FULAN

Avisena Sirr Zafran
Chapter #17

Daarul Quthni 4

Hampir 1 bulan sudah aku habiskan waktu libur di Bandung, tapi rasanya seperti satu tahun. Aku ingin segera kembali ke Garut. Dan akhirnya waktunya tiba, dan untuk pertama kalinya aku pergi lagi ke Garut sendirian tanpa ditemani nenek, paman ataupun bibi. Adapun seluruh santri asrama harus sudah kembali ke asrama minimal H-2 sebelum KBM dimulai lagi.

               Setelah sholat zuhur, aku pun berlari ke lampu merah Leuwi Panjang ... disana sudah banyak calo-calo yang mengajak untuk naik bus, elf dll. Siang itu terlihat damri jadul masih beroperasi, yang apabila lewat dia seperti menghembuskan asap kegelapan ke dunia lain. Di dinding bus nya ada sponsor tolak angin, sehingga tidak jarang banyak yang menyebutnya ‘damri tolak angin’.

               “rut ..garut ..garut ..garut ...”

               “garut jang ?” kata seorang calo.

               “iya mang ...” aku langsung berlari ke dalam bus Putera Setia yang sedang ngetem. Aku pun duduk di kursi dekat jendela, tempat favorit untuk tidur. Aku duduk di bangku kedua.

               Tukang dagang hilir mudik masuk ke dalam bus, “cangcimen cangcimen cangcimen” seorang pedagang berteriak. Itu adalah singkatan dari kaCang kuaCi dan perMen.

               Sudah mau 1 jam bus nya ngetem menunggu penuh terlebih dahulu. Aku agak was-was, karena kalau terlalu malam aku takut tidak ada delman nantinya ketika pas mau ke pesantren.

               “masih lama mang?” tiap berapa menit aku bertanya pada supir yang tidak terlalu jauh dariku.

               “ayeuna jang sebentar lagi” terus saja, tiap bertanya dia menjawab jawaban yang sama. Tapi tidak berangkat-berangkat.

               Ketika aku sedang terlelap menunggu bus untuk berangkat, ada seorang UG yang tidak asing naik dari pintu depan. Jantungku berdebar .... apakah itu Iki? Aduh bagaimana ini...

               Dan ternyata bukan Iki, dia santri UG yang sama dari Bandung, bersama ibunya. Se-angkatan denganku, dia lebih dulu di Pesantren karena tahun lalu dia ikut kelas takjiziyah terlebih dahulu. Namanya Risa, berperwakan sedang dan punya wajah yang cukup bulat, dia juga saudara salah satu asatidzah yang punya warung di dekat pesantren.

               Ketika dia mau duduk, dia tersenyum kepadaku... menandakan sepertinya di pernah melihatku, atau tau aku juga santri di pesantren yang sama, karena beberapa kali kita ada pengajian bersama RG-UG, yang si Rahmat kabur tea pas bagian dia ceramah. Dia duduk di belakangku, berarti dia di kursi ke-3...bersama ibunya.

               Akhirnya si mang supir menyalakan mesinnya, tanda bahwa bus akan segera berangkat. Perjalanan bandung-garut waktu itu sudah mulai macet, meski tidak semacet sekarang... dulu perjalanannya masih banyak pemandangan indah ... rancaekek-cicalengka belum begitu banyak pabrik dan perumahan, hanya pesawahan sejauh mata memandang. Ditemani tukang ngamen yang biasa menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals... suaranya sesekali melengking, sesekali serak, sangat khas suara Indonesia.

               Bus melaju dengan cukup kencang karena jalanan nagreg kemudian leles cukup lengang hari itu. Tapi mataku tidak bisa diajak kompromi, harusnya ketika sudah masuk Garut aku bersiap agar tidak ketiduran-an dan bisa turun di tempat yang aku inginkan.

               “ah tenang ada si Risa ini ...mungkin kalau aku ketiduran, nanti juga dibangunin.” Fikirku dalam hati.

               Dan aku pun yang pelor (nempel molor) ini tertidur sepanjang sisa perjalanan. Setelah beberapa jam berlalu, firasatku yang setengah bangun, tidak enak... kenapa belum sampai juga... dan ketika aku bangun ....

               “dimana ini pak?” aku bertanya bapak-bapak yang sedang duduk di sampingku.

               “di terminal Guntur” jawabnya ...hah dimana ini? Aku jujur tidak tau dimana ini. Aku mendadak ketakutan ....karena sudah masuk waktu maghrib, dan hari sudah mulai gelap. Agak kesal juga si Risa tidak membangunkaku ketika tadi di alun-alun sebelumnya. Jadilah aku bertanya kepada si mamang-mamang yang ada di terminal, untuk sampai ke pesantrenku. Untung saja pesantrenku cukup dikenal, sehingga tidak kesulitan bertanya ke orang-orang sekitar.

               18.48 ...aku sampai ke pesantren, setelah turun dari delman. Setelah sampai aku pun setengah berlari, karena sudah hampir memasuki waktu isya’ dimana banyak santri sudah mulai berbondong-bondong ke mesjid.

               Ah aku rindu sekali dengan nuansa seperti ini, teman-temanku, kakak kelasku, dan semua yang ada di sini. Aku sudah tidak sabar berkumpul lagi bersama mereka. Karena di rumahku aku merasa tidak punya teman, aku kesepian.

Daarul quthni 4

               “semuanya berkumpul ...ke sini ...!!” kak Purwa menyuruh kami semua mendekat ke dekat ranjang Kak Purwa.

               “Ada pengumuman ....ini hari terakhir kalian di sini” kami semua terkejut.

               “kenapa kak?” kata si Uki keheranan.

               Apa kesalahan kita, apa yang kita lakukan sebelumnya?

               “Memang ini hari terakhir kalian, karena di pesantren ini.... tiap semester itu harus berganti ruangan”

               “Oh kirain teh dikeluarin dari pesantren ah si Kak purwa mah” kata si Fauzan.

               “Nah ini daftar nama dan ruangan baru kalian” kata kak purwa mengeluarkan kertas berisi nama dan ruangan baru.

               “Avisena à Daarul qutni 4” dalam kertas yang diperlihatkan kak Purwa.

               “Yess saruangan lagi zan ...ndi...” teriak si Uki. Ternyata si Uki, Fauzan, Adam, Pandi dan Rahmat mereka seruangan lagi. Dan sisanya disebar ke ruangan lain.

               “ke ruangan mana ki?” tanya si Pandi.

               “Daarul quthni 2” kata si Uki menjawab dengan ceria.

               Kenapa si Uki sebahagia itu? Dia tidak sedihkah harus berpisah ruangan denganku? Mereka tidak merasa kehilangan berpisah ruangan denganku. Aku selalu menganggap mereka teman yang menyenangkan. Tapi tidak masalah, nanti juga di ruangan yang baru aku akan mendapatkan teman yang baru fikirku.

               “Kak purwa kemana pindahnya?” tanyaku kepada kak Purwa, karena melihat kak purwa pun membereskan semua barang-barangnya.

               “Saya mah ke Al-Hakim-3” kata Kak Purwa.

               “oh iya kak” jawabku.

               Ada rasa sedih bagiku, karena harus berpisah dengan mereka yang sudah setengah tahun bersama-sama. Tapi ada antusias juga karena mencoba ruangan baru dengan teman-teman yang baru. Karena memang tujuan dipindahkan kamar, agar bisa menambah banyak teman dan berbaur dengan yang lain. Aku fikir di asrama UG pun diberlakukan hal yang sama. Dan kita tidak boleh pindah semaunya, harus sesuai aturan, karena kapasitas ruangan pun terbatas.

               Kami pun bergegas membereskan semua barang, kalau aku lihat kak Purwa dan kakak kelas lain memindahkan tidak hanya barang-barang, tapi juga dengan lemarinya. Karena mereka yang sudah lama di sini, membeli lemari sendiri, tidak disediakan oleh pesantren. Sedangkan santri baru angkatan aku sudah disediakan lemari oleh pesantren, jadi tinggal memindahkan isi lemarinya saja.

               Daarulquthni, adalah nama ruangan di lantai 3 gedung ali. Yap ...aku hanya perlu naik 1 tangga ke atas dari ruanganku. Dan daarulquthni 4 berada di paling pojok.

“Dari tangga koridor terus belok ke kiri mentok” kata si Fauzan memberitahuku.

Lihat selengkapnya