Telepon sialan.
Oke, bukan maksudku untuk menghina telepon yang kuterima semalam, karena biar bagaimanapun telepon semalam adalah pintu rejeki yang akan melancarkan sisa kuota bonusku bulan ini. Di saat kebetulan sekali sebenarnya.
Tapi peringatan yang menyertainya membuatku was-was dan tidak bisa menyerap pelajaran Pengantar Akuntansi Menengah sampai jam bel istirahat berbunyi.
Sudah sepuluh menit aku berkutat dengan angka-angka pada neraca lajur. Akun dari laporan dagang semuanya berubah jadi laporan pengiriman di mataku. Angka-angka itu berubah jadi nomor resi. Dan tulisan-tulisan di buku berubah menjadi riwayat obrolanku dengan atasan di aplikasi setelah percakapan kami via telepon.
Debar jantung semalam masih tersisa di dadaku.
“Kita ada customer baru yang mau pengiriman trial. Tujuannya nggak jauh. Seputar Kepulauan Seribu.” Atasanku berkata seolah kepualauan seribu dan jembatan-jembatan raksasa anti gelombang yang menghubungkan dua puluh tiga lebih pulau-pulau kecil itu tidak lebih dari sejengkal jaraknya dan bisa ditempuh lewat sepeda dalam hitungan detik. “Kamu saya serahin tanggung jawab untuk pengantaran di seputar Pulau Tidung. Yah, Tidung Barat sama Utara juga. Untuk service yang Same Day. Bisa?”
Jika aku menjawab dengan akal sehat, tentu saja tawaran itu lebih banyak tidak masuk akalnya daripada enaknya. Aku bukan kurir regular yang punya motor. Aku termasuk divisi kurir Sepeda yang hanya melawani pengiriman paling jauh lima kilometer.
Apa sebenarnya yang dilakukan para kurir reguler sampai atasan menyerahkan pengiriman trial semacam ini kepadaku? Apa kami tidak menambah armada lain?
Tentu saja, jawaban untuk pertanyaan itu sudah jelas. Karena setelah membebaniku seenaknya dengan pengiriman percobaan yang sangat riskan, atasanku itu perlu menambahkan dengan nada yang tidak kalah santainya:
“Tapi hati-hati ya untuk pengiriman ini. Mereka kirim mesin dan perangkat keras komputer mikro.” Saat itu aku ingat sudah menyumpahi diriku sendiri untuk mati saja. “Saya sudah sampaikan sih ke mereka untuk bungkus rapih dan kedap air setiap kiriman mereka. Nggak usah mikirin yang aneh-aneh. Cukup antar aja. Saya percaya kamu bisa.”
Aku benci dia. Aku benci semua atasan di dunia ini dan betapa lihainya mereka mgngunakan kata-kata persuasif untuk menjebak bawahannya ke dalam beban moral yang tidak bisa ditanggung!
“Muka lo kenapa mumet banget gitu sih? Abis ngutang ke Bang Rudi?”
Dan ada-ada saja yang menyenggolku di sekolah. “Gue nggak punya duit segitu bejibunnya buat ngutang ama lintah darat.”
Terdengar dengkusan tawa di sebelahku dan wajah Eva pun muncul tak berapa lama. Ia tersenyum miring. Dan aku jadi tergoda untuk meninju semua giginya sampai rontok. “Seenggaknya lo masih waras lah.”
Segelas es teh diletakkan di depanku.
“Nggak bu—
“Itung-itung bokap gue dapat bonus semalem. Berhasil jual motor tetangga, jadi kita sekeluarga dikasih bonus dua puluh ribu tambahan hari ini.”
“Gue nggak nanya kondisi keuangan keluarga lo, Va.”
Eva merogoh tas selempang merahnya. “Dan gue nggak peduli. Mulut gue ini, nggak suka, copot aja kuping lo.”
“Kuping gue bukan cantelan panci.” Kuraih es teh itu dan menyedotnya separuh. Rasanya agak tidak nyaman di lidahku. Terlalu pahit. “Bukan Si Bibi ya?”
“Nggak. Yang di kantin atas. Si Bibi rame banget tadi.”
Aku menutup buku paket dan tulis. Menyingkirkannya sejenak dari pandangan untuk menyegarkan pikiran. Segelas es teh dan bersandar di kursi mungkin bisa menyegarkan sedikit pikiran. Tanpa ponsel pintar sialan di tas itu tentu saja. Tapi sementar akau melamun seperti pengangguran kurang kerjaan, Eva sudah berkutat dengan ponsel pintarnya. Sama seperti delapan puluh persen populasi kelas kami kapan pun ada waktu kosong.
“Cemen lo. Sikut sedikit aja nggak berani.”
“Sori ye,” Eva tidak menoleh ketika menyahut. “Gue mukanya doang yang barbar. Jiwa gue mah masih manusiawi. Kagak kayak temen sebangku gue yang brutal satu ini.”
Untuk hinaan satu itu, aku melirik sinis ke arah gadis yang duduk di sebelahku dan dalam hati mengakui Eva tidak salah. Bahkan dalam pandanganku sendiri, wajahnya memang tampak sangar dalam sekilas pandang. Darah Batak dari ayahnya kental mewarnai setiap jengkal wajah sawo matangnya. Guratan di wajahnya tegas, tulang pipinya tajam, alisnya rendah dan menukik di luar lingkar mata, membuat sedikit gerakan dan dia akan tampak seperti sedang marah. Padahal kerutan di dahinya sebagian besar diakibatkan minus matanya yang bertambah—yang sering dikira orang sebagai ekspresinya ketika menahan kesal pada guru yang mengajar. Belum lagi suara Eva cempreng dan seringkali dinilai keras, bahkan oleh para keturunan betawi asli di kelas ini.