FULAN

prana sulaksana
Chapter #3

Ruangan Ibnu Hibban 2

Aku masuk tanpa seleksi, karena melihat ijazah pengajianku, bukti bahwa aku minimal bisa baca Qur’an. Karena kalau mereka yang tidak punya ijazah tersebut dites dulu, dan apabila tidak bisa baca Qur’an ia harus ikut kelas khusus dulu 1 tahun. Ya itu syarat minimal masuk Pesantren.

Kemudian hari pertama aku menginjakkan kaki di Pesantren itu, aku diantar Nenek, Paman dan Bibiku dengan Mobil mereka. Hari pertama adalah hari terberat, ya aku harus akui itu, bayangkan seorang anak lulusan SD harus hidup mandiri di Pesantren dengan anak-anak lainnya, tidak ada orang-tua, tidak ada paman-bibi dan tidak ada nenekku. Aku baru membayangkannya justru ketika aku sudah resmi diterima di Pesantren. Tapi rasanya gengsi bagiku kalau di hari pertama, aku harus mengundurkan diri karena membayangkan akan sulitnya hidup mandiri tanpa nenek yang selama ini mengurus segala kebutuhanku.

Nenekku mengantarku mencari ruanganku, kemudian aku berkeliling di Asrama Putra, ternyata di sana ada 4 Gedung. Gedung itu dinamai 4 khulafaurrasyidin, atau 4 khalifah besar Islam, berdasarkan urutan pembangunan gedung tersebut.

Pertama ada Gedung Abu Bakar, gedung 2 lantai, gedung paling lapuk, catnya sudah banyak yang mengelupas, biasanya diisi oleh santri Aliyah tingkat akhir. Oh iya jadi di Pesantren ini ada MTs dan Aliyah, begitupun Asramanya disatukan, biasanya mereka yang Aliyah jadi Ketua Ruangan bagi mereka yang MTs. Untuk tingkat Aliyah, istilah di sini adalah ‘Mu’allimien.

Gedung kedua adalah Gedung Umar berhadapan dengan gedung Abu Bakar, gedung 3 lantai, tidak lebih bagus dari gedung Abu Bakar, hanya lebih tinggi 1 lantai, dan ruangannya yang lebih banyak, tapi justru lebih kecil.

Gedung ketiga adalah gedung Utsman, di samping gedung Abu Bakar, gedung lantai 3, sedikit lebih baik dan lebih luas, dindingnya dilapisi keramik, jadi tidak terlihat tua.

 Kemudian yang terakhir adalah gedung Ali, depan gedung Utsman, inilah tempat kamarku berada ternyata, gedung khusus santri baru, berisi 3 lantai, lantai pertama dapur dan ruang makan seluruh santri, lantai kedua dan ketiga itulah tempat berisi kamar-kamar yang jumlahnya ada 8 kamar. Tapi yang aku tahu sekarang Pesantren ini sudah berbeda jauh, baik letak maupun bangunannya yang semakin maju dan banyak. Namun aku menjelaskan konteks waktu tahun 2006, dimana aku Mesantren dulu.

“Nek kadieu nek kadie ..ieu kapendak nami Sena didieu (nek ke sini… nama Sena ketemu)” Teriakku sambil kegirangan dan menarik-narik tangan nenek.

Akhirnya aku menemukan namaku di kertas yang ditempel di depan ruangan, nama ruangannya Ibnu Hibban 2, ada 10 orang ditambah 1 Ketua Ruangan/kamar. Nama Ketua Ruangannya Purwa, santri kelas 2 Aliyah yang menjadi Bidgar Keamanan di Pesantren tersebut. Jadi di sana nama-nama ruangannya unik, dinamai nama ahli hadits dan adapun jika di asrama perempuan setauku dinamai dengan Nama Istri Nabi atau Puteri Nabi Muhammad Saw. Seperti khadiejah, aisyah, fatimah dst.

Setelah aku menemukan ruanganku, aku pun masuk bersama Nenek, Paman dan Bibi. Ketika masuk kulihat ada beberapa santri di sana bersama orangtuanya, ada beberapa tas, dan yang lain ada yang membawa koper yang besar.

Nenek ku sebagaimana ramahnya orang Sunda, menyapa

“Assalaamu’alaikum …”

“wa’alaikum salam …” jawab mereka

“sami ruanganna didieu ieu teh (sama ruangannya di sini) ? nitip ya cucu nenek, harus saling menjaga pokokna mah, harus akrab, harus saling membantu”

“iya tuh denger kata nenek yah, jangan bertengkar…anggap saja keluarga sendiri” timpal orangtua santri yang lain.

kurang lebih itu yang kuingat percakapan nenek dengan orangtua santri dan santri yang ada di ruanganku. Mereka mengobrol obrolan yang samar-samar, tidak terlalu terdengar, adapun aku berkeliling kamar dan kulihat ranjang kasur 2 tingkat terbuat dari kayu. Langsung membuatku tertarik untuk mencoba menaikinya, ah rasanya aku ingin memilih kasur dia atas gumamku.

“nek Sena mah mau disini” kubilang. Nenekku tersenyum sambil melanjutkan obrolan dengan paman dan orang tua santri yang lain.

Tak lama kemudian kak Purwa pun datang ke ruangan, dan menyapa orangtua santri yang ada di sana, kulihat dia dari kejauhan, seorang yang perawakan tidak tinggi, putih namun cukup ramah. Aku kemudian turun dan salim pada kak Purwa dan memperkenalkan diri.

“Avisena” kataku memperkenalkan diri, “oh iya …kakak namanya Purwa” katanya. Tak banyak yang bisa kukatakan, aku malu, oh iya aku lupa bercerita, aku waktu itu sangat pemalu.

Lihat selengkapnya