FULAN

Avisena Sirr Zafran
Chapter #10

Sang Pengantar Surat

Jam pelajaran yang paling disenangi oleh semua santri, dan sepertinya kita pasti sepakat dalam hal ini... adalah jam kosong ketika tidak ada guru. Saat guru berhalangan hadir, atau ada rapat guru... ah kita seperti sedang berpesta.

               Hari itu... aku lupa lagi entah hari rabu atau kamis. Saat tidak ada guru, ruang kelas 1D terasa sangat bising dari biasanya. Aku yang terbiasa dibully, sudah menyelesaikan agenda rutinanku dibully oleh si Fajar. Dia dan gengnya sedang membully santri yang lain, tidak lama kemudian pergi keluar kelas untuk bertemu anggota gang nya yang lain di kelas sebelah. Beberapa santri yang baik aku lihat tidak keluar bangku, dengan ciri khas bajunya dimasukkan ke celana dan memakai peci. Beberapa santri sibuk menendang-nendang penghapus dari kayu seolah seperti sedang bermain bola, waktu itu papan tulis kami masih papan tulis hitam yang harus ditulis dengan kapur. Dan aku, seperti biasa sibuk menulis dan mencorat-coret buku binderku, mengisi dengan hati-hati koleksi kertas harvest yang memiliki kualitas lebih bagus (kalau kau tahu kertas itu lebih tebal dari kertas biasa).

               Sedikit ya bercerita tentang kertas harvest ini, kertas ini adalah kertas yang bisa menjadi tolak ukur kekayaan pada zamannya. Biasanya orang yang punya banyak koleksi kertas harvest adalah orang yang kaya. Kenapa? Karena kertas harvest ini bagi kami yang masih kecil dan hanya mengandalkan uang jajan dari orangtua, kertas ini lebih mahal dibanding kertas-kertas binder lainnya. Kalau kertas polos atau kertas lain yang lebih tipis hanya seharga 150-200 rupiah, tapi si harvest ini karena punya kualitas kertas dan gambar yang bagus, ia bisa berharga 500-1.000 rupiah. Bahkan punya kertas ini bisa menjadi bergengsi untuk anak-anak pada masanya, siapa yang punya banyak kertas harvest apalagi yang edisi khusus, dia lebih disegani di lingkaran pertemanan.

               Salah-satu budaya kita yang punya binder dan kertas harvest adalah saling menukar kertas. Tapi apabila kertas harvest harus ditukar lagi dengan kertas harvest. Dan lucunya adalah kertas harvest yang kita punya itu kita sangat menjaganya, dan tidak boleh kena kotor, tidak boleh asal dicorat-coret, tidak boleh terlipat, harus bersih. Padahal kan kalau difikir-fikir sekarang, gunanya kertas untuk ditulis ya, tapi ya itulah kenangan pada masanya, kertas harvest sangat berharga pokoknya.

               Selain tukar menukar kertas, pada zaman itu senang sekali saling-menukar biodata. Dari mulai nama, hobby, kesan-pesan. Dan yang paling geli adalah mengisi MAKES dan MIKES. MAKanan KESukaan dan MInuman KESukaan, hahaha kalau diingat lagi, buat apa informasi itu wkwkwk. Kalau kau tahu, dan bahkan pernah melakukannya, aku yakin kau sedang tersenyum-senyum sendiri mengingatnya. Betul kan?

               Kembali lagi ke cerita ...

Kulihat di dekat jendela beberapa orang santri sedang melihat keluar sambil senyum-senyum dan begitu bersemangat. Dan ternyata mereka sedang membahas UG-UG yang sedang melewat melintasi kelas kita.

               “liat-liat tuh si Ica ...euh geulis pisan ...” kata salah-seorang sambil menunjuk ke arah kaca jendela.

               “enya kabogoh aing eta mah (pacar aku itu mah)” timpal seseorang di sampingnya mengaku-ngaku.

               “moal daekkeun si Ica ka maneh mah, (gak akan mau si Ica ke kamu mah) tong ngaku ngaku (jangan mengaku-ngaku)” kata yang lain sambil tertawa

               “nu mana numana (yang mana) ?” kemudian beberapa orang bergabung dan berdesakkan.

               Aku hanya memperhatikan dari jauh, dari kursiku.

               “ah heeh bener, geulis pisan...” jawab yang lain.

               “tah urang mh resep nu tukangeun na, si Iki eta teh... (aku suka yang dibelakangnya)” kata santri yang lain tidak kalah antusias.

               “ah bener ..geulis si Iki ge” santri yang lain membenarkan.

               Aku yang mendengar percakapan itu pun penasaran dan mulai mendekat. Aku coba lihat ke luar dan melihat UG yang sedang dilihat oleh teman-temanku. Kemudian aku tidak sengaja sedikit berkata dengan cukup keras..

               “itu dia !!!” santri-santri yang dekat jendela kemudian menengok serempak ke arahku.

               “kunaon maneh sen (kenapa kamu sen)?” tanya salah-seorang dari mereka.

               “ah tidak... baru ingat sesuatu he he” jawabku spontan. Aku sedikit terenyum dan malu.

               Ah si perempuan berkerudung biru muda !! ternyata dia yang sedang dibicarakan oleh santri-santri itu. Waktu itu dia sedang memakai seragam, memakai kerudung hoas berwarna kuning tua, seragam berwarna gading dan rok panjang berwana coklat. Bahkan dari kejauhan pun aku bisa membedakan dia di antara yang lain.

               Oh iki namanya, tapi itu sepertinya nama panggilan. Nama aslinya siapa ya...

               Gumamku dalam hati, yang begitu penasaran...

               Kemudian seorang santri yang berada di belakangku maju ke depan, mendekati jendela dan kerumunan anak-anak ...

               “oh itu mah si Hilki ...masih saudara jauh saya...orang bandung..” jawabnya dengan jelas.

               Kemudian beberapa santri mendekatinya dan menanyakan beberapa hal kepadanya. Dia Azmi, saudaranya si Perempuan berekerudung biru, yang ternyata bernama Hilki Az-Zahra Hafidzah. Meskipun saudara jauh, setidaknya dia lebih tau dibandingkan santri-santri yang lain.

               Ah ...mataku tiba-tiba berbinar-binar ..seolah-olah menemukan secercah kebahagiaan di tengah tandusnya pembullyan di dalam kelas ini.

               Hanya tau namanya saja sudah bisa membuatku sangat bahagia, nama yang bagus fikirku.. sebagus orangnya. Fikiranku saat itu, ya mungkin ini hanya perasaan suka seorang anak kecil, yang mungkin hanya suka dengan penampilan fisik. Ya karena aku waktu itu belum begitu mengenalnya, belum tau karakter dan kepribadiannya.

               Kemudian Si Azmi didekati lagi oleh beberapa orang santri dan mendadak jadi artis yang sedang konferensi pers.. ditanyai oleh teman-temanku di kelas 1D.

               Sebetulnya masih banyak yang cantik di angkatan kami, ada Ica, ada Lilis ada Dina dan masih banyak lagi. Obrolan di kelas pun mengenai santri UG bermacam-macam ..ada yang membahas UG ini dan itu, ada yang membahas lagu, film dan lain-lain.

               Namun aku memilih meja yang dekat Azmi, agar aku bisa mengulik dan menguping pembicaraan tentang Iki.

               “dia mah da udah banyak yang ngeceng ... dari kelas lain juga udah banyak yang suka, nih..kemarin aja ada kakak kelas yang suka ke dia ...nitip salam ke temennya Iki” kata Azmi bercerita dan dikelilingi oleh beberapa santri. Dan aku pura pura sedang menulis, padahal yang paling khusyuk mendengarkan.

               Tidak heran fikirku, pasti banyak yang menyukainya. Sepanjang sejarah hidupku sampai MTs, aku tidak pernah pacaran dengan siapapun. Pada masaku sekolah, pacaran adalah hal yang tabu. Dan kalaupun ada yang pacaran, bukan seperti sekarang ini, bertemu berduaan dan lain-lain.

               Aku pun tidak pernah membayangkan sedikitpun untuk berpacaran dengan siapapun, karena ... untuk berbicara dengan perempuan saja, aku tak kuat... mungkin aku bisa pingsan. Apalagi mengobrol dengan orang yang aku sukai ... aku takut terkena serangan jantung di usiaku yang masih sangat muda. Selain itu aku sadar diri, tak ada yang bisa aku banggakan dari diriku sendiri, tak mungkin aku berpacaran dengan siapapun fikirku. Apalagi dengan Iki yang diperebutkan dan disukai oleh banyak orang, tak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku.

               Aku orang yang sangat minder... bahkan ketika berkaca, kadang aku kesal pada diriku sendiri. Tak ada hal yang istimewa yang membuatku percaya diri ...secara fisik, aku pendek, kulitku pun tidak putih.. meskipun tidak hitam pula, rambutku cenderung ikal dan keriting, aku bukan yang paling pintar, bukan yang paling sholeh. Semua hal itu mengisi semua sugesti dalam diriku. Bahwa takkan ada satu pun perempuan, apalagi yang seperti Iki yang menyukaiku, kemungkinannya sangat kecil. Mungkin 0,000000001%. Sehingga ...bagiku Iki hanyalah sebuah khayalan, fatamorgana ...seperti anak kecil mengidolakan seorang artis yang cantik. Seperti halnya aku senang dengan Nikita Willy waktu kecil yang masih sangat imut, membintangi sinetron Bulan dan Bintang. Atau marshanda saat membintangi sinetron Bidadari.

               Saat pulang ke asrama, fikiranku masih belum beranjak dari namanya yang baru saja aku tahu tadi pagi. Namanya masih terus terngiang-ngiang di telingaku. Cerita si Azmi tentang bagaimana begitu banyak orang yang menyukainya, semakin membuatku menyukainya dan penasaran atas segala informasi tentangnya.

               Hari itu, di asrama, di toilet, di lapang, di tangga, dimana-mana aku selalu tersenyum-senyum sendiri. Tidak aku tidak gila, tapi mungkin aku sedikit tergila-gila, maklum lah usia itu, masa-nya merasakan hal seperti itu. Bahkan ketika aku di tempat makan aku tersenyum sendiri... sambil memakan bacem tempe yang biasanya aku buang dan tidak makan, hari itu bacem tempe terasa lebih enak dibandingkan biasanya, rasanya memakan bacem tempe+cabe busuk ini tidak begitu buruk apabila dimakan sambil membayangkan wajahnya yang cantik.

               Saat aku sedang memakan bacem tempe dan membayangkan Iki, di depanku ada A Ucup dari kelas 3 Muallimien berbisik-bisik ke si Bibi Muda..

               “Bi ...seperti biasa ya ..ka si Ziah keun” sambil memasukkan amplop ke barang bawaan si Bibi. Aku tebak sepertinya berisi surat, karena amplopnya bagus dan berwarna.

               A Ucup sambil tersenyum dan mengedipkan sebelah mata ke si Bibi, pertanda bahwa si Bibi harusnya mengerti apa maksudnya.

Lihat selengkapnya