Hari ini hari kamis, tak terasa sudah bulan November lagi. Aku masuk di bulan Juli 2006. Berarti aku sudah 5 bulan di Pesantren ini, aku sudah bisa adaptasi dengan kehidupan di sini. Ketergantunganku kepada nenek rasa-rasanya sudah cukup berkurang. Aku bisa mencuci sendiri, membereskan tempat tidur sendiri dan yang paling aku malas adalah nyetrika baju sendiri pun aku bisa, meskipun kadang-kadang dalam 1 minggu aku tidak nyetrika baju sama sekali.
Banyak alasan yang membuatku betah dan juga tidak betah di pesantren ini. Tapi harus aku akui lebih banyak yang membuatku betah. Sepakbola, karate, solidaritas dan Iki. Adalah beberapa alasan kenapa aku betah di pesantren ini.
Tentang Iki, setelah lebih dari seminggu lalu aku mengirimkan surat kepadanya aku tidak mendapatkan kabar apakah surat itu sudah diterimanya, sudah dia baca atau tidak.
Saat aku sedang makan dengan sayur kacang ditambah timun yang diiris, rasanya luar biasa. Aku duduk di tempat makan sambil memandang Gunung Cikuray yang menjulang tinggi nan indah.
“heh… tong ngalamun !! (heh jangan melamun)” si Bibi Muda menggebrak mejaku, mengagetkanku yang sedang menikmati makan dan menikmati indahnya Gunung CIkuray, Gunung tertinggi di Garut.
“eh bi…hehehe”
“ini surat balesan” kata si Bibi sambil berbisik dan menyodorkan sebuah surat kecil yang dilipat.
“maaf …bibi lupa, udah dari kemarin-kemarin ada di bibi ini surat”
“ah gapapa bi…makasihhhh” saya langsung cuci piring dan tak bisa menahan kegirangan. Meskipun aku tidak tahu apa isi yang ada dalam surat tersebut, tapi itu sudah cukup membuatku sangatttt bahagia.
Aku menunggu-nunggu momen yang tepat ketika kamar sedang sepi, atau bahkan ketika semua teman sekamarku sudah tidur. Karena aku sangat malu kalau ketahuan membaca surat ini, atau bahkan terbaca oleh santri yang lain.
Waktu menunjukkan pukul 23.06, teman sekamarku sudah tidur semua. Aku tidak risau belum tidur jam segini karena besok hari jumat. Aku ambil surat yang dilipat tadi…
Aku yang kegirangan, senyum-senyum sendiri dan mengendus-ngendus surat tersebut. Yang ternyata masih wangi... ya aku akui, waktu itu aku sedikit norak ya... tapi itu ekspresi dari sebuah kebahagiaan. Dengan hati-hati aku buka, agar tidak merobek kertasnya ...
FULAN
Teruntuk Fulan...
Bagaimana kita bisa berteman,
Kalau namamupun aku tak tahu..
Dan maafkan aku,
Aku tak bisa menulis sepertimu
Aku tak pandai merangkai-rangkai kata
Atau membuat puisi
Garut, 24 Oktober 2006
Ah ...aku meleleh membacanya, kukira dia akan memarahiku atau merasa illfeel. Tapi justru dia meminta maaf karena tidak bisa menulis sebaik aku, meskipun aku merasa waktu itu tulisanku tidak begitu bagus, biasa saja. Aku hanya bermodalkan nekad. Dan bagaimana pun Iki memintaku, aku tidak akan pernah membongkar identitasku. Karena satu keyakinanku pada waktu itu, bahwa dia tidak akan tertarik sama sekali pada penampilan fisikku. Aku sangat takut mengecewakannya, mungkin dalam fikirannya, yang mengirim surat padanya seorang pria ganteng, tinggi, berambut rapi dan juga cerdas. Tapi nyatanya ....ya sudahlah.
Aku ingin menahan selama mungkin untuk menyembunyikan identitasku ini, itulah yang membuatku bahagia. Karena fikirku waktu itu adalah surat menyurat ini akan berhenti apabila Iki tau identitasku, dan aku yakin Iki tak akan mau berteman denganku kalau tau aku yang mana. Meski aku tak tau apakah Iki memandang seseorang dari fisiknya atau tidak. Sudahlah, aku merasa sudah sangat bahagia dibalas suratnya oleh Iki, bahkan hanya menjadi teman imajiner nya saja aku sudah merasa cukup dan bersyukur telah diizinkan oleh Tuhan pernah mengenalnya.
Ah besok adalah hari Jumat, dan waktu telah menunjukkan pukul 23.56, aku harus cepat tidur karena aku besok sibuk, aku mau bermain dan sudah ada agenda pergi ke pengkolan.
---------------
“Hayu cepet.. udah siap belum?” tanya Kak Purwa kepadaku.
“siap-siap kak, ini tinggal ganti celana”
“euh ..cepet takut keburu jumatan nanti mah”
Hari itu hari jum’at, Kak Purwa mengajakku dan memperkenalkanku sebuah tempat yang terkenal bagi orang-orang Garut. Namanya Pengkolan, hah pengkolan? Apa sih masa Cuma main ke pengkolan/tikungan fikirku. Karena dalam benakku pengkolan itu hanya tikungan biasa mungkin.
Oh iya khusus di hari jumat santri boleh memakai celana jeans, seminggu sekali kita pakai jeans. Kalau memakai jeans di luar hari itu maka siap-siap di razia oleh keamanan. Dan selain celana jeans, yang tidak boleh adalah memakai celana yang bolong-bolong dan celana pensil yang kebawah semakin ngetat. Seperti gaya anggota band cangcuters ketika pertama kali muncul.
Waktu itu pasangan celana jeans adalah baju-baju distro yang sedang ngetrend. Pasti siapapun merasa paling ganteng + paling kaya kalau memakai baju-baju distro pada saat itu. Yang paling terkenal pada waktu itu adalah proshop, skaters, UNKL347, 3second, black ID, demochist dan masih banyak lagi. Rasa-rasanya memakai merk-merk tersebut kita disegani dalam pergaulan santri. Dan kalau tidak punya, pastilah dianggap kuno, tidak gaul, ketinggalan zaman. Dan aku tak punya baju dengan merk-merk di atas, aku bukan anak orang kaya. Karena merk baju di atas memiliki harga 50 rb ke atas, yang untuk konteks tahun itu sangatlah mahal. Apalagi merk UNKL347 atau kita sering membacanya ‘EAT’ dengan logat sunda, itu harganya bisa 80rb sampai 100rb untuk satunya. Seingatku aku pernah membeli KW nya saja, dengan nama merk yang diplesetkan. Setidaknya aku berusaha untuk gaul dan tidak ketinggalan zaman, agar tidak menjadi bahan ejekkan.
Setelah aku siap dengan celana jeans dan kaos, aku lihat kak purwa memakai celana hitam katun dan baju yang seperti baju koko. Di adalah tipe orang yang tidak terbiasa memakai jeans dan kaos-kaos aneh. Bahkan parfumnya saja seperti parfum ustadz-ustadz yang sudah tua, dia memakai parfum namanya ‘malaikat shubuh’ parfum refill yang sangat khas dipakai oleh ustadz-ustadz atau kakek-kakek.
Sebelum kita keluar pesantren untuk pergi ke Pengkolan, kita harus membuat surat keluar dulu kepada satpam pesantren. Ya satpam pesantren ini sangatlah galak, berperawakan tinggi dan besar. Ia berkulit putih, dan raut wajahnya selalu menampakkan wajah marah yang selalu cemberut. Aku tidak ingat bagaimana wajah senyumnya, karena saking seringnya melihat wajahnya yang cemberut. Berteriak, memaki-maki sudah menjadi pemandangan biasa di depan gerbang besar pesantren ini. Karena rumah satpam ini pun di samping dari gerbang besar. Jadi tak ada santri yang berani untuk kabur atau macam-macm. Dia bahkan tidak akan segan-segan menampar santri yang nakal atau melanggar aturan. Pernah bahkan suatu hari temanku ditampar sampai bibirnya sedikit sobek dan berdarah. Sehingga satpam ini dijuluki oleh santri sebagai ‘Bulldog’, tapi ya itu hanya julukan kami di antara para santri. Di depan beliau mah tak ada yang berani memanggil dengan panggilan itu, mati mungkin kita kalau berani memanggil itu.
Setelah selesai ditandatangani oleh pak satpam, kami pun diberi waktu sampai jam 16.00 harus sudah ada lagi di pesantren. Memang saat itu peraturan keluar masuk pesantren sangatlah ketat. Kartu yang sudah ditandatangani satpam itu tidak boleh sampai hilang, juga tidak boleh melewati batas waktu yang telah ditentukan, kalau melewati ya nanti izin kita keluar pesantren akan menjadi sulit.