FULAN

prana sulaksana
Chapter #15

Mudik

Istilah untuk pulang ke rumah bagi santri adalah mudik, tidak hanya ketika lebaran saja. Tapi ketika pulang rutin libur semester pun istilah mudik lah yang dipakai di pesantren ini.

               Pemandangan pesantren menjelang mudik adalah hilir-mudik santri yang terlihat sibuk di asrama. Beberapa orang yang sibuk mencuci semua bajunya yang entah berapa lama tidak dicuci, kamar-kamar yang mendadak dibereskan karena mungkin akan ditinggal lama oleh para penghuninya.

               Sebagian berbondong-bondong keluar pesantren untuk menghubungi keluarganya masing-masing untuk dijemput dan lain-lain. Aku pun harus segera menghubungi nenek, karena ada perubahan tanggal titimangsa raport, menjadi lebih cepat dari rencana awal. Karena telephone yang ada di pesantren ini hanya menerima telephone yang masuk dan tidak bisa menelepon keluar.

               “kak ...kalau disini wartel dimana ya?” tanyaku kepada Kak Purwa yang sedang membaca buku.

               “ada di deket kantor desa”

               “jauh tidak kak?”

               “ya sekitar 400 meteran lah...”

               “oh gitu ..makasih kak”

               Karena tidak ada yang mau mengantar ke wartel, aku pun berjalan sendiri ke wartel. Ya memang aku selalu sendiri sih pada ujungnya, aku tidak terbiasa mengandalkan orang lain, meski orang lain ketika ada butuhnya seringkali meminta bantuanku.

               Aku keluar pesantren bergegas sambil membawa uang 5.000 rupiah yang waktu itu sudah lumayan besar. Dengan uang segitu, kita bisa membeli 1 bungkus nasi goreng biasa, harga permen masih di harga 25 rupiah dan 50 rupiah. Harga Indomie masih di harga 700-800 rupiah. Kalau minyak gorang aku lupa ya, pastinya murah. Tapi aku lebih sering disuruh nenek membeli minyak tanah dibanding dengan minyak goreng, kalian yang mengalami pasti ingat si pedagang minyak tanah dengan drum yang besar...apabila ada yang membeli ia mengambilnya dengan sebuah pot berbentuk seperti gayung dengan gagang panjang yang bisa dikaitkan di drumnya, ah kemana perginya benda-benda itu ya.

               Kembali lagi ke cerita aku yang berjalan sendirian ke luar pesantren, di luar pesantren terhampar luas kebun dan sawah. Ada kebun tomat, ada timun ada jeruk nipis sejauh mata memandang ...ujungnya adalah gunung guntur yang didampingi oleh gunung putri. Aku berjalan sambil melihat sekeliling yang begitu indah... di jalan aku berpapasan dengan beberapa RG dan UG. Tapi ya bisa ditebak ..setiap kali berpapasan dengan sesama santri, aku pasti langsung menundukan wajahku ke bawah, aku sangat malu... apalagi santri UG.

               Aku pun tiba di wartelnya, terletak di dekat kantor desa... memiliki 3 bilik dan juga ada layar kecil untuk cargo atau biaya nya.. jadi beberapa menit itu berapa bayarnya, kurang lebih seperti itu. Seingatku ada 3 bilik dan terdapat pintu di masing-masing bilik berwarna biru, ada meja dan telepone nya. Tidak lupa membawa kertas yang berisi nomer yang mau dihubungi.

               Aku mengantri di antrian ke-4 ...menunggu orang yang sedang menelepon selesai ..kulihat mereka ada yang tertawa-tawa di dalam ..ada yang begitu serius. Kulihat di bilik yang satu lagi terlihat kesal karena tidak ada yang mengangkat. Ya kita tidak tau orang yang sedang kita telephone sedang apa, sedang dimana ..tidak mungkin standby di depan telephone ..tidak seperti HP yang bisa dibawa kemana-mana. Atau mungkin orang yang ditelepone nya tidak mendengar ada telephone.

               “naha enggeus? (kenapa? Sudah?)” tanya seseorang yang sedang mengantri, melihat orang yang di dalam belum menelephone tapi sudah keluar.

               “eweuh nu ngangkat (tidak ada yang ngangkat)” jawabnya ...terlihat sedih.

               Kasian sekali ...aku pun menjadi sedikit risau, kalau tidak ada yang mengangkat bagaimana...

               Akhirnya giliranku tiba

               Aku mulai mengetik nomer bibiku, ya karena di rumahku tidak ada telephone... dulu telephone hanya dimiliki segelintir orang .. yang minimal ekonominya cukup baik. Tidak jarang tetangga ku pun ikut menelepon ke rumah bibi ku yang memang rumahnya dekat dengan rumah nenek.

               “tut ...tut ....” ah nyambung ...tapi belum ada yang menangkat..

               “tut ..tut ...” masih belum ada yang mengangkat

               Aku semakin panik dan khawatir... orang yang di luar wartel pun meskipun tidak menyuruhku untuk cepat-cepat, tapi tetap saja ...melihan antrian membuatku panik....

               Apa aku harus balik lagi aja ya? Dalam hatiku

               Ah coba lagi ...

               “halo ini siapa ya?”

               “halo bi ...ini sena..”

               “ah ujang sena ...sehat? kumaha kumaha aya naon? (sehat? Ada apa??)”

               “sehat bi alhamdulillah”

               “ada nenek bi?”

               “ah neneknya lagi pergi ...silaturahiem ke tetangga ada yang mau nikah”

               “oh gitu ya bi...”

               Aku sejenak agak sedih karena ingin berbicara dengan nenek yang aku rindukan, aku diam sejenak ...kemudian..

               “gak apa-apa bi ...tolong bilangin aja ke nenek pembagian raport jadinya tanggal 12 Desember ya bi”

               “oh gitu... iya nanti bibi kasihtau nenek ya”

               “makasih bi assalaamualaikum”

               “sama-sama wa’alaikumsalam”

               Sudah beres... aku menghabiskan kurang lebih 900 rupiah untuk menelepon singkat itu.

               Ketika aku pulang ke asrama... di dekat gerbang asrama si Fauzan (yang cadel itu) mengajakku ke ruangan kelas lantai 2 di samping mesjid.

               “ada apa zan?”

               “hayu we sen ..ada rapat katanya” tanpa menjelaskan ia langsung menarikku ke atas ruangan kelas itu.

               Aku pun naik di ruangan kelas di lantai 2, dan kulihat sudah banyak berkumpul RG dan UG dari berbagai angkatan. Aku memilih bangku yang paling pojok, pokoknya yang jauh dari UG.

               Ada apa ini? Acara apa ini?

               “kita buka aja pemilihan ketua ISABA ini” kak Ardi dari kelas 2 Muallimien membuka acara. Dia seorang yang lucu, orang yang gak mau ribet, gak mau banyak urusan, pandai bercerita dan pandai membohongi kami anak kecil yang selalu percaya cerita kakak kelas.

               “bagi santri baru yang belum tahu, ISABA ini adalah singkatan dari Ikatan Santri Asal Bandung... Ikatan santri ini ada beberapa di pesantren ini, ada ISGAR Ikatan Santri Asal Garut, ada ISACMI Ikatan Santri Asal Cianjur Sukabumi dan yang lainnya”

               Wah aku merasa terkesan ada Ikatan santri seperti ini, menambah kekeluargaan di Pesantren ini.

               “Nah hari ini kita akan memilih ketua yang baru ... fungsinya untuk mengurus acara-acara ISABA. Di antaranya : membuat kaos, mudik bersama dan lain-lain.” Sambung si Kang Ardi.

               Aku yang senyum-senyum di belakang dengan si Fauzan, tiba-tiba aku teringat sesuatu ...dalam hatiku ‘kalau ini ikatan santri asal Bandung, berarti seharusnya Iki ada di sini kan ya?’ aku memberanikan diri sesekali mencuri-curi pandang ke arah UG... dan tak perlu mencari lama-lama ‘Jeng jeng ...’ sudah terlihat seorang santri memakai kerudung putih dengan bros berwarna ping di lehernya, ah mungkin kalian bosan dengan kata cantik di buku ini, tapi memang dia sangat cantik. Aku langsung meleleh melihatnya, seorang pecundang yang melihat dan mengagumi dari kejauhan.

               Aku lupa si Kang Ardi membicarakan apa saja, duniaku lagi-lagi tertarik oleh Iki. Intinya yang akan dipilih adalah dari kelas 1 atau kelas 2 Muallimien, beberapa nama diajukan... Kak purwa dari kelas 2 Muallimien, Kang Ardi tidak mau dicalonkan, Kak Irwan dari Kelas 2 Muallimien dan Kak Adit dari kelas 1 Muallimien. Program pertamanya adalah membuat kaos ISABA.

               “Silahkan ada pesan-pesan yang mau disampaikan calon ketua?” Kang Ardi menggoda calon-calon ketua.

               “haha ..jigah pemilihan presiden wae heeuh” kata si Kang Ardi sambil tertawa.

               Kak Irwan dan Kak Adit hanya senyum yang menandakan tidak ada yang mau disampaikan.

               Si Kak Purwa mengacungkan tangan dan berbicara dengan lantang sekali tarikan nafas:

               “Pesan saya: Jangan pilih saya !” tatapannya datar, menandakan dia serius.

               Kang Ardi melihat temannya yang serius seperti itu, hanya tertawa ...

               Dan tawanya Kang Ardi menular ke kita semua yang sedang duduk.

               Dan aku ..Tiap kali nama Kak Adit disebut, aku otomatis melihat wajah Iki. Entah kenapa, aku masih teringat obrolan Iki dengan temannya yang mengira bahwa si Fulan itu adalah Kak Adit. Tiap kali nama Kak Adit disebut, wajah Iki selalu tersenyum dan tersipu malu, ditambah teman-teman Iki selalu melihat dan mengangkat alis ke arah Iki ketika Kang Adit disebut. Dan hatiku tidak tahu ...tiba-tiba ada perasaaan sesak di dada ... aku fiki-fikir kenapa ini ...aku baru faham, aku cemburu.

               Memang cukup geli jika kita membicarakan anak sekitar 12-13 tahun-an merasakan cemburu. Tapi aku yang sekecil itu pun ternyata sudah mengerti arti cemburu, sebuah kesadaran hati yang merasa rapuh, dan merasa takut kehilangan yang dicintainya.

               “oke ..sekarang dibagi kertas sedikit ewang... terus divoting ya antara 3 nama: Purwa, Irwan dan Adit”

               Aku tak ingin menulis tiga nama itu, tidak ada yang menarik bagiku. Aku hanya ingin menulis nama ‘Iki’ ...apa aku tulis saja ya namanya? Ah tidak, takutnya dia malu. Lantas harus aku tulis nama siapa ya....

               “oke semua sudah mengumpulkan ya ...”

               “Yahya... tolong bantu nulis ya di depan, saya yang baca” Kata Kang Ardi.

               “siap” kang Yahya pun maju untuk menuliskan hasil voting.

               Kang Ardi memulai membuka kertas...

               “Adit”

               Kemudian kak Yahya menuliskan 1 suara untuk kak Adit.

               “Adit”

               “Adit”

               “Purwa”

               “Adit”

               “Irwan”

               Kak Adit cukup memimpin jauh, dan sepertinya akan menjadi ketua ISABA yang baru.

               Tiap kali nama ‘Adit’ disebut, Iki selalu tersenyum berbeda. Dan aku bisa menangkap itu dengan jelas, kesal, marah, tapi aku tak bisa apa-apa. Sebuah pemandangan yang cukup menyakitkan untuk anak seusia itu. Aku curahkan kekesalanku pada secarik kertas sisa yang dibagikan si Kang Ardi..

 

BUKAN MILIKKU

 

Kenapa cuaca disebut bagus hanya ketika cerah?

Bukankah hujan pun inginkan pujian?

Sesekali kita pun memerlukan kesedihan bukan?

 

Dan hatiku sedang bercuaca buruk sore ini

Tentang kesadaran penuh,

Bahwa tak semua yang indah bisa kumiliki

Bahwa tak semua yang kuinginkan harus masuk ke kantongku

 

Ingin sekali kuperintahkan petir, hujan, badai

Memisahkan mereka dengan paksa

Sejauh aku dan masa lalu

Lihat selengkapnya