir. “Wah, tiap hari kayaknya puasa, senyumnya juga ikut dipuasain.”
Beberapa guru lain tertawa pelan. Tapi Ari tak menanggapi. Ia hanya kembali fokus pada file RPP-nya.
Di luar ruangan, suara bel sekolah berdering nyaring. Ari bangkit, meraih map pelajaran Biologi, dan berjalan ke kelas. Langkahnya tenang, tidak tergesa. Di setiap sudut lorong sekolah yang usang itu, seolah bayangan perjuangannya ikut berjalan bersamanya—dari pedesaan, dari kota pelajar, dari ruang-ruang sunyi tempat ia nyaris menyerah.
SMA Tunas Bangsa memang jauh dari kata sempurna. Tapi di situlah Ari memilih bertahan. Meski tak dihargai, meski murid seringkali tak peduli, dan meski senyumnya nyaris membeku oleh kerasnya hidup—ia tetap datang setiap pagi. Mengajar, mencatat, membenahi.
Dan hari itu pun dimulai. Seperti pagi-pagi sebelumnya. Pagi yang tak pernah sederhana.
***
Lapangan upacara yang biasanya garing dan bikin ngantuk, pagi ini mendadak terasa seperti panggung konser.
Kepala sekolah, Pak Bakri Sahendra, M.Pd., berdiri tegap di mimbar. Suaranya tegas namun berwibawa. Dengan nada formal yang sudah jadi ciri khasnya, beliau mengumumkan kedatangan guru baru.
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan seorang guru Biologi yang baru. Beliau akan mengajar kalian mulai tahun ajaran ini. Mari kita sambut, Pak Ari Alghazali.”
Begitu nama itu disebut, DUARRR!—tepuk tangan menggema.
Tapi bukan tepuk tangan biasa. Para siswi langsung heboh, menjerit seperti sedang menonton konser boyband Korea.