FULAN

Avisena Sirr Zafran
Chapter #6

Pertama kali melihatnya

Setelah beberapa bulan aku belajar dan mesantren di Pesantren ini, rasanya menjalankan rutinitas sehari-hari mulai terasa jenuh. Meskipun di satu sisi, aku sudah bisa beradaptasi dengan bangun jam 4 dan mengikuti setiap kegiatan sampai malam.

               Sampai suatu hari ada sebuah acara rutin RG – UG (santriwan dan santriwati). Oh iya di sini aku akan sering memakai istilah RG (untuk santri laki-laki) dan UG (untuk santri perempuan). Karena itu memang sangat melekat dan sudah menjadi budaya di pesantren ini, jadi aku harap kamu yang membacanya bisa menyesuaikan ya, terima kasih. Acara tersebut adalah acara semacam ‘Ceramah’. Jadi setiap angkatan dipertemukan di sebuah tempat, bisa di kelas atau di mesjid. Kemudian ada perwakilan dari RG dan UG yang sudah terjadwal untuk belajar berdakwah di depan semuanya.

               Perlu kamu tau, itu adalah salah-satu momen paling menegangkan di dalam hidupku. Budaya pesantren kami adalah budaya yang memisahkan kehidupan RG dan UG. Ketika belajar, kelas kami hanya diisi RG saja, begitu pun di kelas lain khusus untuk UG saja. Dengan seperti itu, otomatis kami menjadi tidak terbiasa untuk ngobrol dan berkenalan dengan UG seperti di sekolah lain pada umumnya. Sehingga ‘mental’ kami untuk bertemu apalagi berdakwah di depan perempuan se-angkatan sangatlah rapuh. Seingatku bahkan kami sering berdesak-desakkan agar tidak duduk di tempat yang dekat dengan UG, atau di tempat yang kelihatan oleh UG, saking kami malunya.

               “Assalaamu’alaikum” seorang Ustadz menjadi pembimbing di acara itu membuka jalannya acara. Setiap angkatan ada seorang ustadz yang membimbingnya. Adapun untuk tempatnya kami bertempat di Mesjid, karena kami angkatan terbaru.

               “Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh …!!!” serempak kami menjawab, dengan sangat antusias …meski dengan suara kami yang masih cempreng. Hari itu mesjid begitu menggema dan ceria. 

               “santriwan dan santriwati yang bapak banggakan … hari ini kita akan mengadakan acara yang sudah menjadi agenda rutinan di pesantren ini, kita sebagai calon penerus dakwah…. Bla ..bla bla... Dan seterusnya” mata dan fikiranku sudah tidak fokus kepada pak ustadz yang ada di depan.

               RG duduk di barisan belakang, dan UG duduk di barisan depan Mesjid. Di hari yang lain, biasanya RG di depan dan UG di belakang. Di hari yang lain di barisan kanan dan kiri.

               Aku yang duduk di belakang, baru pertama kalinya rasanya sejak aku sekolah di pesantren ini dikumpulkan di sebuah ruangan dengan UG. Rasa-rasanya jantungku mau melompat dari dada, dag-dig-dug tidak karuan. Aku lihat ke teman sebelahku si Uki, dia berkeringat dingin, sayup-sayup RG di belakangku cekikian tertawa malu-malu. Yah kita adalah jenis manusia yang sudah dipisah dan terisolasi dari perempuan, sehingga untuk melihat mereka sebanyak itu pun kami ketakutan, salting dan grogi. Atau mungkin hanya aku yang merasa seperti itu, karena ada beberapa orang yang toh begitu berani mengobrol dan berbicara pada UG. Yang pasti, di tahun pertamaku, aku tak bisa mengobrol dengan UG, lututku pasti bergetar dan mulutku kaku.

               Ketika taarruf memang kami bertemu dengan UG, tapi itu dicampur dengan tingkat muallimien (setingkat Aliyah/SMA), jadi begitu banyak orang. Dan kami pun saat taarruf tidak diperintah untuk berbicara dan ceramah di depan banyak orang.

               “hari ini yang kebagian bagian ceramah adalah …Angga kelas 1B, Mukhlis kelas 1C dan Rahmat kelas 1D” panggil Ustadz…

               “supaya menyiapkan materi ceramahnya, karena sudah diberitahu dari minggu lalu ya”

               “duh euy …poho aing euy …(duh …aku lupa) …” Si rachmat (teman sekamar) terlihat panik, resah gelisah …seperti yang kebelet ingin buang air..

               “rek kamana maneh (mau kemana kamu)?” tanya si Pandi.

               “tong beja-beja …ssttttt ! “ kata Rahmat sambil berjalan pelan-pelan menuju pintu keluar yang tembus tempat wudhu dan toilet.

               “tah si rahmat kabur tah stadz….tah stadz si rahmat kabur” kata si Pandi jail.

               Tiba-tiba si Rahmat kemudian memelototi si Pandi, tatapan matanya seolah berkata “awas sia pandi ku aing…. Tingalikeun we”. Hahaha… Kami pun yang melihat ekspresi si Rahmat tertawa terbahak-bahak. Bukan tanpa alasan si Pandi melakukan itu, karena kalau ada satu penceramah dari santri tidak hadir, maka ustadz akan menunjuk santri yang ada di sana yang hadir untuk menggantikannya.

Lihat selengkapnya