Suara dentum mesin paku bumi masih saja terdengar bahkan hingga aku sampai ke rumah.
Entah karena tembok kontrakan yang tipis, luas pulau ini yang sempit, atau ketakutanku yang sekain tidak terkendali, suara mesin-mesin pengebor tanah itu tidak berkurang intensitasnya bahkan semakin menjadi-jadi.
Jengkel karena tidak bisa mendapat kedamaian, aku mencoba melongok dari balik kaca kontrakan. Sinar matahari sore yang kembali bersinar setelah hujan es membuat asap yang membumbung tipis di kejauhan terlihat jelas. Bunyi dentum mesin terdengar bertalu-talu, senada dengan degup jantungku. Setetes peluh turun di pipiku. Panas dari wajan di dapur dan kondisi cuaca yang aneh menambah rasa gugup yang melekat erat di tubuhku seperti pakaian yang kini lengket karena keringat di badan.
“Semua akan baik-baik saja.”
Aku menoleh, melihat wanita berambut putih dan wajah keriput berjalan tertatih-tatih keluar dari dapur dengan satu tampah mengepul beraroma sedap menghampiri. Aku meraih kotak plastik kosong di lantai dan segera membantu Nini menaruh benda itu ke lantai sebelum beliau duduk dengan susah payah di kursi, menyusulku.
Aku menghitung gorengan di atas tampah rotan. Pastel lima belas, risol lima belas. Aku mengernyit.
“Nggak ada bakwan, Ni?”
Nini tersenyum sedih. Dan kemudian aku pun sadar kesalahanku. Mulutku terkunci rapat-rapat, tapi Nini, sambil memindahkan gorengan-gorengan hangat itu ke dalam kotak plastik, menjelaskan:
“Harga tepung agak tinggi belakangan ini. Jadi Nini kurangin dulu. Tapi kerja untuk gosok baju dan nyuci jadi tambah banyak kok,” Wanita tua itu mendongak dan tersenyum hangat kepadaku. Senyum yang aku tahu, akan selalu keluar setiap kali ia bicara tulus. “Tia juga, kalau di jalan pas pengantaran ada masalah atau laut lagi nggak bagus, jangan maksain diri ya? Di kita memang nggak ada badai, tapi jembatan yang menyeberangi lautan, tetap saja bikin was-was.”
“Tia paham, Ni.” Aku mengangguk, menmbantu memasukkan gorengan itu ke kotak plastik sampai terisi penuh.
Kami berdua memasukkan kotak plastik itu ke dalam kantung plastik lagi. Bersamaan dengan itu, suara dentuman di kejauhan berhenti. Tidak ada lagi bunyi paku bumi. Aku menoleh, melihat tidak ada lagi asap tipis yang membumbung di langit. Jam di dinding kontrakan kami menunjukkan waktu tepat pukul setengah enam sore. Langit mulai memerah.
“Ada berita yang tidak menyenangkan soal proyek baru itu?”
Kini aku terdiam sejenak. Di saat seperti ini, kesunyian di ruang tamu kecil kami jadi terasa begitu nyata. Tidak ada bunyi televisi, tidak ada radio, tidak ada apa pun, selain bunyi kompor yang masih menyala di dapur dan air yang menyala di dalam kamar mandi. Bunyi-bunyian yang lain berasal dari luar dan menjadi bunyi paling keras di kala kesunyian seperti ini datang di tiga perempat waktu kami.
“Entahlah,” jawabku bingung. “Tia udah nyari di google dan semua situs lain. Semuanya nggak ada yang aneh, tapi ada dua berita yang bertentangan soal pembangunan proyek itu.”
Ingatanku merangkai semua berita yang kucari dari sepuluh ribu hasil yang ditampilkan di halaman web.
“Dari berita lokal Kepulauan Seribu, proyek itu diselenggarakan PELNI untuk membangun pelabuhan pusat di pulau Tidung. Tapi dari penduduk, Tia dengar kalau proyek itu diadakan oleh orang Jakarta yang mau bangun usaha di sini.”
Dua berita itu tidak bagus. Yang pertama tidak begitu bagus dan yang kedua tidak bagus. Perusahaan pemerintah mungkin bukan ancaman besar dibanding semua cakar-cakar perusahaan yang aku tahu, tapi pegawai-pegawai di dalam perusahaan negara tidak ubahnya semut yang tertarik pada gula jika dihadapkan pada uang. Sementara aku tidak melihat nama-nama perusahaan mencurigakan yang bertarisipasi dalam proyek ini.
Aku mengerutkan kening dalam-dalam. Mencoba mengingat-ingat sisa uang tabunganku. “Kalau benar orang Jakarta, kita harus pindah.”
“Aku nggak akan pindah ke mana-mana!”
Dua pasang mata menoleh mendadak ke arah suara ketus yang mendadak saja muncul di antara kami. Di pintu depan yang tidak tertutup, seorang gadis berseragam SMP berdiri. Sinar matahari menghalangi figurnya untuk terlihat jelas, tapi aku tidak perlu cahaya untuk bisa melihat kemarahan yang jelas tercurah darinya untukku seorang.
Gadis itu, tanpa ba bi bu, berjalan masuk dengan langkah mengentak-entak. “Pokoknya aku nggak mau pindah lagi! Aku udah muak pindah-pindah kayak buronan!”
Terdengar bunyi buk pelan dari sesuatu yang dilempar ke kasur. Kemudian langkahnya berangsur-angsur menjauh ke arah dapur.
“Gimana pelajaran hari ini, Vega? Lancar, nggak?” Nini bertanya dengan sopan yang hanya disahut balasan ‘hn’ singkat dari dapur.