Frozen Tundra

Diahsulis
Chapter #1

1. Sepeda

Bunyi ban sepedaku yang berputar di jalan terdengar aneh.

Aku menghentikan laju sepeda tua Byonex milikku. Selama sesaat, aku memutar-mutar ban dengan pantatku masih menempel di sadel, mencoba memastikan apa benar sensasi ganjil yang kurasakan itu benar atau hanya jalanan ini yang kasar. Tapi siapa yang hendak aku tipu? Jalanan yang membentang di hadapanku mulus-mulus saja. Aspalnya sudah berusia enam bulan, tapi proyek yang diadakan secara menyeluruh ini berhasil membuktikan kuaslitas aspalannya bukan main-main karena belum ada lubang sedikit pun sepanjang SMK Bakti Nusa menuju ke rumahku.

Tidak ada lubang, tidak ada pecahan kaca atau apa pun dan ban sepedaku rasanya berjalan di atas jalanan paling jelek di Jakarta. Sialnya, ganjalan itu terbukti nyata dan bukan sekadar perasaanku.

“Ayolah!” Sembari menggerutu, aku menjatuhkan penyangga sepeda. Kemudian aku berjongkok.

Tanganku memeriksa ban dan rantai, lalu mengangkat salah satu ban sepeda laki itu untuk memutar lajunya di atas standard tunggal yang menopang seluruh tunggangan besi sederhana milikku itu.

“Apa sih yang rusak lagi dari lo?” Suaraku yang menggumam bergema di tengah jalan yang sepi dari aktivitas Manusia. Tidak ada yang salah dari benda ini. Velg dan jari-jarinya kelihatannya baik-baik saja. Ban juga tidak bocor.

Aku memutar ban dengan pelan kini, lalu di titik yang kurasa tepat, aku berhenti.

Benar saja, satu paku mencuat di sana seperti duri batang bougenville. Paku ukuran dua, tebalnya tidak lebih dari tusuk gigi dan panjangnya tidak lebih dari jarum jahit. Paku yang pas jika ingin mengerjai orang-orang di jalan.

Mendebas lelah, aku pun mencabut paku itu dan berdiri. Mataku meneliti sepanjang jalan aspal bagus itu.

Di bawah cahaya matahari siang yang panas membara, mataku mencari kilauan sejenis dari paku-paku lain yang mungkin ada di jalan itu. Tapi di saat semen coran jalan memancarkan ribuan kilau-kilau kecil yang sama, paku sebesar biji durian pun mungkin tidak akan tampak.

Aku lantas mengedarkan pandang, melihat satu kios ban buka di pinggir jalan, di dalam gang yang ada di sebelah kiri sepedaku. Hanya butuh lima langkah ke sana dan bengkel itu buka. Di gang kecil tepat di sebelah satu-satunya jalan paling dekat ke rumahku.

Yep. Tidak salah lagi.

Tanganku merogoh ke saku baju seragam. Mengeluarkan semua yang ada di sana. Segulung kecil lembaran uang disusul beberapa keeping uang koin. Gemericing uang receh berdecing keras bin norak di telapak tanganku yang empuk sementara aku menghitung dan memastikan semua uang koin itu minimal bernominal 1000 rupiah.

Apes. Dua di antara lima uang koin itu malah bernominal 100 rupiah. Entah keajaiban apa yang saku seragamku ini sudah perbuat sampai-sampai 2000 rupiah kembalian laundry tiga hari lalu berubah jadi 200 rupiah. Apa saku seragamku punya keajaiban untuk mengubah nominal koin? Mungkin.

Karena aku menyadari ada satu lembar uang lima ribuan menghilang dari gulungan uang jajan bulananku.

Sekali lagi, debasan kesal keluar dari mulutku. Tidak perlu UV sensor untuk bisa tahu penyebab fenomena ini. Gulungan uang ini juga bukannya rahasia-rahasia amat. Bisa ditemukan dengan mudah malahan terlebih karena ruang persembunyiannya hanya sebuah rumah berukuran tiga petak kontrakan standar di Indonesia. Tidak mungkin butuh waktu lebih dari tiga jam untuk mengobrak-abrik seluruh sudut rumah itu.

Apalagi jika pemilik gulungan uang jajan ini biasa tidak ada di rumah lebih dari enam jam setiap harinya.

Aku mendongak. Matahari sudah condong ke arah barat. Tidak mau membuang waktu lebih lama, aku pun berjalan menuntun sepeda Byonex satu-satunya itu. Pikiran untuk sekali lagi dengan sialnya harus menyusuri dua kilometer jalan menuju ke rumah membuatku lesu setengah mati. Panas menyengat di atas kepala jadi terasa dua kali lebih menyebalkan. Topi yang menempel di kepalaku untuk melindungi panas, nyatanya kini terasa seperti sauna mini di atas kepala. Tanganku menggaruk sedikit kepala yang gatal, merasakan setidaknya ketombe dan kulit kepala yang kering menumpuk di sana dan membuatku risih setengah mati.

Tambal atau tidak. Sekarang pilihanku terbagi lagi menjadi dua. Tambal ban dan kehilangan uang jajan selama dua hari dan terpaksa menahan lapar selama istirahat, ataukah harus menahan diri untuk tidak tambal ban dan jalan kaki sampai rumah hingga minggu depan?

Ponsel di dalam tasku mendadak berdering dengan nada notifikasi aplikasi. Satu notifikasi masuk berlogo N berwarna kuning cerah.

Aku mengedarkan pandang. Kemudian tanganku menuntun sepeda beberapa langkah menuju rumah dengan kanopi paling lebar. Ada dipan kecil di sana. Kosong. Jadi aku putuskan untuk duduk.

Di bawah atap yang lebih teduh, tulisan di layar ponsel jauh lebih terlihat. Jauh lebih tidak menyakiti mata.

“Sedikit lagi poin misimu tercapai!”

Jempolku meng-klik notifikasi itu dan satu jendela aplikasi didominasi warna kuning-hitam terbuka di layar ponselku. Animasi dua dimensi dari seorang pria mengendarai motornya memenuhi layarku. Ia berhenti di depan layar dan mengacungkan jempolnya dengan senyum girang menghias wajah. Di bawah motor yang ia kendarai, deretan angka dan status misi memanjang ke bawah dalam bentuk daftar.

Misi paling atas berisi misi yang paling dekat menuju akhir. Aku menekan tombol misi itu untuk melihat detailnya.

Lihat selengkapnya